“Ah..sagu tra bisa habis, Tuhan kasih terus,” kata Kepala Kampung As, Distrik Pulau Tiga, Asmat-Papua, Viktor Faye, Kamis (14/11/2021) pagi, saat ditanya bagaimana jika pohon sagu habis.
Keyakinan Viktor bukan tanpa alasan. Sagu di asmat memang melimpah. Setidaknya, terdapat 1,4 juta hektar potensi luas lahan sagu di Asmat atau sekitar 20 persen dari total luas lahan sagu di Provinsi Papua yang mencapai 4,7 juta hektar. Luas itu hampir dua kali luas Pulau Bali.
Data dari Dinas Pertanian Kabupaten Asmat, dari 1,4 juta hektar lahan potensi sagu di Asmat, hanya 4.255,50 hektar lahan sagu yang dikelola masyarakat. Itu pun hanya 2.122,50 hektar lahan yang dipanen dengan hasil 10.612 ton sagu pada tahun 2020.
Setiap keluarga di Kampung Asmat memiliki dusun sagu, sebutan untuk habitat atau kawasan yang dipenuhi sagu. Bukan tanpa alasan, beberapa cerita rakyat di Asmat menunjukkan bahwa sagu berawal dari leluhur mereka yang berkorban ditelan lumpur rawa saat sedang berburu di hutan. Tubuh mereka yang mati lantas berubah menjadi pohon sagu. Dengan demikian, hutan sagu dianggap seperti rumah atau kampung bagi leluhur mereka.
Dusun sagu kemudian menjadi gambaran batas wilayah kekuasaan orang Asmat dan orang Papua pada umumnya. Sampai sekarang, batas wilayah dusun sagu bisa memicu konflik antarsuku atau antartetangga kampung jika dirambah. Dusun sagu menjadi penanda identitas karena di sana kepemilikan wilayah diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu.
Biasanya, orang Asmat membangun satu pondok atau rumah sementara di dusun sagu miliknya atau yang dikenal dengan sebutan bivak. Sampai sekarang, sebagian besar orang Asmat lebih lama tinggal di bivak daripada di kampungnya. Ini dipengaruhi oleh proses pengambilan sagu, pangkur sagu, atau menokok sagu yang bisa menghabiskan waktu seminggu atau lebih.