Apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata sambal? Pedas! Membayangkan sambal mendarat di lidah bisa bikin selera makan bergairah. Meski pedas, nyatanya orang tak kapok untuk kembali menikmatinya.
Kehadiran sambal ternyata sudah berakar sejak dulu kala. Bahkan, sambal bukan sekadar pelengkap makanan, tapi juga bagian dari perjuangan.
Pada kurun abad ke-8 hingga ke-15 Masehi, sambal terbuat dari rempah-rempah, seperti lada, jahe, dan kunyit, yang menghasilkan warna kuning khas. Sensasi pedasnya muncul dari jahe yang ditumbuk, sehingga dijuluki ”sambel jahe” seperti tertuang dalam naskah sastra kuno Kakawin Bhomantaka.
Cara pembuatan sambal dengan ditumbuk diyakini sudah ada sejak abad ke-8. Salah satu relief Karmawibhangga di Candi Borobudur menampilkan orang yang tengah menggunakan batu pipisan untuk menghaluskan bahan rempah.
Cabai seperti yang kita kenal sekarang baru digunakan sebagai bahan utama sambal setelah kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis sekitar abad ke-16, seperti diungkapkan pengamat sejarah kuliner Nusantara dan pengajar di Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman. Sambal yang dihasilkan berwarna merah. Semakin merah semakin kuat kesan pedas yang dihasilkan.
Cabai bukanlah tanaman asli Indonesia, melainkan dari Amerika bagian tengah yang diperkirakan berkembang sejak 5.700 tahun Sebelum Masehi (buku Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia (2012) karya Setijati D Sastrapradja).
Kapan cabai masuk ke Nusantara? Ada dugaan Nusantara mengenal cabai pada abad ke-16 seturut kedatangan Portugis ke Asia Tenggara ketika mencari sumber rempah terutama lada, pala, dan cengkeh.
Tahun 1522, Portugis memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Portugis membawa barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Kemungkinan, di antara barang- barang itu ada bibit cabai. Dari situ, cabai meluas ke wilayah timur Nusantara.