Dalam situasi darurat atau pascabencana, urusan perut termasuk prioritas yang harus diperhatikan. Bukan hanya berkait urusan bertahan hidup, asupan makanan dan gizi yang baik akan membantu korban menghadapi kondisi yang biasanya penuh kepanikan dan stres. Pangan darurat (emergency food) penting sebagai upaya kesiapsiagaan.
Dalam sejumlah film bertema bencana atau wabah, adegan warga berburu makanan di supermarket atau toko, tak luput ditampilkan saat situasi darurat terjadi.
Kehebohan memborong makanan menunjukkan tidak adanya amunisi pangan darurat di rumah atau sekadar ingin menambah kebutuhan yang kurang.
Kepanikan menyetok bahan pangan, mulai dari roti, sereal, biskuit, hingga makanan kaleng, baru dilakukan setelah bencana datang. Bisa jadi, makanan menjadi hal yang terpikirkan pertama kali menuruti naluri untuk bertahan hidup. Food for life.
Kehebohan memborong makanan menunjukkan tidak adanya amunisi pangan darurat di rumah atau sekadar ingin menambah kebutuhan yang kurang. Kondisi ini mengingatkan pentingnya ”sedia payung sebelum hujan”, berjaga-jaga sebelum situasi darurat atau bencana tiba.
Kapan bencana terjadi, memang tak seorang pun mengetahuinya secara pasti. Namun, hendaknya tidak lantas membuat kita terlena. Terlebih jika tinggal di daerah rawan bencana seperti Indonesia.
Gempa bumi adalah salah satu bencana yang senantiasa mengintai, mengingat kondisi geografis Indonesia yang berada di kawasan ”cincin api Pasifik”, lempeng tektonik paling aktif di dunia.
Ancaman gunung meletus juga membayangi dengan banyaknya gunung api aktif, seperti Gunung Sinabung, Gunung Merapi, dan Gunung Kelud.
Sepanjang tahun 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat terjadinya 2.952 bencana alam di Tanah Air. Bencana banjir di peringkat pertama dengan 1.080 kejadian, disusul puting beliung (880 peristiwa), dan tanah longsor (577 kejadian). Berbagai bencana itu mengakibatkan lebih dari 6,4 juta orang mengungsi, 370 orang meninggal, 536 orang terluka, dan 39 orang hilang.