Rumah Adat Sumatera Selatan, Harmoni yang Memudar (1)

Sumatera Selatan sedikitnya dihuni oleh 12 suku ”asli” dengan beragam keunikannya. Meski unik dan beragam, mereka memiliki benang merah kearifan lokal yang sama, yakni hidup harmonis dengan alam. Salah satunya tecermin lewat rumah adat masing-masing yang bersahabat dengan lingkungan. Sayang, seiring perkembangan zaman, harmonisasi itu mulai memudar.

Gempa bumi 5,6 skala Richter yang terjadi 9 September 2008 turut menggoyang Desa Jati Lama, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, meski pusat gempa berada di Tebing Tinggi, Empat Lawang, Sumsel, yang berjarak 80 kilometer. Orang-orang sontak berhamburan keluar bangunan.

Pascagempa, rumah-rumah panggung dari kayu tetap kokoh berdiri, sedangkan rumah atau bangunan modern dari batu/beton mengalam i kerusakan, setidaknya retak-retak di dinding.

Pascagempa, rumah-rumah panggung dari kayu tetap kokoh berdiri, sedangkan rumah atau bangunan modern dari batu/beton mengalami kerusakan, setidaknya retak-retak di dinding. Gempa itu menelan 2 korban meninggal, 60 orang luka-luka, dan 355 rumah rusak yang tersebar di 11 desa di Lahat dan Pagar Alam.

”Lahat sering terkena gempa karena dekat gunung, Bukit Barisan. Tahun 1986-1987, pernah ada juga gempa besar sekali sampai rumah kami bergoyang, perabotan dan bingkai foto berjatuhan semua. Rumah kami tidak hancur karena rumah kayu. Rumah orang lain yang rumah batu hancur semua. Begitulah, rumah kayu memang lebih kuat,” ujar Nurul Syahroni (64), warga Desa Jati Lama, dalam bahasa Lahat, Jumat (16/3/2021).

Rumah Nurul adalah rumah panggung dari kayu cemara gunung yang dibangun orangtuanya pada 1957. Selama 63 tahun berdiri, rumah itu beberapa kali terkena dampak gempa dari kawasan Lahat dan sekitarnya. Namun, rumah tersebut sejauh ini selalu terhindar dari kerusakan. Saat terjadi gempa, rumah setinggi 2 meter dari permukaan tanah itu hanya bergetar atau bergoyang. Paling parah, hanya membuat perabotan dan bingkai foto berjatuhan.

Oleh karena itu, rumah tersebut tidak pernah diotak-atik. Hanya pernah dilakukan perbaikan kecil karena ada kayu yang rusak atau atap bocor. Sementara banyak rumah tetangganya yang sudah berubah dari rumah panggung kayu menjadi rumah tapak dari batu/beton atau bagian bawahnya dibangun ruangan dari batu/beton. Alasannya, mengikuti selera masa kini.

Walaupun terkesan modern, agaknya rumah atau bangunan dari batu tidak cukup cakap beradaptasi dengan kondisi sekitar. Kala terjadi gempa, rumah batu/beton tidak dinamis mengikuti getaran atau goyangan. Setelah gempa, sering terjadi dinding retak-retak atau bahkan ambruk.