Saatnya Menguatkan Mitigasi Bencana 

Anomali cuaca akibat datangnya La Nina yang berpotensi meningkatkan curah hujan menjadi momentum penguatan mitigasi bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, hingga kekeringan, menyebabkan kerugian besar, baik dari sisi korban maupun ekonomi. Anomali cuaca akibat datangnya La Nina yang berpotensi meningkatkan curah hujan menjadi momentum penguatan mitigasi bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Istilah hidrometeorologi merujuk pada proses alam, yaitu kondisi atmosfer berpengaruh terhadap pola ketersediaan air di permukaan bumi. Satu sisi menyebabkan surplus dan muncul banjir, di sisi lain mampu mengurangi ketersediaan air hingga kondisi kering.

Berdasarkan pengertian di atas, maka proses bencana hidrometeorologi sebenarnya tidak berjalan dalam satu proses sederhana, melainkan mampu memicu proses alam lainnya. Proses tersebut bisa meliputi pergerakan tanah atau tanah longsor, anomali gelombang pasang air laut dan abrasi, hingga kebakaran hutan karena kondisi kering dan panas.

Melihat timbulnya bencana hidrometeorologi, penguatan mitigasi bencana ini dapat dilihat urgensinya dalam tiga aspek, yaitu frekuensi munculnya bencana, risiko multibahaya, dan anomali cuaca saat puncak musim hujan. Faktor pertama adalah frekuensi bencana hidrometeorologi. Sepanjang 1 Januari 2020 hingga 29 Juni 2020, BNPB mencatat 1.549 kejadian bencana alam. Sebanyak 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung.

Dalam satu dekade terakhir, kejadian bencana alam di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data BNPB sepanjang 2009-2019, total bencana mencapai 24.270, didominasi bencana hidrometeorologi. Pada 2009 terjadi 1.246 kejadian bencana. Sebanyak 66 persen di antaranya bencana hidrometeorologi. Jumlah peristiwa bencana meningkat lima tahun kemudian menjadi 1.963 kejadian bencana pada 2014. Lagi-lagi bencana hidrometeorologi mendominasi, yakni sebesar 69 persen. Sisanya, 31 persen berupa bencana geologi.

Peningkatan kejadian bencana juga terekam pada 2019 menjadi 3.768 bencana. Jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 3.406 kejadian. Dari 3.406 bencana yang terjadi pada 2018, sebanyak 2.455 bencana merupakan bencana hidrometeorologi. Banjir sepanjang 2018 terjadi 679 kali dan mengakibatkan 119 orang meninggal.

Ancaman bencana ini juga terjadi di dunia. Hasil kajian Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) menyebutkan, pada 2019, jenis bencana alam paling banyak terjadi berkaitan dengan fenomena hidrologi, seperti banjir dan banjir bandang. Jenis bencana kedua paling sering terjadi akibat anomali cuaca yang meliputi El Nino dan La Nina serta suhu ekstrem. Hingga akhir September 2020, pemantauan BMKG terhadap anomali iklim global di Samudra Pasifik menunjukkan bahwa anomali iklim La Nina sedang berkembang. Fenomena yang terjadi sebelumnya  menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan meningkatnya curah hujan di Indonesia hingga 40 persen di atas normal.

Dalam pantauan BMKG, sebagian besar wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan pada Oktober 2020 dan mencapai titik tertingginya pada Januari-Februari 2021. Ini artinya, potensi hujan deras yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor dapat lebih masif terjadi akibat anomali cuaca.

Awal tahun 2020 saja, bencana banjir besar melanda Jabodetabek. Curah hujan saat itu tercatat sebagai yang tertinggi dalam sejarah pencatatan hujan di wilayah Jakarta. Curah hujan tertinggi dalam 154 tahun terakhir bahkan terekam di Bandara Halim Perdanakusuma sebesar 377 milimeter per hari.

Akibat hujan lebat tersebut, sejumlah wilayah Jabodetabek dilanda banjir dan melumpuhkan aktivitas warga, termasuk operasional bandara di Jakarta. Serupa dengan Jabodetabek, banjir juga dialami sejumlah wilayah di pantai utara Jawa Tengah, seperti Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Batang.

Belum usai, puncak musim hujan yang terjadi bulan Januari 2020 dan Februari 2020 memicu rangkaian bencana hidrometeorologi di berbagai wilayah Indonesia. Akhir Januari saja sudah terjadi banjir bandang di Lahat dan Empat Lawang (Sumsel), Bondowoso (Jatim), dan Tapanuli Tengah (Sumut). Awal Februari juga terjadi banjir bandang di Lebak (Banten) dan Bogor (Jabar).

Risiko multibahaya

Penanganan bencana perlu dilakukan secara sistematis, termasuk menghitung tingkat bahaya, kerentanan, dan besarnya risiko yang timbul karena bencana. Upaya perencanaan mitigasi bencana turut membutuhkan informasi bahaya, kerentanan, dan risiko. Konteks pembahasan bahaya bencana mengacu pada catatan sejarah kejadian bencana di lokasi tersebut. Semakin sering terjadi bencana, maka tingkat bahayanya semakin besar. Sementara aspek kerentanan bencana adalah mengukur seberapa tangguh sebuah obyek saat terkena bencana.

Analisis risiko menjadi instrumen yang komprehensif saat mempertimbangkan urgenitas penanganan wilayah yang terletak di area rawan bencana. Khusus akhir tahun 2020 hingga awal tahun 2021, risiko bencana tentu semakin membesar seiring dengan memuncaknya musim hujan di Indonesia. Sebagai gambaran, BNPB menghitung besarnya risiko bencana secara nasional. Hasilnya, hampir seluruh penduduk Indonesia berpotensi mengalami bencana alam, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga angin puting beliung.

Apabila didetailkan berdasarkan bencana, bencana banjir ternyata membayangi wilayah seluas hampir 20 juta hektar di seluruh Indonesia dengan total sedikitnya 100 juta jiwa terpapar. Sementara tanah longsor berisiko lebih tinggi karena banyak wilayah di Indonesia berbukit hingga bergunung.

Apabila semua bencana dipertimbangkan atau dikenal dengan multibencana, luas wilayah berisiko 165 juta hektar dengan potensi penduduk terpapar 254 juta jiwa. Bencana juga membawa dampak kerugian yang cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Keuangan di UU APBN dan Nota Keuangan 2020, rata-rata kerugian yang diakibatkan bencana alam periode 2000-2016 sebesar Rp 22.850 miliar per tahun.

Menguatkan mitigasi

Upaya penanggulangan bencana tidak akan lepas dari proses mitigasi. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007, peran penting mitigasi ditunjukkan melalui serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Konsep mitigasi terus berkembang, menyesuaikan laju pembangunan, karakteristik wilayah, dan ancaman bencana yang ada. Semestinya Indonesia belajar banyak dari kejadian-kejadian bencana yang telah usai. Apabila sebuah bencana mengakibatkan banyak kerugian dan korban jiwa, upaya mitigasi dapat dikatakan gagal.

Pembahasan bencana hidrometeorologi yang terkait fenomena atmosfer dan hidrologi permukaan merupakan obyek pantau yang ideal. Berbagai teknologi telah dikembangkan, seperti satelit pengamat cuaca dan iklim, serta banyak bentuk pemodelan banjir hingga tanah longsor.

Proses mitigasi sebenarnya telah berjalan di Indonesia, baik secara struktural maupun non-struktural, mulai dari pembangunan waduk, pelebaran badan sungai, hingga sosialisasi proses evakuasi ke masyarakat. Permasalahan utamanya terletak di kerja sama antarwilayah. Fenomena hidrometeorologi tidak mempertimbangkan batas administrasi. Sebagai contoh, hujan deras di wilayah hulu Bogor akan meningkatkan potensi bencana banjir di DKI Jakarta.

Kajian data curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015) memperlihatkan kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan. Data 43 tahun terakhir yang dimiliki BMKG turut menggambarkan curah hujan harian tertinggi per tahun di Jakarta dan sekitarnya yang terus mengalami kenaikan intensitas 10-20 milimeter per satu dekade. Curah hujan ekstrem sebesar 377 milimeter per hari di Jakarta merupakan intensitas tertinggi sejak pengukuran pertama kali pada tahun 1866.

Karena itu, komunikasi risiko menjadi penting saat hidup di negeri penuh bencana ini. Kerja sama antarwilayah perlu terus ditingkatkan, seiring proses adaptasi yang dilakukan masing-masing pemerintah daerah. Keberhasilan komunikasi akan menciptakan proses transfer inovasi mitigasi bencana berjalan lancar.

Kesadaran akan risiko bencana hidrometeorologi perlu dimiliki oleh seluruh penduduk Indonesia. Apalagi dalam beberapa waktu ke depan akan memasuki puncak musim hujan. Risiko banjir bandang dan tanah longsor akan meningkat tajam.

Mempertimbangkan kompleksitas bencana hidrometerologi, maka sebenarnya okupasi jenis bencana tersebut secara nasional sebesar 70,4 persen. Artinya, Indonesia tidak akan pernah bebas dari bencana yang berhubungan dengan anomali kondisi atmosfer dan hidrologi permukaan.

Munculnya anomali cuaca dampak La Nina menjadi momentum persiapan matang pemerintah pusat, daerah, hingga elemen masyarakat yang tidak dapat ditawar. Puncak musim hujan sudah diprediksi akan terjadi pada Januari-Februari 2021. Semestinya Indonesia dapat menekan risiko bencana karena jenis bencana hidrometeorologi termasuk bencana yang dapat diprediksi.