Memuat Halaman

Melestarikan Jejak-jejak
Revolusi Industri 1.0

Melestarikan Jejak-jejak Revolusi Industri 1.0Selama beberapa dekade terakhir banyak pabrik gula tutup dan telantar. Berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali peninggalan Revolusi Industri 1.0 ini dalam bentuk lain, yakni sebagai obyek wisata.

Scroll

Dulu kami mengoperasikan 13 PG di seluruh Jawa Tengah. Namun, sejak dua tahun lalu, tinggal 8 pabrik yang beroperasi. Dan sejak 2017, tinggal 5 pabrik yang bertahan, sementara 1 pabrik, yakni PG Cepiring di Kendal, dioperasikan dalam afiliasi dengan pihak swasta.Iryanto HutagaolDirektur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX

Revolusi Industri yang mengubah wajah dunia, dan membelah dunia antara negara industri dan negara non-industri, diawali di Inggris tahun 1760-an hingga 1840-an dengan pendayagunaan masif mesin-mesin uap. Kawasan Nusantara pun ikut tersentuh Revolusi Industri 1.0 ketika mesin-mesin uap canggih pada zaman itu didatangkan untuk menjadi inti teknologi pabrik-pabrik gula yang tengah menjamur.

Pabrik gula (PG) tumbuh pesat di Jawa. Pada tahun 1925, tercatat ada 205 PG beroperasi di Jawa. Gula waktu itu adalah komoditas penting dunia sehingga tak mengherankan jika pabrik-pabrik yang memproses tebu menjadi gula marak didirikan.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, penyusutan lahan tanaman tebu, teknologi yang menua, hingga kebijakan yang tak kunjung jelas terkait revitalisasi industri gula membuat banyak PG tutup. Banyak pabrik gula yang akhirnya telantar hingga menjadi puing-puing yang seakan tak berharga.

Padahal, banyak aset di pabrik tersebut seperti mesin, bangunan, dan sebagainya. Belum lagi nilai sejarah yang terkandung dari pabrik gula tua tersebut, yang menjadi saksi sebuah revolusi, terancam ikut musnah.

Dalam dua tahun terakhir, misalnya, PG Sumberharjo di Pemalang dan PG Gondang Baru di Klaten diputuskan berhenti berproduksi karena pasokan tebu terus menyusut dan hasilnya sudah tak lagi mampu menutup biaya produksi. PG Jatibarang, yang menjadi salah satu PG terbesar di kawasan pantura Jateng, juga tutup sejak tahun ini. Di masa Revolusi Industri 4.0, pabrik gula tua itu berusaha mempertahankan eksistensinya.

Di tengah persoalan itu, muncul peluang untuk menghidupkan kembali pabrik-pabrik gula ini dalam bentuk lain, yakni sebagai obyek wisata. Sejumlah pabrik yang sudah lama tak beroperasi direnovasi sehingga menjadi obyek wisata cagar budaya (heritage), sementara di pabrik-pabrik yang masih beroperasi kini dibuka dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas rekreasi agar masyarakat bisa ikut menikmati dan melihat pabrik gula dari dekat.

Beberapa lokasi PG yang dihidupkan kembali sebagai obyek wisata ini terletak tak jauh dari ruas Tol Trans-Jawa yang baru diresmikan. Dalam perjalanan menyusuri tol ini, pertengahan Desember 2018, Kompas mengunjungi sejumlah pabrik gula yang memiliki potensi wisata ini.

Bangkit Setelah 20 Tahun

Titik pertama yang kami datangi adalah kompleks eks PG Banjaratma di Kabupaten Brebes, Senin (17/12/2018). Proyek pembangunan masif masih berlangsung di kompleks ini untuk mengubah bangunan yang sudah berusia 100 tahun itu menjadi bagian dari sebuah tempat istirahat (rest area) di sisi Tol Trans-Jawa arah ke Jakarta.

KOMPAS/EDDY HASBYBangunan Pabrik Gula Banjaratma di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang terbengkalai "dibangkitkan" kembali menjadi tempat istirahat di ruas tol Pejagan-Pemalang KM 260, Jawa Tengah, Senin (17/12/2018).

Dari Jakarta, posisi PG ini sekitar 3 kilometer sebelum Gerbang Tol Brebes Barat di ruas Pejagan-Pemalang. Dari kejauhan, sosok PG yang tutup sejak 1998 itu tak mudah dikenali karena cerobong asap khas sebuah PG sudah rusak sejak lama.

PG Banjaratma mulai dibangun pada tahun 1908 oleh Pemerintah Hindia Belanda di Desa Banjaratma, sekitar 5 kilometer sebelah barat kota Brebes. Pabrik ini mulai berproduksi pada 1913. Dibandingkan pabrik-pabrik gula lain di Jawa Tengah, bisa dikatakan PG Banjaratma berusia paling muda.

KOMPAS/EDDY HASBYLoko uap, sisa tungku pembakaran, serta sisa bangunan Pabrik Gula Banjaratma, Kabupaten Brebes, dimanfaatkan menjadi rest area di ruas tol Pejagan-Pemalang KM 260, Jawa Tengah, Senin (17/12/2018).

”Pada masa kejayaannya, PG Banjaratma ini produktivitasnya paling tinggi dibandingkan pabrik-pabrik gula di kawasan ini,” ujar Teguh Wijanarko, Asisten Manajer Sumber Daya Manusia PG Jatibarang, yang kini mengelola sisa aset PG Banjaratma.

PG Banjaratma dihentikan operasinya pada 1998 setelah melakukan produksi terakhir pada 1997. Saat itu, Banjaratma ditutup bersamaan dengan empat PG lain di bawah PTPN IX, yakni PG Kalibagor di Banyumas, PG Colomadu di Karanganyar, PG Cepiring di Kendal, dan PG Ceper Baru di Klaten.

Selama 20 tahun, kompleks pabrik itu dibiarkan terbengkalai dan baru pada Mei 2018, Kementerian BUMN memerintahkan PT PP Properti untuk merevitalisasi kawasan pabrik gula itu menjadi salah satu rest area di ruas Tol Trans-Jawa.

NOVAN NUGRAHADI

Tak banyak yang tersisa dari bangunan utama PG Banjaratma kecuali tembok-tembok utama dengan gaya bata ekspos dan struktur fondasi ketel uap serta penyangga mesin-mesin giling di dalamnya. Seluruh mesin dan peralatan pendukung produksi pabrik itu sudah lama hilang atau dialihkan ke PG lain.

Kini bangunan utama pabrik itu diperbaiki dan dipercantik tanpa mengubah struktur dan bentuk aslinya. ”Bu Rini (Menteri BUMN Rini Soemarno) bahkan berpesan khusus akar-akar pohon yang merambat di dinding-dinding bangunan jangan dibersihkan karena itu menjadi salah satu daya tariknya,” ucap Wianda Pusponegoro, Staf Khusus Menteri BUMN, di Jakarta, awal Desember 2018.

Dari sisi struktur, Janu, insinyur sipil dari PT PP Properti yang terlibat dalam revitalisasi eks PG Tjolomadoe di Surakarta dan PG Banjaratma di Brebes, Jawa Tengah, mengatakan, struktur baja buatan tahun 1800-an yang menjadi kerangka utama bangunan-bangunan tersebut masih kuat dan dipertahankan.

KOMPAS/EDDY HASBYSisa bangunan rumah administratur Pabrik Gula Banjaratma, Kabupaten Brebes, yang berada di rest area ruas tol Pejagan-Pemalang KM 260, Jawa Tengah, Senin (17/12/2018).

”Kami ekspos rangka baja tersebut, hanya di-sandblast dan diberi clear coating agar masih terlihat bentuk dan warna aslinya. Masih terlihat nama pabrik pembuatnya. Demikian juga batu batanya banyak yang diekspos dan terlihat antik bangunan khas arsitektur Eropa dan kombinasi Jawa,” kata Janu, alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, yang mengantarkan Kompas melihat proses revitalisasi eks PG Banjaratma.

Menurut Wianda, nantinya selain berisi berbagai fasilitas istirahat, ruangan seluas lebih dari 5.000 meter persegi itu akan diperuntukkan bagi para pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Brebes dan sekitarnya untuk menampilkan produk-produknya.

Selain itu juga akan ada uraian tentang sejarah industri gula di Tanah Air, sekaligus sejarah PG Banjaratma. Bahkan, sebuah loko uap penarik lori pengangkut tebu didatangkan dari PG Jatibarang untuk dipajang di rest area Banjaratma ini. Demikian juga dengan sejumlah peralatan mesin giling yang akan dirakit di tempatnya semula untuk menambah otentisitas PG Banjaratma.

Ke depan, sejumlah rumah dinas pejabat dan pegawai PG Banjaratma yang memiliki nilai arsitektur tinggi juga akan direnovasi dan difungsikan menjadi penginapan atau resor wisata.

Museum Hidup

PG kedua yang kami datangi adalah PG Gondang Baru di Klaten, Jawa Tengah. PG ini mudah ditemukan karena terletak persis di pinggir jalan utama Yogyakarta-Solo, tepatnya di Desa Gondang Winangun, Kecamatan Jogonalan, sekitar 4 kilometer sebelah barat pusat kota Klaten.

PG ini didirikan tahun 1860 dengan nama Suikerfabriek Gondang Winangoen. Namanya diubah menjadi PG Gondang Baru pada 1957.

KOMPAS/EDDY HASBYKompleks PG Gondang Baru, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (19/12/2018).

Menurut pakar sejarah arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Krisprantono, keistimewaan Gondang Baru adalah kekayaan arsitektur, terutama rumah-rumah dinasnya, yang masih terpelihara utuh di satu kompleks yang tak terlalu luas. Eks rumah dinas administraturnya, misalnya, sangat cantik dan unik dengan pintu geser berbentuk busur terbuat dari kayu jati. Teras belakangnya langsung menghadap taman yang indah.

Eks rumah dinas terbesar ini sekarang disewakan sebagai penginapan rumahan (homestay) walau dengan pengelolaan yang terkesan masih seadanya.

KOMPAS/EDDY HASBYBangunan, mesin, dan stasiun pendingin yang masih tersisa di PG Gondang Baru, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (19/12/2018).

Pada 1982, Museum Gula dibuka di bagian tengah kompleks PG Gondang Baru dan hingga kini menjadi satu-satunya museum industri gula di Indonesia.

Jejak sejarah awal penggilingan tebu sebelum era mesin uap ditampilkan di Museum Gula Gondang Baru ini. Sepasang penggiling batu dan penggiling kayu ditampilkan di halaman depan museum.

Selain itu juga dipajang mesin giling utama lengkap dengan roda gila dan piston penggerak yang digerakkan uap air. Lalu, ada mesin penyaring nira tebu dan sejumlah lokomotif uap penarik lori. Salah satu loko tertua dibuat pada tahun 1901.

Di dalam gedung museum ditampilkan berbagai aspek industri gula, mulai dari tata cara tanam tebu, hama yang mengancam tebu, hingga berbagai alat yang dipakai di pabrik gula zaman dulu, sampai miniatur PG Tasikmadu dan PG Jatibarang.

Museum Gula ini menarik perhatian Dirjen UNESCO yang berkunjung ke Indonesia dalam rangka Kongres Gula Internasional pada tahun 1984.

Namun, yang menarik dari PG Gondang Baru ini adalah keutuhan dan kelengkapan bangunan utama pabriknya yang sudah tidak beroperasi sejak 2016. Seluruh kelengkapan mesin-mesin hingga papan petunjuk keselamatan dan catatan produksi masih berada di tempat aslinya, membawa kenangan tersendiri akan sebuah kejayaan pabrik gula.

KOMPAS/EDDY HASBYRoda-roda mesin untuk memeras tebu di PG Gondang Baru, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (19/12/2018).

Mesin uap buatan Lahaye & Brisonneauf dari Perancis yang dipasang tahun 1884 juga masih terlihat. Demikian juga dengan piston-piston mesin giling buatan Gebr Stork & Co buatan tahun 1893, yang masih digunakan sampai dua tahun lalu. Ketel-ketelnya juga masih terpasang utuh di tempatnya.

Jika keutuhan ini bisa dijaga dan diperbaiki serta dibersihkan, PG Gondang Baru berpeluang menjadi situs museum gula yang berguna bagi siapa pun yang ingin mengetahui atau meriset proses Industri 1.0 bekerja. Posisi kompleks PG yang terletak persis di pinggir jalan protokol juga menjadi kelebihan tersendiri untuk menarik wisatawan atau peneliti mampir ke situs ini.

Bukti Revitalisasi

Jika Gondang Baru sudah berhenti berproduksi sejak dua tahun lalu, PG Tasikmadu di Kabupaten Karanganyar masih berproduksi hingga saat ini di bawah kendali PTPN IX. Di sini kita masih bisa melihat proses produksi gula ini secara nyata.

KOMPAS/EDDY HASBYPabrik Gula Tasikmadu di Desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (20/12/2018).

Selain masih aktif berproduksi, di PG Tasikmadu juga dibuka area agrowisata Sondokoro di lokasi pabrik di Kabupaten Karanganyar sejak beberapa tahun lalu. Manajer PG Tasikmadu Triyono yang ditemui pertengahan Desember 2018 menjelaskan, kekhasan obyek wisata Sondokoro adalah tur keliling dengan lokomotif uap dan lokomotif diesel serta keberadaan beberapa artefak sejarah di kompleks pabrik yang berada di lereng Gunung Lawu.

Salah satu artefak itu adalah gerbong khusus yang dulu digunakan para adipati Mangkunegaran untuk meninjau lahan tebu di sekitar PG Tasikmadu. Gerbong mewah itu dibuat pabrikan kereta asal Perancis.

Danial A KurniawanLori tua yang digunakan di Pabrik Gula Tasikmadu dan masih dioperasikan hingga sekarang.

PG Tasikmadu adalah satu dari dua PG yang dibangun oleh Mangkunegara IV. Satu lagi adalah PG Colomadu juga di Kabupaten Karanganyar, dekat Kartasura.

Penulis sejarah Mangkunegaran, Daradjadi, yang juga keturunan Mangkunegara IV, menjelaskan, pendirian pabrik Colomadu dan Tasikmadu merupakan salah satu langkah strategis Mangkunegara IV dalam rangka membangun kemandirian. ”Mangkunegara IV memiliki cita-cita membangun kekuatan militer, ekonomi, dan kualitas SDM masyarakat Mangkunegara agar bisa setara dengan Eropa,” kata Daradjadi.

KOMPAS/EDDY HASBYMesin-mesin di dalam Pabrik Gula Tasikmadu, Desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (20/12/2018).

Pendirian dua pabrik gula tersebut tidak lepas dari hubungan baik Mangkunegara IV dengan Majoor Cina di Semarang, Bee Biaw Tjwan, yang meminjami modal awal. Salah satu putri Bee Biaw Tjwan menjadi istri muda Mangkunegara IV yang kemudian dimakamkan dekat PG Tjolomadoe dan dikenal sebagai Nyai Pulungsih. Makam Nyai Pulungsih dihormati warga sekitar pabrik gula hingga kini.

Cembengan, asal kata Qing Ming (Mandarin) atau Ceng Beng (dialek Hokkian) merupakan salah satu jejak sejarah budaya Tionghoa dalam industri gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian melebur dalam tradisi budaya Jawa.

Uraian cerita sejarah industri gula di Jawa yang diawali tahun 1500-an dengan kehadiran industriawan hingga kuli pekerja dari China sebelah selatan, sampai tradisi Cembengan, itu, kini bisa disaksikan di Museum Pabrik Gula De Tjolomadoe. Ini adalah hasil revitalisasi PG Colomadu yang didirikan tahun 1861 dan sudah berhenti beroperasi sejak 1998.

Bagi pengunjung yang menggunakan penerbangan atau pun Jalur Tol Trans-Jawa ke Surakarta, kompleks De Tjolomadoe berada tidak jauh dari Bandara Adi Soemarmo dan Gerbang Tol Kartasura. Kompleks tersebut mencakup museum, kafe, dan concert hall untuk penyelenggaraan pertunjukan musik. Musisi David Foster pernah menggelar pertunjukan di sana.

KOMPAS/EDDY HASBYPabrik Gula Colomadu menjadi destinasi wisata berupa museum pabrik gula, terletak di Kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah, Jumat (21/12/2018). PG Colomadu dirikan tahun 1861 oleh Mangkunegara IV.

Bagaimana Kerajaan Thailand mengembangkan basis industri agro dan menjadi eksportir beras dan produk pangan dengan belajar dari Surakarta pun ditampilkan di Museum Tjolomadoe.

De Tjolomadoe adalah proyek percontohan Kementerian BUMN yang digarap bersama oleh empat entitas BUMN, yakni PT PP (Persero); PT PP Properti Tbk; PT Jasa Marga Properti; dan PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero). Mereka bergabung membentuk konsorsium bernama PT Sinergi Colomadu.

Peletakan batu pertama revitalisasi eks PG Colomadu ini dilakukan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 8 April 2017. Selanjutnya, PT Sinergi Colomadu bekerja sama dengan PT Airmas Asri melakukan konstruksi revitalisasi dengan mengikuti kaidah cagar budaya.

Bangunan eks pabrik gula seluas 1,3 hektar di atas lahan 6,4 hektar yang selama 20 tahun terbengkalai dan terlihat menyeramkan kini menjadi bangunan mentereng megah yang dimanfaatkan sebagai salah satu pusat kegiatan kultural masyarakat bernilai komersial dengan tetap mempertahankan warisan sejarahnya.

KOMPAS/EDDY HASBYSalah satu sisa mesin Pabrik Gula Colomadu, yang kini menjadi destinasi wisata dan museum pabrik gula, di Kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah, Jumat (21/12/2018).

Di dalam bangunan ini, sebagian suku cadang mesin utama pabrik masih dipertahankan, seperti mesin giling dan mesin-mesin pemasak serta pengkristal gula. Di bagian yang dulunya gudang, mesin-mesin kerja itu masih dipertahankan di tengah meja-meja kafe bagi pengunjung.

De Tjolomadoe pun kini menjadi salah satu tujuan wisata "wajib" bagi wisatawan yang berkunjung ke Kota Solo dan sekitarnya.

Walaupun ada kritik dari sejumlah pakar, termasuk Krisprantono, bahwa revitalisasi PG Colomadu ini telah menghilangkan sebagian jejak bangunan bersejarah di kompleks tersebut, upaya revitalisasi ini tetap perlu diapresiasi sebagai sebuah langkah awal pelestarian bangunan cagar budaya yang bisa dikomersialisasi kembali.

PG Colomadu adalah satu dari dua PG yang dibangun oleh Mangkunegara IV. Satu lagi adalah PG Tasikmadu di Kabupaten Karanganyar yang masih berproduksi hingga saat ini di bawah kendali PTPN IX.

Masih di wilayah Solo, terdapat pula eks PG Gembongan yang didirikan tahun 1892 di Desa Pabelan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Lokasi tersebut kini diubah menjadi obyek wisata The Heritage Palace yang mempertahankan arsitektur asli PG Gembongan.

KOMPAS/EDDY HASBYSisa bangunan Pabrik Gula Gembongan yang terletak di Pabelan, Kartasuro, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (22/12/2018). Berdiri tahun 1899 dan mengalami renovasi tahun 1920 bergaya arsitektur art deco, bagian bangunan gedung itu dimanfaatkan menjadi wahana wisata keluarga The Heritage Palace.

Arsitektur fasad pabrik yang bergaya art deco terlihat berbeda dibandingkan pabrik-pabrik gula lain dan menjadi daya tarik utama tempat ini untuk melakukan swafoto yang instagrammable.

Pabrik ini sudah lama tutup dan pernah dikonversi menjadi pabrik rokok Djitoe sebelum akhirnya dibiarkan terbengkalai menjadi kompleks pergudangan yang mangkrak.

Baru awal 2018, seorang investor tertarik dengan keunikan arsitektur PG Gembongan kemudian menyulapnya menjadi obyek wisata. Pengelola The Heritage Palace, Franky Hardy, menjelaskan, bangunan asli tetap dipertahankan dan di sana dipajang berbagai jenis mobil antik hingga wahana 3D dan Eye Trick Museum serta kafe. Sekilas, konsep museum swasta ini mirip Museum Angkut di Kota Batu, Jawa Timur.

KOMPAS/EDDY HASBYMuseum Transportasi di wahana wisata keluarga The Heritage Palace di Pabelan, Kartasuro, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (22/12/2018), memanfaatkan sisa bangunan Pabrik Gula Gembongan.

Menurut Franky, ada beberapa bangunan yang masih dalam tahap renovasi untuk nanti dimanfaatkan sebagai gedung pertemuan dan pusat suvenir serta cendera mata buatan UMKM setempat. Ia juga bertekad mempertahankan keutuhan dan keaslian bangunan eks PG Gembongan itu, termasuk dengan merenovasi kembali cerobong asap besarnya.

Saat ini, pengembangan pabrik gula baru yang modern masih berlangsung di Lampung di Sumatera dan Sumba di Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, jejak langkah Revolusi Industri dengan keberadaan pabrik gula di Jawa adalah penanda zaman (milestone) penting yang mengingatkan pada satu masa, Pulau Jawa pernah menjadi kekuatan agroindustri yang tidak mustahil dapat bangkit kembali dengan kebijakan yang tepat, termasuk dalam industri gula.

Sebagai contoh, kebutuhan migas di Brasil pun dipasok dari industri tebu yang menghasilkan etanol, mengalahkan pasokan dan harga bahan bakar fosil. Keberadaan pabrik gula di Jawa menjadi perawat ingatan kolektif akan kejayaan ekonomi agro dan berbagai varian diversifikasi produk yang sebetulnya bisa dibangkitkan kembali!

Mengapa Pabrik Gula Bertumbangan?

Revolusi Industri menghasilkan beragam mesin uap yang membuat pabrik berproduksi lebih cepat dan dalam jumlah besar menghasilkan berbagai jenis komoditas. Pabrik gula yang tersebar di Pulau Jawa adalah bukti sentuhan Revolusi Industri 1.0 di Nusantara.

Gula kala itu menjadi komoditas unggulan dunia pada medio abad ke-19. Berkat perdagangan gula pula misalnya, kota Amsterdam di Belanda menjadi pusat keuangan dunia hingga menjelang Perang Dunia II!

Kedatangan gelombang Revolusi Industri ke Nusantara ini pun berjalan seiring dengan berlangsungnya perubahan besar di seluruh dunia. Beberapa pabrik gula (PG) di Jawa bahkan dibangun pada dekade 1830-an, saat Revolusi Industri bahkan belum sepenuhnya usai di daratan Eropa, tempat revolusi ini berasal.

PG bahkan sempat mencapai angka ratusan meski seiring dengan perjalanan waktu, jumlah PG itu terus menyusut karena pasang surut industri gula di Tanah Air. Berbagai persoalan menerpa seperti penyusutan lahan tebu, teknologi, hingga kebijakan tak jelas membuat banyak PG diputuskan ditutup.

”Dulu kami mengoperasikan 13 PG di seluruh Jawa Tengah. Namun, sejak dua tahun lalu, tinggal 8 pabrik yang beroperasi. Dan sejak 2017, tinggal 5 pabrik yang bertahan, sementara 1 pabrik, yakni PG Cepiring di Kendal, dioperasikan dalam afiliasi dengan pihak swasta,” papar Iryanto Hutagaol, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, di Semarang, Jateng, Selasa (18/12/2018).

Menurut Iryanto, masalah utamanya terletak pada penurunan pasokan bahan baku tebu dan inefisiensi pabrik yang masih menggunakan teknologi abad ke-19. ”Pasokan tebu terus menurun karena selain terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi industri atau perumahan, juga terjadi perubahan pola tanam petani, dari yang dulu menanam tebu kini lebih memilih menanam padi, jagung, kedelai, atau bawang merah,” ungkapnya.

Salah satu pegawai di PG Gondang Baru, Klaten, bercerita, dulu bahan bakar untuk memanaskan ketel uap bisa sepenuhnya menggunakan ampas tebu sisa giling yang begitu melimpah. Belakangan, ampas tebu itu tak lagi cukup untuk dibakar selama musim giling sehingga pihak pabrik harus membeli kayu bakar yang berarti menambah ongkos produksi.

Pada musim giling terakhirnya tahun 2016, PG Gondang Baru hanya beroperasi selama 40 hari karena minimnya pasokan tebu, sebelum kemudian tutup untuk selamanya. Catatan angka-angka produksi pamungkas ini masih tertera di papan-papan informasi di dalam pabrik, yang menjadi saksi bisu akhir riwayat PG Gondang Baru.

Pakar sejarah arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Krisprantono, mengatakan, dari total 205 PG di Jawa pada awal abad ke-20, saat ini tersisa 35 pabrik gula, ditambah sekitar 50 PG yang tinggal tersisa jejak-jejaknya, seperti fondasi atau saluran airnya.

”Ketika saat ini kita bicara Revolusi Industri 4.0, awal mulanya adalah Revolusi Industri 1.0 yang dimulai dengan pabrik gula di Jawa yang menggunakan mesin-mesin uap raksasa. Yang menarik, cara operasi pabrik gula di Jawa hingga saat ini menjadi semacam museum hidup karena masih sama dengan operasional pabrik gula 200 tahun silam. Di negara lain, operasional pabrik gula sudah berubah sama sekali,” tutur Krisprantono, yang menghabiskan hidupnya meneliti arsitektur pabrik gula lebih dari 20 tahun.

Krisprantono pernah mengantarkan tim pembuatan film dokumenter dari Belanda yang terkejut melihat pabrik gula di Jawa yang masih menggunakan tungku kayu, ketel uap, loko penarik lori tebu bermesin uap, dan para pekerja bercelana pendek bertelanjang dada persis suasana produksi gula tahun 1800-an, tetapi berlangsung di abad ke-21!

Belum lagi ada ratusan ”mutiara” terpendam dari sejarah arsitektur pada perkembangan industri gula di Nusantara ini, mulai dari bangunan utama pabrik-pabrik gula hingga ribuan rumah dinas petinggi dan pekerja pabrik gula. Konsep wonningen atau hunian tersebut memiliki gaya arsitektur khas yang dibagi atas hunian administratur, pekerja yang berkeluarga, pekerja lajang, dan berbagai fasilitas pendukung sebuah pabrik gula.

Itu sebabnya, baik pihak PTPN maupun Kementerian BUMN kemudian melihat peluang untuk menghidupkan kembali pabrik-pabrik gula ini dalam bentuk lain, yakni sebagai obyek wisata.

Kerabat Kerja

Penulis: Iwan Santosa, Dahono Fitrianto | Fotografer: Eddy Hasby | Videografer: Eddy Hasby, Danial A Kurniawan | Video Editor: Vicentzo Joski, Antonius Sunardi | Infografik: Novan Nugrahadi, Gunawan Kartapranata | Videografik: Novan Nugrahadi | Penyelaras Bahasa: Priskilia Bintang C Sitompul | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda | Produser: Dahono Fitrianto, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.