”Dulu, Ancol adalah tempat di mana ’jin’ buang anak. Akan tetapi, kini, Ancol menjadi kawasan di mana orang ’bikin’ anak,” ujar Ir Ciputra, suatu kali.
Sulit untuk tidak menyebut nama Ir Ciputra ketika kita membicarakan reklamasi di pesisir utara Jakarta. Hampir lima puluh tahun silam, Ciputra dan PT Pembangunan Jaya sudah menyulap rawa-rawa bernama Ancol menjadi kawasan rekreasi dan wisata. Sebuah kawasan yang hingga kini masih menjadi magnet bagi warga Jakarta ataupun penduduk Indonesia lainnya.
Ancol bahkan pada akhirnya menjadi destinasi wajib bagi penduduk Indonesia nonwarga Jakarta yang singgah di Ibu Kota ini. Ketika ada kerabat datang dari luar Jakarta, maka kerabat yang kebetulan bermukim di Jakarta hampir selalu diminta untuk mengantar mereka ke Dunia Fantasi atau Sea World. Dua destinasi itu ada di kawasan Ancol.
”Dulu kawasan Ancol juga rawa. Saudara pilih mana, Ancol sekarang atau dulu seperti rawa-rawa?” ujar Ciputra dikutip dari harian Kompas edisi 14 September 1992.
Rawa Ancol dengan luas 552 hektar menjadi ”matang” setelah diuruk. Sebuah perusahaan kongsian dengan Perancis, ”Citra Baru”, menguruk Ancol selama tiga tahun dan empat bulan. Pengurukan akhirnya diselesaikan pada Februari 1966.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tampaknya telah mempelajari sejarah reklamasi Jakarta. Dia paham reklamasi Jakarta bukan sesuatu yang baru. ”Kamu kira Ancol itu hasil beranak sendiri itu tanah?” ujar Ahok.
”Singapura, Dubai, di Belanda juga ada reklamasi. Ujung rumah saya di Pantai Mutiara, kamu kira apa? Reklamasi!” ujar Ahok ceplas-ceplos.
Mereklamasi Ancol di pertengahan tahun 1960-an jelas tidak mudah. Karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta waktu itu tidak punya dana, maka biaya investasi dibebankan kepada PT Pembangunan Jaya. Syarat itu disanggupi Ciputra selaku Direktur PT Pembangunan Jaya.
Ciputra dari awal optimistis dengan Ancol. ”Jakarta ini adalah kota pantai. Satu-satunya pantai yang dekat dengan permukiman adalah Ancol. Kita dapat mengembangkan Ancol menjadi pantai nomor satu. Itu akan menjadi pantai emas,” ujarnya.
Kisah lengkap tentang Ciputra, Ancol, dan proyek-proyek PT Pembangunan Jaya ditulis oleh Bondan Winarno dalam buku Tantangan Jadi Peluang. Sebuah buku yang diterbitkan PT Pustaka Grafitipers pada 1987.
Dalam buku itu dikisahkan, dulu ketika malam tiba, jalan menuju pantai Ancol hanya dilengkapi penerangan obor-obor bambu. Sebelum akhirnya penerangan itu naik kelas menjadi pelita minyak dari kaleng bekas.
Perbankan sempat tidak mau meminjamkan dana sehingga akhirnya PT Pembangunan Jaya mendapat dana pinjaman sebesar Rp 1,5 juta dari Yayasan Bina Ria, yayasan yang didirikan oleh istri dari para mantan menteri.
Tahun 1975, Ancol dilengkapi Pasar Seni. Juni 1985, Dunia Fantasi mulai dioperasikan. Pada awalnya, Ciputra ingin supaya ada Disneyland di Jakarta, tetapi ditolak. Disneyland ternyata hanya mau beroperasi di negara-negara maju.
Namun, Dunia Fantasi akhirnya begitu membanggakan. Dibangun dengan modal Rp 22 miliar, jauh lebih murah daripada pembangunan Disneyland Tokyo dengan modal 650 juta dollar AS, yang ketika itu setara Rp 1 triliun, Dunia Fantasi menjadi salah satu kawasan rekreasi terbesar di belahan bumi bagian selatan.
Ancol, kawasan pesisir yang dulunya hanya dihuni monyet dan ular, akhirnya menjadi kawasan hiburan modern yang dikuasai "bekantan" bernama Dufan.