Kerusakan hutan menyebabkan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) kehilangan habitat alami mereka. Tak hanya itu, banyak orangutan yang tidak hidup di lingkungan semestinya lantaran ulah manusia.
Nasib hewan kerabat terdekat manusia itu memang mengenaskan. Bukan hanya kehilangan tempat tinggal alami, mereka mendapat perlakuan yang tidak manusiawi seperti ditembaki karena dianggap mengganggu, dan ada sebagian yang harus dikurung di kandang sempit, sehingga kehilangan kebebasan mereka.
Kera-kera besar itu, seperti orangutan, gorila, dan simpanes, merupakan kerabat dekat manusia karena memiliki kemiripan DNA dengan manusia hingga 98 persen. Kemiripan lain, induk orangutan mengandung sembilan bulan. Induk betina memiliki kasih sayang yang kuat, bahkan mampu mengadopsi orangutan lain yang bukan anak kandungnya.
Sebagian orangutan yang hidup terkurung itu kemudian diselamatkan oleh sejumlah pihak yang peduli dengan kehidupan mereka. Beberapa dikembalikan ke habitat mereka setelah direhabilitasi, seperti yang dialami orangutan bernama, Nigel (17), Hercules (20), Antak (15), Ucokwati (18), dan Mungil (8).
Bagaimana awalnya orangutan-orangutan itu harus menjalani rehabilitasi? Beberapa tahun sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama sejumlah aparat menyita lima orangutan.
Kelimanya disita dari warga hingga kebun binatang yang izin dan pengelolaannya bermasalah di Kaltim dan Jawa Tengah. Lima ”pongo” itu kemudian diboyong ke Kaltim untuk direhabilitasi. Mereka dirawat di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA), pusat rehabilitasi orangutan di Kabupaten Berau, Kaltim. BORA dikelola oleh Centre for Orangutan Protection (COP), organisasi nirlaba yang juga mitra pemerintah dalam merehabilitasi orangutan.
Orangutan yang diberi nama Nigel (17), Hercules (20), dan Antak (15) disita dari warga yang memelihara secara ilegal di Kaltim. Adapun orangutan Ucokwati (18) disita dari sebuah taman satwa bermasalah di Jawa Tengah. Saat menjalani masa rehabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Yogyakarta, Ucokwati melahirkan satu anak betina yang diberi nama Mungil (8).
Hasil tes DNA menunjukkan, Ucokwati dan Mungil adalah spesies orangutan Kalimantan. Keduanya kemudian ditranslokasikan ke Kaltim oleh KLHK. Direktur COP Daniek Hendarto mengatakan, karena sudah terbiasa hidup di sekitar manusia, kelima orangutan tersebut tak bisa serta-merta dilepasliarkan ke hutan.
Sebab, mereka sudah tak lagi liar lantaran setiap hari diberi makan manusia, hidup di kandang yang lingkupnya sempit, serta tercerabut dari hutan sebagai habitat alaminya. Di BORA, para orangutan dikarantina dan dilatih hidup mandiri di alam.