Radio Sebagai Alat Perjuangan

Tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional. Radio tidak sekadar peranti hiburan, tetapi sejak lama juga disadari peran strategisnya. Mulai dari siaran kebudayaan hingga alat perjuangan melawan penjajah.

Pada masa penjajahan Belanda, para pendahulu sudah memiliki pandangan strategis menjadikan radio sebagai alat perjuangan lewat siaran kebudayaan yang diawali oleh Mangkunegara VII melalui Solo Radio Vereniging (SRV) dengan siaran perdana 1 April 1933.

Penulis buku sejarah Geger Pacinan 1740-1743 Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, Daradjadi Gondodiprodjo, menerangkan, para pemimpin Pura Mangkunegaran melancarkan strategi melawan Belanda secara tidak frontal.

”Membangun ekonomi, pendidikan, teknologi, dan membangun kemiliteran melalui Legiun Mangkunegaran. Itu cara yang ditempuh para Gusti Kanjeng Mangkunegara dalam menyikapi zaman,” kata Daradjadi.

”Pada zaman Mangkunegara IV, dibangun agroindustri dan mekanisasi pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu. Pemerintah Hindia Belanda diizinkan membuka gereja dengan syarat orang Jawa di wilayah Mangkunegaran bisa bersekolah dengan standar Eropa. Selanjutnya, dikembangkan Legiun Mangkunegaran,” ujar Daradjadi.

Kompas/ Iwan Setiyawan
Gedung Kavallerie-Artillerie di Kompleks Pura Mangkunegaran, Solo, menjadi salah satu bukti terorganisasinya Legiun Mangkunegaran sebagai pasukan kerajaan. Gedung ini didirikan tahun 1874.

Di seluruh Pulau Jawa, rakyat jelata di wilayah Mangkunegaran-lah yang mula-mula bisa bersekolah dengan standar Eropa, di samping tetap mempertahankan identitas Jawa sebagai kawula wilayah Swapraja (Vorsten Landen) Surakarta yang terbagi atas kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran.

Salah satu tokoh pendidikan yang didatangkan adalah Carl F Winters, penerjemah sekaligus guru di Pura Mangkunegaran. Dalam buku Being Dutch in The Indies karya sejarawan Remco Raben dan kawan-kawan, Winters disebut memiliki pengetahuan yang sangat baik akan budaya Jawa, terutama di Surakarta dan Yogyakarta.

Modernisasi sekaligus mempertahankan identitas adalah kunci yang dipegang para leluhur di Pura Mangkunegaran yang kemudian diadopsi para bangsawan di Hindia Belanda. Dalam sambutan buku Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran di Indonesia, sejarawan Asvi Warman Adam menyebut ini sebagai strategi emansipasi dan kooperasi dengan pihak penjajah dalam rangka membangun kesetaraan.

Strategi serupa dilanjutkan para penerus, seperti dalam bidang radio yang dilakukan KGPAA Mangkunegara VII. Pada tahun 1920-an hingga menjelang Perang Dunia II, radio ibarat alat telekomunikasi ponsel pintar saat ini. Radio menjadi alat untuk mendapatkan informasi dan bahkan memperjuangkan identitas budaya, seperti yang kemudian dilakukan Mangkunegara VII lewat SRV yang didirikan di Kestalan, wilayah Pura Mangkunegaran di Surakarta, pada 1933.

repro kompas/ kartono ryadi
Rakyat Jepang menangis sedih ketika mendengar untuk pertama kalinya suara kaisar mereka lewat radio tanggal 15 Agustus 1945 yang menyatakan Jepang menyerah. Radio menjadi sarana informasi sangat penting saat itu.

Radio membanjiri Hindia Belanda

Penulis buku Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia, Hari Wiryawan, mencatat, siaran radio sebagai terobosan di bidang telekomunikasi di Hindia Belanda diawali dengan kelahiran sebuah radio swasta Eropa, Bataviasche Radio Vereniging (BRV), pada 1925. Sebelumnya, pada 1923, muncul Radio Malabar, yakni radio komunikasi milik Belanda, tetapi tidak memancarkan siaran berita seperti stasiun radio saat ini. Pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri mendirikan stasiun radio Nederlands Indische Radio Oemroep Maatschappij (NIROM) pada 1934.

Radio NIROM kemudian diambil alih pemerintah pendudukan Jepang dan berganti nama menjadi Hosyo Kanri Kyoku (HKK) yang kemudian menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Lokasinya sama dengan yang kini menjadi kantor pusat RRI, di Jalan Medan Merdeka Barat.

Radio ini mengakhiri siarannya pada 9 Maret 1942. Penulis JC Bijkerk menjadikan kalimat penutup siaran terakhir sebagai judul buku dokumenter sejarah jatuhnya Hindia Belanda, Vaarwel Tot betere Tijden. Kalimat lengkap penutup siaran itu berbunyi, ”Leve de Koningin, wij sluiten nu. Vaarwel tot betere tijden—Panjang umur Ratu Belanda, kami tutup siaran sekarang. Sampai jumpa di waktu yang lebih baik.”

Sesuai dengan kepentingan Yang Dipertuan, yakni bangsa Belanda, misi NIROM tentu saja berbeda dengan misi radio-radio yang didirikan untuk kepentingan kawula jajahan, seperti SRV yang didirikan Mangkunegara VII pada 1 April 1933 atau lebih awal dari NIROM.

kompas/ erwin edhi prasetya
Portable Mixer milik Radio Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapyj (NIROM) yang digunakan untuk siaran di Istana Negara dan berbagai tempat lain antara tahun 1949-1966.

SRV atas dorongan Mangkunegoro VII pada 23 Maret 1937 membentuk Perikatan Perkoempoelan Radio Ketimoeran (PPRK), sebuah asosiasi penyiaran nasional pertama. Menurut Hari Wiryawan, periode Radio Ketimuran yang dimotori SRV tahun 1933-1942 adalah periode perlawanan budaya yang menerjemahkan gagasan pergerakan Boedi Oetomo tahun 1908 dan Sumpah Pemuda tahun 1928.

Keberadaan SRV tidak terlepas dari perkenalan Mangkunegara VII dengan perangkat radio yang dulu disebut radio toestel karena bentuknya kotak kayu seperti perangkat kamera zaman dulu. Ada juga yang menyebutnya radio roti karena bentuknya mirip roti tawar pada tahun 1927.

Mangkunegara VII menerima hadiah radio penerima atau receiver dari sobatnya seorang Belanda. RM Sarsito Mangunkusumo, Kepala Bagian Pekerjaan Umum Mangkunegaran, dipercaya mengelola pesawat radio tersebut.

Tak lama, RM Sarsito Mangunkusumo mencatat, suatu malam dirinya mendampingi Mangkunegara VII dan permaisurinya, Gusti Ratu Timur (putri Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono VII), mendengarkan pidato Ratu Wilhelmina saat siaran langsung dari laboratorium pabrik elektronik Philips di kota Eindhoven, Belanda, 31 Maret 1927. Betapa dahsyatnya kemajuan zaman dirasakan saat itu. Pidato dari Eropa melalui gelombang pendek (short wave atau SW) bisa didengar di Pulau Jawa pada saat bersamaan!

kompas/ ferganata indra riatmoko
Dalam Pameran Radio Lama “Layang Swara” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2013 lalu, dipamerkan 51 radio dan 2 gramofon yang diproduksi sekitar tahun 1930 hingga tahun 1960. Pameran itu bertujuan, antara lain untuk mengenang kembali radio sebagai bagian dari sejarah komunikasi.

Perangkat radio tersebut dipasang di Pura Mangkunegaran agar beragam berita dapat didengar oleh umum. Setelah itu, Pura Mangkunegaran menerima kiriman radio-radio produk terbaru dari Eropa.

Siaran radio mula-mula menggunakan jaringan transmisi kabel dari Eropa ke Jawa, termasuk kabel bawah laut yang digunakan hingga Perang Dunia I (1914-1918). Sesudah Perang Dunia I, dikembangkan jaringan nirkabel dengan pembangunan stasiun transmisi di Weltevreden (Batavia), Situbondo, Kupang, dan Pulau Weh, Sabang, di ujung barat Sumatera yang terhubung ke Sri Lanka.

Perlawanan budaya

Semasa itu, stasiun-stasiun radio swasta milik Eropa bertumbuhan di luar Batavia, seperti MOVA di Medan tahun 1930 dan AVROM. Di Padang terdapat stasiun radio AROP. Di Batavia juga muncul stasiun radio Goldberg, Van Wingen, dan Lyuks. Kota Bandung memiliki stasiun Malabar, PMY, Wan Wingen, Goldberg, dan Lyuks. Stasiun radio Veral di Yogyakarta. Di Kota Semarang terdapat stasiun radio Midden Java, Van Wingen, Goldberg, dan Lyuks serta stasiun radio AVRO di Surabaya. Adapun di Surakarta, selain SRV yang dimotori Pura Mangkunegaran, juga ada stasiun radio Eropa, seperti Van Wingen, Goldberg, dan Lyuks.

Stasiun radio tumbuh bersama maraknya peredaran piringan hitam dari Eropa. Berbagai musik Eropa menjamur di Asia, termasuk di Hindia Belanda. Piringan hitam lagu-lagu Eropa jumlahnya pada akhir 1920-an mencapai 1 juta-1,5 juta per tahun. Sedangkan piringan hitam lagu-lagu tradisional Nusantara, termasuk musik-musik Jawa, hanya mencapai 10.000 keping per tahun. Udara Nusantara pun dipenuhi siaran musik-musik Eropa.

repro kompas/ ardus m sawega
BRA Siti Nurul Kamarsati Kusumawardhani alias Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII saat membawakan tari Serimpi, bertepatan peringatan perkawinan Ratu Wilhelmina di Negeri Belanda, Januari 1937. Iringan musik gamelannya dipancarkan lewat radio SRV secara langsung dari Pendapa Pura Mangkunegaran di Kota Solo langsung ke Den Haag, Belanda. Foto dokumentasi Istana Mangkunegaran (Hari Wiryawan).

 

Soetomo dalam majalah Djawa Baroe menulis, ”Radio mempunyai kekuatan dan pengaruh penting dalam jiwa manusia….” Bahkan, Soetomo menyebut, banyak di antara kalangan pemuda yang hilang atau sedikit-dikitnya kacau balau jiwa ketimurannya (identitas Indonesia) karena racun Barat lewat siaran radio Eropa.

Menyikapi kondisi tersebut, Mangkunegara VII selain membuat Perikatan Perkoempoelan Radio Ketimoeran (PPRK) tahun 1937, juga memulai membuat rekaman-rekaman orkestra gamelan Jawa dalam piringan hitam dengan merek Columbia GLX. Namun, upaya tersebut tidak maksimal karena satu putaran piringan hitam durasi waktunya hanya tiga menit, sedangkan satu komposisi orkes gamelan Jawa bisa memakan waktu 30 menit.

Akhirnya, Mangkunegara VII menempuh langkah membeli perangkat stasiun radio dari Yogyakarta milik Djogjasche Radio Vereniging, lalu dipindahkan ke Kestalan untuk kemudian dikelola oleh perkumpulan seni Javasche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Mereka memainkan orkes gamelan yang disiarkan langsung stasiun radio tersebut!

repro kompas/ ardus m sawega
Malam kesenian yang diselenggarakan di Pendapa Kabupaten Bandung 15 Februari 1941 ini disiarkan langsung oleh Radio PPRK. Foto dokumentasi Istana Mangkunegaran (Hari Wiryawan).

Stasiun dikelola secara profesional dalam bentuk Solo Radio Vereniging (SRV) dengan Ketua RM Sarsito Mangunkusumo, Sekretaris RM Soetarto Hardjowahono, Bendahara Lim Tik Liang, dengan para komisaris RT Marmohoesodo, Tjan Ing Tjwan, Louwson, Wongsohartono, Tjiong Joe Hok, dan Prijohartono.

Komisi Teknik adalah RM Sarsito Mangunkusumo, Louwson, dan Tjiong Joe Hok, sedangkan Komisi Siaran RM Sutarto Hardjowahono, Lim Tik Liang, dan Tjan Ing Tjwan. Komisi Propaganda RT Marmohoesodo, Wongsohartono, dan Prijohartono. Mereka bersama mengumpulkan modal 9 gulden. Segera setelah SRV berdiri, ada 100 orang mendaftar menjadi anggota.

Semangat melestarikan budaya lewat siaran radio itu merupakan lanjutan dari perjuangan Mangkunegara VII yang mendirikan Java Instituut untuk mengembangkan budaya Jawa, Madura, Bali, dan Sunda. Lembaga Java Instituut menerbitkan majalah triwulan.

SRV terus berkembang pesat. Pada 1934, maestro Gesang Martohartono yang menggubah ”Bengawan Solo” (1940) mulai rutin mengisi acara di sana dengan iringan orkes Marko. Gesang menggubah beberapa lagu, seperti ”Si Piatu, Roda Dunia” (1939) dan ”Saputangan” (1941).

kompas/ heru sri kumoro
Maestro keroncong Gesang Martohartono ikut menandatangani naskah deklarasi Hari Penyiaran Nasional di Balai Soedjatmoko, Solo,  Jawa Tengah, Rabu (1/4/2009). Deklarasi ini terkait dengan sejarah kelahiran Solosche Radio Vereniging (SRV) di Solo pada 1 April 1933. SRV inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia (RRI).

Anggota SRV terus berkembang menjadi 1.500 orang (1935), 2.000 orang (Agustus 1936), 3.000 orang (1939), dan 4.000-an orang (1940 awal). Keanggotaan SRV tersebar dari Medan, Jambi, Bangka, Palembang, Lahat, Indragiri, hingga Lampung di Sumatera. Di Kalimantan terdapat anggota di Pontianak, Tarakan, Kandangan, dan Banjarmasin. Sedangkan di wilayah timur, siaran SRV dapat ditangkap di Makassar, Pulau Sumbawa, dan Bali. Adapun di Jawa, seluruh wilayah dapat menangkap siaran SRV.

SRV segera berkembang dengan SRV Kring (Cabang) Batavia yang berdiri 8 April 1934 dengan Ketua Gunari Wiriodinoto, Wakil Ketua R Latip, Sekretaris Sunarjo Mangunpuspito, dan Bendahara Sumantri Joyodiputro. Adapun komisaris adalah Citrotaruno, Tan Kiem Seng, dan Yo Kim Can.

Yo Kim Can adalah pemilik toko musik Populaire dan memiliki orkes keroncong Populaire yang pertama kali merekam lagu ”Indonesia Raya” pada 1927. WR Supratman, komposer lagu ”Indonesia Raya” yang ketika itu bekerja sebagai wartawan Sin Po, juga bermain musik di Orkes Populaire yang berlokasi di Pasar Baru, Batavia.

Beragam program yang disiarkan SRV, khas budaya Timur. Semisal dalam tabel program SRV Agustus 1937 disebutkan program hari Kamis tanggal 12 Agustus 1937 adalah musik Genderan dan Tjlempoengan pada pukul 06.00-10.00. Sementara pada pukul 17.30 acaranya adalah Berita Surat Chabar Bahasa Barat. Pukul 18.00, Adhan disambung dengan lagu Arab.

Jadwal selanjutnya, pukul 18.20 Lagu Japan, 18.50 Lagu Bali, 19.00 Agama Islam, 19.30 Berita Surat Chabar Bahasa Indonesia, 20.00 Kerontjong Orkest dari Kerontjong Club K.W.I.K, 20.30 Artinya Cultuur oleh Tuan RP Singgih, 21.00 Melanjutkan Kerontjong Orkest, dan 24.00 Tutup. Sedangkan pada hari Jumat tanggal 13 Agustus 1937 siaran diawali pukul 12.00 dengan SRI 86 ke Masjid Besar Surakarta Hadiningrat yang menyiarkan shalat Jumat.

Mangkunegara VII memosisikan diri mengangkat budaya ketimuran atau Asia sehingga tidak semata mengangkat budaya Jawa. Dari sisi materi siaran, cukup sulit saat itu untuk mencari piringan hitam lagu-lagu daerah, semisal Maluku atau Melayu.

Sesuai daerah tempat siaran, misalnya di Jawa Barat, jaringan SRV yang berkembang di sana pada tahun 1938-1939 memberi porsi siaran kesenian Sunda yang cukup banyak. Misalnya, gamelan, kecapi, pantun, dan tembang sebanyak 135 kali siaran, wayang golek 24 kali siaran, seni Jawa berupa klenengan dan siteran sebanyak 70 kali, wayang kulit sebanyak 1 kali, keroncong 23 kali, dan seni musik Hawaiian sebanyak 40 kali pertunjukan.

Keberagaman budaya dan siaran Ketimuran menjadi unggulan SRV. Semisal di cabang Batavia, program siaran tanggal 13 Maret 1935, pukul 17.00-17.30 berupa lagu-lagu Melayu, 17.30-18.00 Ketjapi dan tembang dari plaat gramaphoon (piringan hitam), 18.00-18.30 rupa-rupa lagu Kerontjong dari plaat gramaphoon, 18.30-19.00 Lagu Tiong Hwa dari plaat gramaphoon, 19.00-19.30 Lagu Barat, 19.30-20.00 Chabar Harian, 20.00-22.00 Klenengan dengan gamelan ”Kiahi Kanjoet Mesem” dari Pura Mangkunegaran hingga pukul 23.00.

Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) juga memiliki program ”Siaran Pidato Hal Agama” yang meliputi siaran agama Islam, Kristen, Katolik, dan Khonghuchu.

repro kompas/ ardus m sawega
BRA Siti Nurul Kamarsati Kusumawardhani alias Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII saat membawakan tari Serimpi, bertepatan peringatan perkawinan Ratu Wilhelmina di Negeri Belanda, Januari 1937. Iringan musik gamelannya dipancarkan lewat radio SRV secara langsung dari Pendapa Pura Mangkunegaran di Kota Solo langsung ke Den Haag, Belanda. Foto dokumentasi Istana Mangkunegaran (Hari Wiryawan).

Salah satu prestasi SRV adalah menyiarkan orkes gamelan Kyai Kanjoet Mesem yang ditangkap di Istana Noordeinde, Den Haag, Desember 1936. Gamelan yang dimainkan langsung itu untuk mengiringi BRA Siti Nurul Kamarsati Kusumawardhani atau Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII, menari Serimpi di hadapan keluarga Kerajaan Belanda. Saat itu tengah dilangsungkan pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard. Gusti Nurul menari dengan gemulai diiringi alunan gamelan yang disiarkan SRV dari Solo!

Sayang, Perang Dunia II mengakhiri riwayat SRV dan jejaringnya. Namun, pada 11 September 1945, didirikan RRI oleh para penggiat radio jaringan Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan Purwokerto. Mereka adalah generasi penerus jaringan radio siaran ketimuran yang dimulai oleh Mangkunegara VII lewat Solo Radio Vereniging!