Saatnya Fokus Mencegah Korupsi

Hukuman bagi pelaku korupsi ternyata belum membuat jera, apalagi secara umum hukuman bagi koruptor di Indonesia masih tergolong ringan. Aspek pencegahan perlu dikedepankan untuk menghapus korupsi.

Putusan penjara seumur hidup merupakan hukuman terberat bagi para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini. Hingga kini, dari ratusan koruptor yang telah menerima vonis hakim, baru tercatat tiga pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Mereka adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, pengusaha Adrian Waworuntu, dan Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi.

Secara umum, sebagian besar koruptor divonis ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir tren vonis korupsi 2018, hasil pantauan terhadap 1.053 perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung.

Kompas/Priyombodo
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar seusai sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (30/6/2014). Akil divonis hukuman penjara seumur hidup oleh majelis hakim.

Hasil kajian itu menyimpulkan, rata-rata lama hukuman untuk terdakwa korupsi pada 2018 ialah 2 tahun 5 bulan. Fenomena itu memberikan gambaran, kejahatan korupsi belum dianggap sebagai tindak pidana berat oleh lembaga peradilan di Indonesia.

Sebenarnya, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sudah mengadopsi hukuman mati, tepatnya dalam Pasal 2 Ayat 2. Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi kejahatan korupsi ”luar biasa”, atau pada keadaan tertentu. Ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 Ayat A itu sampai saat ini belum pernah diterapkan atau menjadi vonis hakim.

Bukan hanya hukuman kurungan, beberapa hukuman tambahan juga sudah diberikan, seperti pencabutan hak politik dan perampasan harta hasil korupsi. Pencabutan hak politik, antara lain diterima Setya Novanto.

KOMPAS/ALIF ICHWAN
Mantan Ketua DPR Setya Novanto tertunduk lesu setelah divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (24/4/2018). Selain vonis penjara, Novanto juga dicabut hak politiknya.

Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta (24/4/2018). Ia terbukti melakukan kolusi bersama dalam pengadaan KTP elektronik. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutuskan mencabut hak Novanto untuk menduduki jabatan publik hingga 5 tahun seusai menjalani pidana.

Perampasan harta korupsi, misalnya, dilakukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya yang menghukum mantan Wali Kota Madiun Bambang Irianto pada Agustus 2017. Selain hukuman enam tahun penjara, hakim memerintahkan agar harta terdakwa yang diperoleh dari hasil gratifikasi dirampas untuk negara. Total nilai harta yang dirampas berjumlah Rp 33 miliar dari Rp 59,7 miliar yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

Terbaru, Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti Rp 477,359 miliar dari terpidana korupsi pengadaan batu bara, Kokos Leo Lim (16/11/2019). Jumlah uang pengganti itu cukup besar mengingat total uang pengganti yang bisa dieksekusi Kejaksaan Agung pada 2018 hanya sebesar Rp 56,35 miliar.

Mencermati data di atas, hukuman bagi koruptor masih terlalu ringan sehingga tidak memberikan efek jera. Pengembalian kerugian negara juga tidak sesuai dengan harapan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Jaksa Agung ST Burhanuddin (tengah) menunjukan uang tunai hasil eksekusi barang bukti atas perkara tindak pidana korupsi dengan terpidana Kokos Jiang alias Kokos Leo Lim yang merugikan keuangan negara dalam hal ini PT PLN Batubara sebesar Rp 477,359 miliar di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (15/11/2019).

ICW melihat, dengan kerugian negara sepanjang 2018 sebesar Rp 9,29 triliun, uang pengganti yang masuk kas hanya Rp 805 miliar dan 3 juta dollar AS. Jumlah ini hanya sekitar 8,7 persen dari total kerugian negara. Haruskah memaksimalkan hukuman demi efek jera bagi tindak pidana korupsi?

Hukuman mati

Hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan dalam kasus korupsi ialah hukuman mati. Terdapat sejumlah negara yang menerapkan hukuman ini bagi para koruptor di negara mereka. Tiga negara yang tercatat di lembaga Amnesty International yang masih menerapkan hukuman mati adalah China, Iran, dan Vietnam.

Memang, ketiga negara tersebut tidak hanya menghukum mati para koruptor, tetapi juga memberlakukannya bagi pelaku kejahatan lainnya, seperti produsen atau pengedar narkoba.

Sebagai contoh, pada 2018 di China, Zhou Zhenhong (56), mantan Chief United Front Work Department (UFWD), dijatuhi hukuman mati setelah terbukti mengambil lebih dari 24,6 juta yuan atau Rp 43 miliar.

Jauh sebelumnya pada 2013, Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian, dijatuhi hukuman mati setelah terbukti mengambil 6 miliar pound sterling atau setara dengan Rp 109,2 triliun dari praktik suap jabatan selama 1986 hingga 2011. Adapun China mengesahkan hukuman mati bagi koruptor sejak 2006.

Apakah pemberlakuan hukuman mati dapat menurunkan tindakan korupsi di negara-negara tersebut? Melansir laporan dari Transparency International, kenaikan peringkat indeks persepsi korupsi ketiga negara tersebut tidak begitu signifikan dari tahun ke tahun meskipun menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.

Semakin tinggi angka yang diberikan Transparency International, semakin suatu negara dianggap tidak korupsi. Pada 2018, nilai indeks korupsi Indonesia 38, hanya selisih satu poin dari China, 39.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mural yang berisi desakan untuk memberikan hukuman yang berat bagi koruptor berupa hukuman mati tergambar di pintu bangunan di Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, Jumat (25/10/2019).

Contoh kenaikan yang tidak signifikan ditampilkan oleh Iran yang nilai indeksnya 28 pada 2018, masih sama seperti pada 2012. Sementara itu, Vietnam hanya naik 2 poin dari 31 pada 2012 menjadi 33 untuk 2018.

Jika melihat laporan dari Transparency International, hukuman paling tinggi bagi koruptor ternyata tidak menjadi jalan keluar yang ampuh dalam pemberantasan korupsi. Belum lagi, praktik ini masih memunculkan pro dan kontra baik dari segi hukum, moral, ataupun etis. Meski demikian, semua muaranya satu, semua pihak jenuh dengan tindakan para pelaku korupsi.

Pencegahan

Jika hukuman bagi koruptor belumlah efektif dalam memberantas korupsi, strategi lainnya ialah menguatkan aspek pencegahan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tugas, baik penindakan maupun pencegahan. Kedua aspek ini diakui KPK tetap harus dijalankan dengan seimbang.

Dalam laporan Tahunan KPK 2018, banyak aspek pencegahan yang diupayakan KPK, mulai dari edukasi, sosialisasi, hingga meluncurkan akses pemantauan pelayanan publik.

KPK turut menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan pendidikan antikorupsi di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Terdapat pula sembilan poin rencana aksi implementasi pendidikan antikorupsi yang dimulai dari segi kebijakan hingga mendorong keterbukaan informasi publik, termasuk mendorong penerapan anggaran negara dan keuangan parpol yang transparan.

KPK menyoroti bahwa upaya publik dalam mengawal instansi pelayanan publik sangatlah diperlukan. KPK diantaranya merilis aplikasi JAGA-KPK, dimana publik dapat turut memantau empat sektor secara berkala. Keempat sektor tersebut ialah instansi pendidikan, kesehatan, desa, dan perizinan.

Meski demikian, langkah pencegahan korupsi ini masih belum didukung secara penuh baik oleh penegak hukum ataupun pemerintah. Buktinya, para pegiat antikorupsi masih terus dibayangi dengan aksi teror.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Baliho bertuliskan pesan untuk melawan korupsi terpasang di Kompleks Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Minggu (8/12/2019). Komitmen pencegahan korupsi harus didukung semua pihak.

Dalam laporan ICW sepanjang 1996 hingga 2019, terdapat 91 kasus serangan fisik dan kriminalisasi terhadap 115 pegiat antikorupsi dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ditemukan, aktivis antikorupsi merupakan aktor yang paling rentan dikriminalisasi ataupun diserang secara fisik.

Untuk menekan praktik korupsi, komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap para pegiat korupsi ini sangatlah penting.

Selain itu, dimensi pencegahan korupsi perlu lebih diprioritaskan sebagai strategi di sektor hulu, selain mengupayakan hukuman lebih berat bagi para koruptor di sektor hilir.