Lebih dari sekadar kudapan, jajanan tradisional telah mengakar dalam budaya dan tradisi masyarakat setempat
Dari ujung barat hingga timur Indonesia, jajanan tradisional atau jajan pasar memiliki ciri khas tersendiri. Biasanya, bahan baku yang digunakan tak jauh-jauh dari sumber daya yang ada di sekitar. Lebih dari sekadar kudapan, jajanan tradisional telah mengakar dalam budaya dan tradisi masyarakat setempat. Berwisata ke suatu daerah terasa tidak lengkap jika belum mencicipinya.
Jajanan tradisional banyak dijajakan di pasar-pasar atau pinggir jalan sehingga mendapatan julukan ”jajan pasar”. Kudapan ini bisa menjadi bekal anak, pelengkap hajatan sampai arisan, juga sebagai teman minum teh atau kopi sehari-hari. Ada yang dihidangkan dalam dos kotakan, tampah bambu, hingga piring kaca ornamen. Di kalangan urban pun, kini jajajan tradisional pun tampil lebih berkelas di hotel-hotel mewah.
Biasanya tak hanya satu jenis, ada ragam lain yang menemani, antara lain lemper, nagasari, kue lapis, kue lumpur, pukis, dan serabi. Tak sedikit toko roti besar atau kafe yang menyajikan menu tersebut, beberapa menawarkan kreasi baru yang menyesuaikan selera konsumen.
Mayoritas jajan pasar di Indonesia menggunakan bahan baku berupa umbi-umbian, ketan, beras, tepung beras, tepung ketan, tepung singkong, gula jawa, dan kelapa/santan. Pengamat sejarah kuliner Nusantara dan pengajar di Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman, menjelaskan, pangan tradisional suatu daerah tak lepas dari sumber daya yang tersedia di daerah bersangkutan. Masyarakat mengolah bahan-bahan tersebut menjadi suatu produk yang disesuaikan dengan selera setempat.
Di Jawa Barat, olahan jajanan tradisional didominasi dari bahan singkong dan turunannya (tapioka/kanji). Sejak dulu, komoditas singkong banyak ditanam untuk kebutuhan ekspor pada zaman Pemerintah Hindia Belanda, yakni tapioka. Sekitar awal abad ke-20, provinsi ini adalah daerah penghasil tapioka terbesar di Indonesia. Semula warga tidak mengonsumsi tapioka, mereka hanya mengolah singkong dengan cara sederhana, yakni digoreng atau dikukus. Kemudian, singkong dikreasikan menjadi comro/oncom dijero (makanan yang terbuat dari singkong dengan isian oncom) dan misro/amis dijero (makanan yang terbuat dari singkong dengan isian gula merah).
Di daerah pesisir, jajanan tradisional menggunakan bahan hasil laut, seperti udang atau ikan. Sagu banyak digunakan di Indonesia bagian timur karena di sana jumlahnya berlimpah. Adapun, tanaman padi hampir tersebar di seluruh daerah Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Dulunya, masyarakat mengolah produk sampingan beras patah menjadi tepung beras dengan cara ditumbuk hingga halus. Penggunaan tepung beras sebagai bahan pembuatan makanan tak lepas dari warisan orang China yang datang ke Indonesia. Produk makanan yang mereka bawa adalah mi yang terbuat dari tepung nongandum, yakni bihun (mifen) dan misoa (mianxian).
Sebagian makanan yang hadir di Indonesia bisa jadi merupakan hasil meleburnya budaya lokal dan China. Secara teknik dan teknologi, mereka memang lebih maju dalam pengolahan bahan makanan, salah satunya adalah kue basah. Kata kue berasal dari bahasa Hokkian ge atau dalam bahasa Mandarin guo.
Dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia (2005), Prof Denys Lombard berpendapat, tukang kue China memberi andil besar dalam pengembangan variasi kue basah di Indonesia, misalnya kudapan yang dibungkus daun pisang/pandan dan dikukus.
Sama seperti China, tradisi pembuatan manisan buah dengan cara sale, perendaman air gula, dan pelumuran butiran gula juga dikenal di Jawa. Kudapan manis ini bisa menjadi bagian dalam kue basah. Teknik pembuatan dan resepnya berasal dari Fujian dan Guangdong, misalnya kue basah yang menggunakan tepung kacang hijau (hunkue) dan kue moaci (maci) dengan wijen. Sementara kue basah di Jawa lebih banyak menggunakan ketan, santan, dan gula merah. Dalam perkembangannya, resep dan teknik kue basah dari China berbaur dengan bahan-bahan lokal sehingga menghasilkan kudapan yang sesuai selera.