Semut adalah serangga sosial, mudah beradaptasi dan tangguh dalam bertahan hidup. Koloninya dipimpin seorang ratu. Penghuni lainnya, semut jantan dan semut pekerja, selalu setia dengan peran masing-masing. Merekalah sang insinyur ekosistem.
Rasanya tak perlu bertanya lagi, ”Hai semut, di manakah kau berada?” Serangga kecil ini mudah dijumpai, mulai dari tanah pekarangan rumah hingga meja makan.
Kehadirannya terkadang bikin risi. Tangan pun gemas ingin menepisnya jauh-jauh. Padahal, semut memiliki banyak peranan dalam suatu ekosistem. Eksistensinya tak bisa dipandang sebelah mata.
Mari berhitung sejenak, sudah berapa kali Anda melihat semut beriringan dalam seharian? Apakah mereka sedang berjalan di dinding, tanah, atau lantai? Mungkin juga merambat ke bagian tubuh Anda? Jika diperhatikan dari ukuran dan warna, ternyata ada beragam jenis semut yang bisa dijumpai. Ada semut yang berwarna hitam pekat, kemerahan, hingga abu-abu.
Selama ini, mungkin kita tak memperhatikan secara detail seperti apa dunia semut. Banyak hal menarik dari semut yang mungkin belum diketahui banyak orang. Selama puluhan tahun, Bert Holldobler dan Edward O Wilson, peneliti yang menekuni mirmekologi atau cabang yang mempelajari seluk-beluk semut, telah mengeksplorasi dunia semut secara detail.
Dahulu, Holldobler kecil memelihara beragam serangga dan hewan, termasuk semut, di rumahnya di Ochsenfurt, Jerman. Ia memperhatikan perilaku semut di sarang buatannya. Begitupun dengan masa remaja Wilson di Alabama Utara, Amerika Serikat, yang tak jauh dari dunia biologi, yakni mengamati burung dan ular.
Ketertarikan pada bidang yang sama mengantarkan keduanya berbagi kisah dalam sebuah buku berjudul Journey to the Ants: A Story of Scientific Exploration yang terbit tahun 1994.
Menurut mereka, semut merupakan makhluk yang independen dan tidak mudah terdistraksi. Dalam keadaan apa pun, semut tak peduli dengan kehadiran manusia di sekitarnya. Mereka tetap bekerja dan mengumpulkan makanan di tengah puing-puing atau keriuhan jalanan.