Lonceng Resesi Ekonomi Dunia

Kondisi perekonomian global memasuki fase genting. Perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, perseteruan geopolitik, dan “ontran-ontran” politik dalam negeri sejumlah negara menjadi pemicunya.

Beberapa negara, seperti Jerman, Inggris, AS, Hong Kong, dan sejumlah negara di Amerika Latin, diperkirakan mengalami resesi ekonomi. Indikatornya adalah kinerja ekspor, investasi, manufaktur mulai melambat, dan penganggur bertambah.

Di sisi lain, ekonomi China juga melambat. Faktor-faktor itu diperkirakan akan memicu resesi global pada 2020. Tak mengherankan jika tensi peringatan risiko yang disampaikan sejumlah lembaga internasional terus meningkat.

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 dan 2020 masing-masing sebesar 3,2 persen dan 3,5 persen.

Proyeksi itu lebih rendah dari proyeksi April lalu yang sebesar 3,3 persen pada 2019 dan 3,6 persen pada 2020. Khusus Indonesia, pertumbuhan ekonominya diperkirakan 5,2 persen pada 2019 dan 2020.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, kondisi perekonomian global tengah mengalami keretakan. Pertumbuhan perdagangan global hampir terhenti akibat perang dagang Amerika Serikat dan China. Perselisihan dagang bahkan meluas ke sejumlah negara yang berimbas pada masalah nilai tukar.

Efek kumulatif dari perang dagang dapat mengurangi output produk domestik bruto (PDB) global sebesar 700 miliar dollar AS atau sekitar 0,8 persen PDB dunia pada 2020.

“Negara-negara di dunia harus bekerja sama, sekarang, dan mencari solusi abadi atas masalah perdagangan. Ini membutuhkan keputusan dan kemauan politik yang sulit. Tetapi itu dibutuhkan,” ujar Georgieva.

Untuk kedua kalinya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 menjadi 5 persen dari sebelumnya 5,2 persen.

Eskalasi ketegangan perang dagang AS-China dan ketidakpastian global menimbulkan ancaman jangka panjang. Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik 5,8 persen pada 2019, melambat dibandingkan dengan tahun 2018 yang sebesar 6,3 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan berlanjut hingga tahun 2020 dan 2021. Kontraksi ekonomi kawasan juga berdampak terhadap ekonomi domestik. Untuk kedua kalinya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 menjadi 5 persen dari sebelumnya 5,2 persen. Perekonomian Indonesia diperkirakan kembali tumbuh 5,1 persen pada 2020 dan 5,2 persen pada 2021.

Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander mengatakan, sejumlah indikator ekonomi kawasan di bawah ekspektasi. Risiko penurunan pertumbuhan ekonomi disebabkan eskalasi perang dagang AS-China, perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Uni Eropa, ketidakpastian Brexit, dan potensi resesi ekonomi AS.

”Seluruh sinyal itu menyiratkan bahwa risiko ekonomi global semakin meningkat, yang berdampak terhadap negara-negara berkembang,” kata Sander.

Sander menyebutkan, sejauh ini ketidakpastian global memukul perekonomian Indonesia dari dua sisi, yaitu neraca perdagangan dan arus modal keluar. Kinerja ekspor terus melemah seiring dengan permintaan global dan harga komoditas yang turun. Meski demikian, dampak perlemahan ekspor terhadap ekonomi Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Chief Economist Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Laurence Boone menuturkan, risiko perekonomian global semakin tinggi karena dipicu drama keputusan Brexit yang berpotensi mengakibatkan resesi di Inggris tahun 2020, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan peningkatan utang yang tinggi serta kualitas kredit yang memburuk.

”Kondisi ketidakpastian ini dipicu tensi perang dagang AS-China yang berpotensi jangka panjang sehingga menurunkan aktivitas perekonomian global. Untuk itu, pemerintah perlu menurunkan suku bunga guna menarik investasi di bidang infrastruktur,” ujar Boone.

OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,9 persen tahun 2019 dan 3 persen tahun 2020. Adapun pertumbuhan ekonomi kelompok negara anggota G-20 sebesar 3,1 persen tahun 2019 dan 3,2 persen tahun 2020.

Para pembuat kebijakan perlu memantau isu melemahnya momentum perdagangan dan menurunnya investasi di Asia dengan saksama.

OECD secara tersirat menyarankan negara-negara berkembang, seperti India, Meksiko, Brasil, Rusia, dan Indonesia, melakukan pelonggaran kebijakan seiring dengan tingkat inflasi yang rendah. Pelonggaran kebijakan moneter dan fiskal diperlukan untuk menjaga volatilitas nilai tukar dan mengelola utang valuta asing.

Kepala Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Yasuyuki Sawada berpendapat, para pembuat kebijakan perlu memantau isu melemahnya momentum perdagangan dan menurunnya investasi di Asia dengan saksama.

Dalam publikasi ekonomi tahunan ADB, Asian Development Outlook (ADO) 2019 Update, disebutkan, perekonomian China akan tumbuh 6,2 persen pada 2019 dan 6,0 persen pada 2020. Adapun perekonomian kawasan Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh 4,5 persen pada 2019 dan 4,7 persen pada 2020.

”Konflik perdagangan China-AS sangat mungkin akan berlanjut hingga 2020, sedangkan sejumlah perekonomian utama di dunia diperkirakan akan mengalami kesulitan lebih besar daripada yang diantisipasi saat ini,” ujar Sawada.

Secara tersirat, Chief Economist of Moody’s Analytics Mark Zandi memperingatkan kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global dalam 12-18 bulan ke depan.

”Jikapun ekonomi global lolos dari resesi, pertumbuhan ekonomi dunia 2020 diperkirakan akan jauh lebih lambat ketimbang tahun 2019,” ujar Zandi.

Zandi menilai, banyak faktor yang dibutuhkan sebagai upaya untuk menghindari perlambatan ekonomi global, salah satunya Presiden AS Donald Trump harus mampu menahan diri untuk tak meningkatkan ketegangan dagang dengan China.

Selain itu, proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) juga harus segera rampung. Menghadapi situasi global tahun depan, bank-bank sentral juga harus semakin banyak menyuntikkan stimulus moneter.

Sektor riil

Head of Mobility at the World Economic Forum (WEF/Forum Ekonomi Dunia) Christoph Wolff berpendapat, potensi pariwisata di sejumlah negara masih bisa diperbesar untuk menggerakkan roda ekonomi dan memacu pembangunan. Ia menyebutkan, pariwisata berkontribusi lebih dari 10 persen terhadap PDB dunia.

Kontribusi sektor pariwisata diproyeksikan bisa tumbuh mencapai 50 persen dalam 10 tahun ke depan, seiring dengan peningkatan kelompok kelas menengah di dunia, terutama di kawasan Asia. Namun, masalah infrastruktur dan ketahanan lingkungan mesti diatasi demi keberlanjutan pariwisata.

 

WEF juga merekomendasikan agar negara berpenghasilan rendah yang memiliki kekayaan alam dan budaya, seperti Indonesia, memanfaatkan aset alamiah untuk menggerakkan pembangunan ekonomi. Caranya, dengan menarik investasi asing langsung yang berkaitan dengan pariwisata.

Dalam laporan dua tahunan Daya Saing Pariwisata WEF 2019, yang dirilis Oktober 2019, daya saing pariwisata Indonesia tercatat naik dari peringkat ke-42 pada 2017 menjadi ke-40 dari 140 negara pada tahun ini.

Meski peringkat secara umum meningkat, posisi Indonesia masih lemah dalam indikator infrastruktur jasa wisata (ke-98), kesehatan dan kebersihan (ke-102), serta kebijakan ketahanan lingkungan (ke-135).

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Oktober 2019 merevisi proyeksi pertumbuhan volume perdagangan sepanjang 2019 dan 2020 menjadi 1,2 persen dan 2,7 persen. Padahal, pada April 2019, angka pertumbuhan sepanjang 2019 dan 2020 diprediksi masing-masing sebesar 2,6 persen dan 3 persen.

Direktur Jenderal WTO Roberto Azevêdo mengatakan, proyeksi pertumbuhan perdagangan saat ini memang tidak menggairahkan dan tidak terduga. Konflik perdagangan meningkatkan ketidakpastian yang berdampak pada penundaan investasi yang dapat mendongkrak produktivitas.

“Padahal, investasi ini penting untuk meningkatkan standar kualitas hidup (suatu negara). Penciptaan lapangan kerja pun terhambat sehingga jumlah sumber daya manusia yang memproduksi barang dan jasa untuk diekspor berkurang,” katanya.

Kondisi perdagangan dunia saat ini juga berpotensi menimbulkan pemberlakuan kebijakan tarif masuk dan retaliasi yang memunculkan aksi saling tuduh antarnegara yang bersifat destruktif.

”Padahal, perdagangan multilateral tetap menjadi sistem terpenting bagi dunia sebagai solusi dalam menghadapi tantangan perekonomian global pada abad ke-21. Negara anggota WTO mesti bekerja bersama untuk mereformasi WTO sehingga dapat menjadi organisasi yang lebih kuat dan efektif,” kata Roberto.