Letusan Gunung Toba 74.000 tahun lalu turut mempengaruhi pola rumah adat masyarakat Batak Toba, di Sumatera Utara. Rumah adat dibangun dengan kearifan lokal, mulai dari struktur yang tahan gempa, fungsi ruangan, sampai ukiran hiasannya.
Letusan dahsyat Gunung Toba pada 74.000 tahun lalu, mewariskan topografi istimewa bagi tanah Batak, Toba, Sumatera Utara. Alam bagaikan mengukir bukit-bukit dan menginspirasi peradaban setempat. Salah satu manifestasinya adalah rumah adat Batak. Namun, karena pengaruh dunia modern, rumah adat asli Batak berkurang jumlahnya.
“Prihatin. Sepanjang perjalanan berkeliling Toba, sudah jarang mendapati rumah adat panggung Batak. Padahal, rumah itu unik dan sarat fungsi serta makna bagi pemiliknya,” jelas Sampe L Purba, budayawan Batak, saat bertemu tim peneliti Kaldera Nusantara Badan Geologi Kementerian ESDM bersama KOMPAS pada akhir tahun 2019 lalu, di kawasan Toba, Sumatera Utara.
Ya, rumah adat Batak itu diyakini tidak mudah diwariskan sekalipun kepada keturunannya langsung atau saudara semarga. Kenapa? Nah, perhatikan saja jika menemui beberapa rumah adatnya terutama dibagian ukiran-ukiran kayu yang menempel di dindingnya. Ukiran-ukiran ini disebut gorga. Gorga ini tidak sembarang orang mengukirnya karena rumah adalah cerminan masa lalu hingga masa depan sang pemiliknya. Hal itu membuat rumah tidak mudah diwariskan.
Namun, posisi dan penempatan rumah sampai arsitektur rumah Batak ini tetap dapat dijelaskan secara ilmiah melalui beberapa penelitian. Bentuk atap pun memiliki kelebihan aerodinamika, artinya para leluhur benar-benar memahami topografi letusan di bukit-bukit kaldera.
Mitigasi bencana pun tercermin dari pasak serta sambungan-sambungan kontaruksi rumah. Karena Sumatera dilalui sesar aktif yang mampu menggerakkan tanah melalui sejumlah gempa-gempa. Leluhur rupanya memahami betul konsep mitigas gempa ini dengan membangun rumah aman gempa.
Dalam tata letak “huta”, sebutan untuk kampung di Batak, umumnya, masyarakat hidup berkelompok. Dalam satu huta terdapat dua baris berhadapan (lihat gambar tata letak). Barisan sebelah utara berjejer itu ruma (rumah) adat dan barisan sebelah selatan itu sopo (lumbung padi, gudang atau ruang penyimpanan). Di antara kedua barisan, antara rumah dan sopo berupa alaman (halaman) serbaguna.
Sinar matahari yang terbit dari timur leluasa menyinari seluruh huta tersebut dengan melintasi halaman. Bagian belakang, biasanya dimanfaatkan untuk berkebun. Mereka menggunakan pagar-pagar hidup dari pepohonan sebagai dinding pagar. Pintu gerbang sering disebut Bahal yang biasanya ditanam pohon-pohon bertuah, seperti pohon hariara, mirip seperti beringin sebagai lambang kehidupan untuk penanda keberadaan suatu huta.