Seputar 10 November: Diplomasi Indonesia dan Catatan Inggris

Pertempuran 10 November 1945 secara umum dipenuhi narasi kepahlawanan arek Suroboyo dan seruan Resolusi Jihad para kiai yang mengobarkan semangat juang para santri dalam melawan tentara Inggris dari Divisi 23 British India dan Divisi 5 British India. Padahal, rangkaian diplomasi pemimpin Indonesia dan kejelian para kiai dalam membaca geopolitik dunia serta catatan pihak Inggris merupakan sisi-sisi penting yang terlupakan di balik narasi yang hanya sebatas pertempuran berdarah di Surabaya selama ini.

Ketika Resolusi Jihad dikeluarkan KH Hasyim Ashari dan para kiai senior Nahdlatul Ulama di Kampung Peneleh, Surabaya, 22 Oktober 1945, sebetulnya seantero Pulau Jawa dan Sumatera juga tengah bergejolak menyusul kedatangan tentara Inggris yang mengambil tanggung jawab sebagai tentara pendudukan selepas kekalahan Jepang terhadap Sekutu pada 15 Agustus 1945. Pertempuran Lima Hari di Semarang berkecamuk pada 15-20 Oktober 1945, hanya berselang dua hari sebelum Resolusi Jihad dikeluarkan.

Pada awal Oktober hingga 25 Oktober 1945, berbagai upaya diplomasi dilancarkan di tengah kekerasan yang mulai terjadi di Jawa, Sumatera, dan Surabaya. Selanjutnya, peperangan besar di Surabaya mulai pecah sejak akhir Oktober 1945, sejak Brigadir Jenderal Mallaby tewas. Kemudian, pertempuran mencapai puncaknya pada 10 November yang berlanjut hingga akhir November 1945.

Dalam buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid I karya Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan, yang mencatat rangkaian pertempuran di bulan Oktober 1945 dari hari ke hari, dituliskan betapa berdarahnya hari demi hari di wilayah penguasaan Inggris (British Military Administration/BMA) di Jawa dan Sumatera yang dikendalikan dari Markas BMA di Singapura.

IPPHOS
Pemberontakan di surabaya sebagai reaksi ultimatum Brigjen Mallaby dari tentara Inggris pada  10 November 1945.

Sejak tanggal 1 Oktober, Panglima Sekutu di Hindia Belanda (Allied Forces Netherlands East Indies/AFNEI) Letnan Jenderal Sir Philip Christison menyatakan bersedia berunding dengan Pemerintah Republik Indonesia dan menyatakan mengakui de facto negara Republik Indonesia.

Selang sehari, 2 Oktober 1945, sebanyak 700 pejuang kemerdekaan Republik Indonesia mengepung markas Jepang di Embong Wungu dengan tank, senapan mesin berat, bambu runcing (takehari), dan pedang. Mereka menuntut penyerahan senjata tentara Jepang yang akhirnya dipenuhi Laksamana Shibata, Komandan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang di Surabaya, setelah sebelumnya terjadi pertempuran sengit antara rakyat Surabaya dan tentara Jepang yang bertahan.

Pada hari yang sama, tentara Australia, yakni Australia Imperial Forces (AIF), mendarat di Makassar, Sulawesi Selatan, dipimpin Brigadir Jenderal MacDougerthy dan Komandan NICA Mayor Wagner.

Sementara di London, radio British Broadcasting Corporation (BBC) menyiarkan kesan-kesan koresponden Sekutu, Richard Straub, tentang keadaan di Pulau Jawa seputar gerakan kebangsaan Indonesia yang dinilai antipenjajah, soal negara Republik Indonesia sudah siap berdiri dan telah sesuai dengan prinsip Atlantic Charter, serta pertemuan Straub dengan pihak Indonesia dan Belanda. Straub menilai apa yang terjadi di Indonesia sama dengan apa yang dilakukan bangsa Amerika ketika memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris.

Straub menambahkan laporan tentang Soekarno sebagai presiden termuda di dunia di usia 43 tahun dan mendirikan negara Republik Indonesia berdasarkan kerakyatan dengan mencontoh Amerika Serikat. Soekarno disebut Straub mengharapkan pengakuan dari Amerika Serikat.

IPPHOS
Grafiti di gedung menentang NICA Belanda yang mendompleng pasukan Sekutu untuk kembali menjajah Indonesia tak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebuah coretan bertuliskan “No Indonesian Cares About the NICA” (Tak Ada Orang Indonesia yang Peduli kepada NICA).

Mengenai suasana di Jawa, Straub menerangkan tentang bendera Merah Putih berkibar di mana-mana dan lencana Merah Putih tersemat di dada setiap orang Indonesia. Semboyan yang diserukan adalah ”Indonesia telah merdeka, penjajah telah lenyap”.

Pasukan Inggris di hari yang sama juga mendarat di Pekanbaru, Riau, dengan menggunakan tiga kapal perang kecil di bawah pimpian Mayor Langley. Selanjutnya, 4 Oktober 1945, pemimpin NICA Dr HJ Van Mook tiba di Jakarta disertai Kolonel Abdulkadir Widjojoatmodjo dan Ch O van der Plas.

Mr Amir Sjarifuddin yang tiba di Jakarta pada 2 Oktober 1945 menggelar jumpa pers bersama Mr Ali Sastroamidjojo dan menceritakan perjuangannya melawan pendudukan Jepang sebagai penegasan bahwa Indonesia merdeka bukan sebagai negara boneka Jepang. Adapun Presiden Soekarno menerima para wartawan asing di Pegangsaan Timur Nomor 56.

Lalu, 5 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengeluarkan maklumat Mobilisasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sekali lagi, Letjen Sir Philip Christison mengakui Pemerintah Republik Indonesia di bawah Soekarno-Hatta sebagai kekuasan de facto.

Di pihak penjajah, Dr HJ van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda; dan Laksamana CEL Helfrich, Panglima Angkatan Perang Belanda di Timur Jauh, tiba di Jakarta.

IPPHOS
Para pejuang tengah mengintai lawan.

Sehari kemudian, 6 Oktober 1945, konflik bersenjata antara pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris dan Belanda mulai terjadi di Pekanbaru, Riau; Tangerang, dan beberapa kota lain. Pihak Palang Merah Belanda menjatuhkan paket obat, uang, dan senjata ke kamp tawanan agar serdadu Belanda yang ditawan Jepang mempersenjatai diri.

Beralih ke Jawa Tengah, pada 7 Oktober 1945, Markas Besar Tentara Jepang di Yogyakarta menyerah kepada massa rakyat Indonesia.

Lalu, Bung Karno pada 8 Oktober 1945 melalui berita Radio Republik Indonesia (RRI) mengundang empat tokoh dunia, yakni Jawaharlal Nehru dari India, Madame Chiang Kai Shek (atau Soong Mei Ling) dari China, Jenderal Carlos P Romulo dari Filipina, dan Herbert Evatt dari Australia, untuk datang melihat keadaan Indonesia. Semasa itu, sentimen publik di Australia mendukung kemerdekaan Indonesia, demikian pula publik di India dan China.

Pada 9 Oktober 1945, setelah dekrit soal pembentukan TKR tanggal 5 Oktober, dikeluarkan perintah mobilisasi KNIP terhadap para prajurit PETA, prajurit Hindia Belanda, Heiho, Kaigun Heiho, Barisan Pemuda, Hizbullah, dan lain-lain supaya segera mendaftarkan diri ke kantor Badan Keamanan Rakyat (BKR) di ibu kota kabupaten dan badan lainnya yang ditunjuk oleh residen atau wakilnya.

Pada saat yang sama, pasukan Inggris Gurkha yang diboncengi serdadu NICA Belanda di bawah pimpinan Brigadir Jenderal TED Kelly mendarat di Kota Medan. Para pemuda setempat segera membentuk divisi TKR di Medan.

IPPHOS
Pertemuan yang pertama kali antara Presiden Soekarno danLetnan Jenderal Sir Philip Christison, panglima tentara Inggris di Jawa pada 25 Oktober 1945.

Upaya diplomasi terus dilakukan Republik Indonesia. Presiden Soekarno pada 10 Oktober 1945 mengirimkan ucapan selamat hari jadi ke-34 Republik China kepada Generalissimo Chiang Kai Shek. Soekarno menyatakan, 70 juta rakyat Indonesia menyampaikan ucapan selamat, ”Saya harap akan kekekalan perhubungan persahabatan antara Tiongkok-Indonesia.”

Sementara di markas BMA di Singapura berlangsung perundingan antara Menteri Penerangan Inggris Lawson, penasihat politik ME Dening, dan Komando Asia Tenggara di bawah pimpinan Laksamana Louis Mounbatten dan Letjen Christison.

Surabaya memanas, Jawa-Sumatera membara

Pada 12 Oktober 1945, menyusul perebutan senjata dari tangan Jepang pada 2 Oktober, dibentuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di bawah pimpinan Sutomo (Bung Tomo). BPRI dalam catatan Kompas, 27 Maret 1994, disebut menghargai perjuangan diplomatik, tetapi mengutamakan perjuangan fisik dalam melawan musuh-musuh Republik Indonesia.

Pada hari yang sama, di Jakarta, pecah pertempuran di daerah Kramat, antara pemuda Republik dan pasukan NICA eks serdadu KNIL yang baru lepas dari tawanan Jepang. Salah satu pasukan NICA yang dikenal ganas adalah ”Andjing NICA” yang menggunakan badge bergambar kepala anjing hitam dengan latar merah. Para prajurit NICA memaksa pemuda Republik menelan lencana Merah Putih yang tersemat di baju para pemuda.

Pihak Sekutu yang dimotori Inggris terus melebarkan kekuasaan di Pulau Jawa setelah mengambilnya dari tangan Jepang. Dari Jakarta, pasukan Inggris bergerak dan pada 13 Oktober mereka menguasai Kota Bandung, Padang di Sumatera Barat, dan Medan di Sumatera Timur.

Antara/Ipphos
Foto Bung Tomo ini selalu muncul di buku sejarah sebagai ilustrasi pertempuran Surabaya 10 November 1945, ketika Bung Tomo diceritakan sedang mengobarkan semangat Arek-Arek Suroboyo. Padahal tak ada satu media cetak “kiblik” (Republik) pada masa itu memuat foto ini dalam reportase mereka.  Foto ini ditampilkan sebagai kerja sama Kompas, Yayasan Oktagon, dan GFJA dalam rangka festival foto “Masa Depan Sebuah Masa Lalu”, di Museum Nasional Jakarta 31 Agustus-14 September 2005. Riset data dan teks foto disiapkan oleh Gita dan Yudhi Soerjoatmodjo.

Konflik pecah di Kota Medan yang mengawali pertempuran Medan Area. Pada saat yang sama, terjadi ketegangan di Bandung dan, berselang sebulan, terjadi pertempuran TKR melawan Inggris di Bandung pada 21 November 1945. Ketika itu, Bandung dibagi menjadi dua, sebelah utara rel merupakan kekuasaan Sekutu atau Inggris dan Bandung selatan yang kemudian dikosongkan oleh pejuang adalah wilayah Republik Indonesia.

Keesokan hari, 14 Oktober 1945, pecah Pertempuran Lima Hari di Semarang. Sebanyak 400 veteran Kaigun Jepang yang pernah bertempur di Guadalcanal, Kepulauan Solomon, bergabung dengan Batalyon Mayor Kido (Kido Butai). Batalyon Kido merupakan pasukan organik Jepang yang berpangkalan di Jatingaleh, wilayah Candi, Semarang. Ketika pertempuran usai, 20 Oktober 1945, diperkirakan 2.000-an warga Indonesia menjadi korban dan 100 orang Jepang tewas dalam pertempuran tersebut.

Situasi memanas di mana-mana di wilayah pendudukan Inggris di Sumatera dan Jawa. Pertempuran pecah di Padang, Pematang Siantar, ulama Aceh mengeluarkan maklumat mendukung perjuangan Republik Indonesia.

RRI pun berdiplomasi dengan menyiarkan dasar negara Republik Indonesia, yakni Pancasila, dalam siaran tanggal 15 Oktober 1945. Siaran tentang Pancasila ditujukan untuk mematahkan tudingan Belanda bahwa Republik Indonesia adalah negara bercorak politik fasis.

Pada hari yang sama, Van Mook kembali ke Jakarta dari perundingan rahasia di Singapura membahas kedudukan Indonesia dalam persemakmuran bersama Belanda, Suriname, dan Curacao. Keesokan hari, 16 Oktober 1945, berlangsung sidang organisasi Pan Afrika di Manchester, Inggris. Mereka negara-negara anggota sidang menolak status dominion dalam Persemakmuran Inggris.

IPPHOS
Pertemuan yang pertama antara pemerintah Indonesia – Belanda – Inggris bertempat di Markas Besar Tentara Inggris Jakarta pada 17 November 1945.

Mereka juga mengirimkan kawat kepada Duta Besar Belanda dan Perancis di London berisi simpati kepada pergerakan kemerdekaan Indonesia dan Indochina. Resolusi tersebut juga dikirimkan kepada Jawaharlal Nehru dan Partai Kongres di India.

Dalam kondisi keamanan yang bergolak, KNIP mengeluarkan maklumat Presiden Nomor X bahwa KNIP, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Sidang pleno KNIP pada 17 Oktober 1945 memperingati dua bulan berdirinya Republik Indonesia diawali dengan mengheningkan cipta selama 2 menit untuk mengenang para pahlawan kemerdekaan yang gugur. Sidang dipimpin Gubernur Maluku Mr J Latuharhary. Sidang menyepakati pembentukan Badan Pekerja (BP) KNIP sebagai lembaga legislatif menjelang dibentuk MPR/DPR.

Terkait diplomasi ke luar, resolusi tersebut di antaranya menyatakan terima kasih kepada dunia internasional yang telah mendukung Republik Indonesia supaya tentara Sekutu selekas mungkin menyelesaikan pekerjaan di Indonesia serta meninggalkan Indonesia, pengakuan Republik Indonesia mesti dilaksanakan dalam suatu perundingan internasional.

Resolusi ditutup dengan tuntutan kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya berusaha keras dapat mengirim wakil-wakil dalam konferensi internasional perdamaian dunia yang akan datang.

IPPHOS
Bagi Indonesia yang masih muda belia dan harus mempertahankan eksistensinya, perang kemerdekaan 1945-49 bukanlah perang kecil. Para pejuang ini terlibat dalam pertempuran di tapal batas antara Jakarta dan Bekasi melawan pasukan Inggris/Belanda tahun 1945.

Menteri Luar Negeri Mr Ahmad Subardjo mengirim radiogram kepada Pan African Congress di Manchester berisi ucapan terima kasih 70 juta rakyat Indonesia atas dukungan yang diberikan kepada perjuangan Rakyat Indonesia.

Sementara Gubernur Sumatera Mr Teuku M Hassan menyatakan kesediaan membantu Sekutu dalam melaksanakan tugas dan menolak Belanda dengan NICA yang hendak mengganggu keamanan dan ketenteraman di Pulau Sumatera. Diplomasi Indonesia itu disambut Sekutu dengan menyerahkan Medan sebagai ibu kota Sumatera kepada wali kota Republik, yakni Mr Luat Siregar.

Berselang sehari, 18 Oktober 1945, tentara Sekutu di Medan di bawah komando Inggris mengeluarkan maklumat melarang rakyat membawa senjata dan semua senjata yang ada harus diserahkan kepada tentara Sekutu.

Presiden Soekarno pada 19 Oktober 1945 mengumumkan lima syarat berunding dengan Belanda, yakni serdadu Belanda tidak boleh didatangkan lagi ke Indonesia, serdadu Belanda yang ada di Indonesia harus diberangkatkan dari Indonesia, semua pejabat Belanda mesti dihapuskan, Belanda mesti mengakui Republik Indonesia, dan tentara Sekutu yang menjalankan kewajibannya harus bersikap netral.

Hari itu, pertempuran hebat melanda Semarang, Bandung, dan Surabaya. Selanjutnya, pada 21 Oktober 1945, pertempuran hebat berkecamuk di Jakarta, Semarang, Bogor, dan Pekalongan. Sekitar 1.100 orang Belanda diungsikan di satu daerah dekat Bogor.

IPPHOS
Peristiwa perobekan bendera merah putih biru di Hotel Yamato, Surabaya, 19 September 1945.

Penulis sejarah BPUPKI, Osa Kurniawan Ilham, mengatakan, maklumat serupa yang disampaikan Sekutu, yang dimotori Inggris di Jawa dan Sumatera, justru membuat situasi semakin panas. Tekanan Inggris dan berbagai pertempuran di seantero Jawa dan Sumatera turut berpengaruh terhadap pecahnya kekerasan di Surabaya yang berujung pada pertempuran 10 November 1945.

”Resolusi Jihad dikeluarkan para kiai sepuh NU tanggal 22 Oktober 1945 muncul sesaat setelah Pertempuran Lima Hari di Semarang usai. Para ulama mampu membaca geopolitik dan situasi yang berkembang,” kata Osa Kurniawan yang asli Surabaya.

Sikap Inggris, AS, dukungan dunia

Menyikapi situasi yang memanas di Indonesia, Panglima SEAC Laksamana Louis Mounbatten, paman Pangeran Charles, ahli waris takhta Kerajaan Inggris saat ini, pada 21 Oktober 1945 mengeluarkan penjelasan bahwa kedudukan tentara Inggris di Jawa dan Sumatera hanyalah untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang, menjaga ketenteraman, dan tidak akan mencampuri urusan politik di kawasan.

Sementara di timur Samudra Pasifik, Presiden Amerika Serikat Harry S Truman di radio San Francisco menyampaikan siap bekerja sama dengan China dan Soviet dalam menjaga keamanan dan perdamaian di Timur Jauh (Asia), tetapi menolak kerja sama jika kedua negara tersebut mencampuri urusan dalam negeri di kawasan dimaksud.

Juru bicara Pemerintah Amerika Serikat untuk Timur Jauh, John C Vincent, menyatakan, mengenai Indonesia dan Indochina, Amerika Serikat mengutamakan perdamaian dunia, bersedia ikut memajukan keamanan dunia, dan membina kemajuan politik dan kesejahteraan. Dengan dasar itu, Amerika Serikat tidak ingin mencampuri dan berpihak dalam sengketa antara Belanda dan Indonesia dan antara Perancis dan Indochina. Amerika Serikat bersedia menjadi penengah jika dikehendaki untuk solusi damai yang memuaskan semua pihak.

Ipphos
Surabaya, November 1945. Pasukan anti-udara Tentara Keamanan Rakyat bersiaga dalam pertempuran melawan tentara Inggris. Foto ditampilkan sebagai kerja sama Kompas, Yayasan Oktagon, dan GFJA dalam rangka festival foto “Masa Depan Sebuah Masa Lalu”. Riset data dan teks foto disiapkan oleh Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo.

Pada saat sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) dibangun kembali di Jakarta, setelah dilarang pemerintah Hindia Belanda seusai pemberontakan yang gagal pada 1926. Pihak PKI mengatakan, adanya maklumat mengatasnamakan PKI adalah informasi palsu yang sengaja dikeluarkan musuh untuk membuat kekacauan.

Negara tetangga, Filipina, pada 22 Oktober 1945, setelah pidato Presiden Amerika Serikat, melalui Brigadir Jenderal Carlos P Romulo mengeluarkan desakan kepada negara-negara Barat agar memberikan pemerintahan sendiri kepada bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Indonesia. Dalam surat kabar Colliers disebutkan Filipia juga mengusulkan agar dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Melayu yang terdiri dari 200 juta manusia yang berbahasa Melayu.

Dukungan terus mengalir, pada 23 Oktober 1945, serikat buruh India di London mengeluarkan dukungan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.

Adapun di Jakarta yang terbagi atas kekuasaan Sekutu, NICA, dan Republik Indonesia, berlangsung pertemuan Presiden Soekarno dengan HJ van Mook yang dimediasi Letjen Christison selaku Komandan AFNEI. NICA di hari yang sama mulai menerbitkan koran Het Dagblad dengan kantor pusat di Jalan Medan Merdeka Barat (Koningsplein West Nomor 9) dan kantor di Jalan Pecenongan Nomor 72.

IPPHOS
Laskar rakyat Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) berpose bersama. KRIS berdiri pada 8 Oktober 1945 dan beranggotakan mahasiswa berpendidikan. Foto ini ditampilkan sebagai kerja sama harian Kompas, Yayasan Oktagon, dan Galeri Foto Antara dalam rangka 60 tahun kemerdekaan RI. Riset data dan teks foto disiapkan oleh Yudhi Soerjoatmodjo.

Pada 25 Oktober 1945, tentara Inggris, yakni Brigade 49 dari Divisi 23 The Fighting Cock, mendarat di Surabaya dengan jumlah pasukan mencapai 6.000 prajurit. Sementara di Jakarta, Presiden Soekarno berpidato yang dipancarkan ke dunia internasional untuk menegaskan bahwa bangsa Indonesia hanya menghendaki pengakuan kemerdekaan dan perdamaian di seluruh dunia. Soekarno meminta agar Amerika Serikat, Uni Soviet, dan China memberikan perhatian terhadap situasi Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan komunike siap berunding dengan pihak mana pun dengan dasar pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri rakyat Indonesia.

Adapun RRI mulai menyiarkan propaganda Gerakan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan Abdi Ambon yang berpusat di Jakarta agar masyarakat Sulawesi dan Maluku di Manado dan Ambon jangan mau dijadikan kaki tangan NICA.

Menyikapi pendaratan Inggris di Surabaya, Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifuddin menyatakan, tugas mereka adalah melindungi dan mengungsikan tawanan perang dan kaum interniran, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, serta memelihara ketertiban dan keamanan. Menteri Penerangan meminta agar tentara Inggris tersebut diterima dengan baik dan dibantu.