Kematian Menghantui Sejarah Sepak Bola Indonesia

Peristiwa tewasnya 125 orang di Malang menjadi salah satu insiden paling mematikan di dunia sepak bola. Tragedi Kanjuruhan semoga menjadi episode terakhir rentetan kematian dalam persepakbolaan Indonesia.

Kericuhan suporter usai laga Liga 1 antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Kanjuruhan, Malang, menewaskan 125 orang, Sabtu (1/9/2022). Peristiwa ini terjadi setelah suporter Arema yang tidak puas dengan kekalahan timnya dalam derbi Jawa Timur itu, merangsek ke lapangan usai laga.

Polisi kemudian menembakkan gas air mata untuk membubarkan suporter. Kepanikan di tribun saat puluhan ribu suporter berebut keluar stadion untuk menghindari gas air mata, menyebabkan banyaknya korban tewas. 

Presiden RI Joko Widodo langsung memerintahkan agar kompetisi Liga 1 dihentikan. Saat berbicara menyikapi tragedi itu, selain menyampaikan duka cita mendalam, Presiden juga memerintahkan agar peristiwa itu diusut tuntas.

Berbagai pihak mendesak agar dibentuk tim independen untuk menyelidiki peristiwa itu. Tragedi Kanjuruhan adalah episode terkelam dalam perjalanan sejarah sepak bola Indonesia yang sedari dulu diwarnai kerusuhan dan kematian. 

Antara/Ari Bowo Sucipto
Suporter Arema FC memasuki lapangan setelah tim yang didukungnya kalah dari Persebaya dalam pertandingan sepak bola BRI Liga 1 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022).

Dalam sejarahnya, berbagai kerusuhan suporter sepak bola telah terjadi di Indonesia meski skalanya tidak sebesar tragedi di Kanjuruhan. Dari catatan Kompas, peristiwa kerusuhan sepak bola juga pernah terjadi pada 1967, yang menewaskan tiga orang dan melukai empat orang lainnya, di kampung Percut, Kecamatan Percut/Sungai Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Dalam berita yang dimuat di harian Kompas, 22 Agustus 1967, kericuhan itu terjadi dalam pertandingan sepak bola untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-22. “Pertandingan Bola Berkesudahan Pertumpahan Darah dan Bakar2an”, demikian judul berita tersebut. 

Kompas
Berita Kompas tahun 1967 yang melaporkan peristiwa berdarah dalam pertandingan sepak bola.

“Insiden pukul memukul terdjadi antara para pemain, yang akhirnya menjalar antara sesama penonton. Kejadian itu meluas menjadi perkelahian, bakar membakar rumah diantara kedua belah pibak, sehingga kerugian seluruhnya terdata: 15 buah terbakar, 2  rusak, sementara korban ialah 3 orang mati dan 4 orang luka-luka,” demikian berita di Kompas.

Catatan kerusuhan lainnya terjadi pada 1977, di Stadion Utama Senayan (Stadion Utama Gelora Bung Bung Karno), saat penonton mengamuk pada pertandingan terakhir turnamen sepak bola Piala Bang Ali. Para penonton yang marah karena terhentinya pertandingan Persija melawan Persebaya. Mereka melakukan pembakaran dan perusakan lainnya. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, kerusuhan itu mencoreng wajah sepak bola.

“Stadion Utama Rusak Parah”, adalah judul berita Kompas yang terbit 21 Juni 1977.  Menyikapi kerusuhan di Senayan, harian Kompas dalam tajuknya yang berjudul “Jiwa Sportif Merosot”, menyoroti merosotnya jiwa sportivitas yang mendasari aktivitas olahraga. 

“Dunia sepak bola kita ricuh. Kepenguruaan ricuh. Prestasi menurun. Sedang dicari jalan keluar dari kemelut ini. Sekarang ternyata jelas, bukan saja prestasi yang turun, lebih gawat lagi adalah sikap sportif itu sendiri. Kita harus jelas dalam persoalan ini. Bagaimana kita hendak menempatkan sportivitas pada tangga nilai-nilai sepak bola.”

Kematian suporter tercatat terjadi lagi dalam pertandingan Liga Dunhill, saat seorang pendukung Persebaya, tewas di Yogyakarta. Suhermansyah (40), tewas terinjak-injak seusai pertandingan PSIM lawan Persebaya di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Sabtu (28/1/1995).

Gara-gara kasus ini, waktu itu Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Hayono Isman bahkan sampai menyarankan untuk memakai pasal-pasal dalam Undang-undang Subversi terhadap para pelaku kerusuhan sepak bola dalam kompetisi Liga Dunhill (LD) yang dirasakan makin memprihatinkan. (Kompas, 13/2/2095)

Kompas/Julian Sihombing
Kerusuhan mewarnai pertandingan delapan besar Liga Dunhill antara Persib Bandung dan Petrokimia Gresik, hari Minggu (30/7/1995) malam di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Petugas Polisi terpaksa menggunakan tongkat pemukul untuk menghalau pendukung Persib yang menyerbu lapangan dan di sisi lain harus pula menyelamatkan seorang gadis kecil yang panik terjepit penonton.

Peristiwa tewasnya suporter karena terinjak-injak juga pernah terjadi di Stadion Kanjuruhan pada 13 Juli 2005.  Akibat kurang siapnya panitia pelaksana mengantisipasi lonjakan penonton, satu orang pendukung Arema Malang tewas terinjak-injak saat akan menyaksikan pertandingan Arema melawan Persija Jakarta.

Fajar Lidia Nugraha (17) tewas akibat desakan penonton yang mendobrak pintu stadion di sisi selatan tribune VIP. Menurut Yanuar (29), salah seorang saksi mata yang berada di tempat kejadian, peristiwa itu diawali jebolnya pagar pembatas stadion akibat desakan penonton.

Kerusuhan penonton kembali menyebabkan tewasnya penonton pada pertandingan semifinal Liga Djarum antara Persipura Jayapura dan PSMS Medan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (6/2/2008) petang. Korbannya adalah suporter Persija Jakarta bernama Mohammad Faihul, warga Jalan Pasir RT 09 RW 01, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Kerusuhan yang terjadi sekitar pukul 20.00 itu juga menyebabkan sopir angkutan umum, Sutoto (44), luka berat. Kerusuhan terjadi saat suporter Persija dan suporter Persipura bertemu di luar stadion seusai laga antara Persipura dan PSMS.

Bukan hanya menelan korban dari pihak suporter, kerusuhan suporter juga mengakibatkan kematian petugas keamanan. Pada Selasa (22/12/2009), seorang polisi tewas saat melerai tawuran antara pendukung Persikota Tangerang dan warga seusai pertandingan sepak bola Divisi Utama di Stadion Benteng, Kota Tangerang. Kemudian pada 2011, seorang warga Lamongan, Jawa Timur, bernama Gilang Ramadhan, tewas setelah dikeroyok sejumlah pendukung pendukung Persebaya. Penganiayaan terjadi di kereta api Kertajaya, Sabtu (22/1/2011).

Bukan hanya pertandingan antarklub, kericuhan pada laga tim nasional Indonesia juga pernah menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Peristiwa itu terjadi menjelang pertandingan final SEA Games 2011 antara Indonesia dan Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senin (21/11/2011). Dua orang suporter Indonesia tewas akibat terinjak-injak massa yang berebut masuk di Pintu Masuk 7 Sektor 15.

Kompas/Yuniadhi Agung
Salah satu loket penjualan tiket di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, dibakar massa yang kecewa karena tidak mendapatkan tiket partai final sepak bola SEA Games XXVI/2011 antara Indonesia dan Malaysia, Senin (21/11/2011). Dua orang suporter Indonesia tewas akibat terinjak-injak massa yang berebut masuk stadion.

Kematian kembali terjadi di kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 2012, kali ini akibat kebrutalan pendukung klub. Tiga orang penonton tewas seusai laga Persija versus Persib yang merupakan lanjutan kompetisi Liga Super Indonesia, Minggu (27/5/2012) malam.

Salah satu yang tewas adalah penonton bernama Lazuardi (29). Ketika hendak meninggalkan lokasi dan bertemu kelompok penonton lainnya, korban dikeroyok dan akhirnya tewas. Kepala Bagian Operasional Polres Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Irsan membenarkan, seorang penonton sepak bola meninggal akibat dikeroyok di Parkir Timur Senayan.

Lazuardi (29), warga Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, ini adalah pendukung Persija. Dia sempat dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat RS Cipto Mangunkusumo. Namun nyawanya tak terselamatkan.

Dari arsip Kompas, 28 Mei 2012, Lazuardi yang menghidupi kelima adiknya dari hasil mengojek sepeda motor itu dikeroyok kelompok massa yang diduga baru pulang dari menonton pertandingan. Dalam kejadian itu, Lazuardi mengenakan kaus biru, warna kostum tim Persib, yang juga umum dikenakan para pendukung klub asal Bandung itu. Mungkin karena baru pertama kali menonton di Stadion Bung Karno bersama rekan-rekannya, Lazuardi tidak mengerti bahwa warna biru merupakan warna kebesaran Persib.

Dua korban meninggal lain bernama Dani Maulana (16) dan Rangga Cipta Nugraha (22). Salah satu korban, Rangga, yang menonton sepak bola tanpa memakai atribut pendukung klub tertentu, diduga menjadi korban penyisiran sekelompok orang. Yoga, kawan Rangga, mengatakan, mereka pergi ke Stadion GBK mengendarai sepeda motor. Mereka memakai baju biasa tanpa atribut klub tertentu. ”Rangga memakai kaus abu-abu dan celana panjang jins,” kata Yoga.

Menjelang akhir pertandingan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang melakukan penyisiran penonton yang tidak mengenakan atribut berwarna oranye. Yoga tidak mengetahui persis alasan penyisiran penonton tersebut. Gerombolan itu lantas membawa Rangga keluar stadion. Yoga mengaku tidak mengetahui lagi nasib Rangga sesudahnya. Dia juga tidak tahu mengapa hanya Rangga yang diseret keluar. (Kompas, 30/5/2012)

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Suporter Persija Jakarta berusaha menyelamatkan diri saat terjadi bentrokan dengan suporter Persipura Jayapura pada kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012 di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa (7/2/2012).

Pada 2014, sebuah bus yang ditumpangi puluhan pendukung klub sepak bola PSCS Cilacap diserang sekelompok orang tak dikenal, Minggu (12/10/2014) malam, di Jalan Laksamana Muda Adisucipto, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu penumpang meninggal.

Akibat penyerangan tersebut, seorang penumpang bus bernama Muhammad Ikhwanudin (19) tewas, sementara tujuh orang menderita luka-luka. Ikhwanudin adalah warga Desa Bantarsari, Kabupaten Cilacap. Adapun bus yang ditumpangi pendukung PSCS itu mengalami kerusakan parah di bagian kaca depan dan samping.

Kematian di ajang pertandingan sepak bola Indonesia seakan sangat sulit ditanggulangi. Dalam catatan kelompok pemantau sepak bola Save Our Soccer (SOS), sebanyak 78 orang tewas dalam laga sepak bola sejak edisi perdana Divisi Utama Liga Indonesia 1994- 1995, hingga sebelum peristiwa di Kanjuruhan.

Peristiwa tewasnya 125 orang di Malang menjadi salah satu insiden paling mematikan, bukan hanya di sepak bola Indonesia, tetapi juga dunia. Semoga tragedi Kanjuruhan menjadi episode terakhir dari rentetan panjang kematian di persebakbolaan Indonesia.