Siluet Nyata Para Penjaga Nyawa

Musim hujan datang lagi. Di Jawa Barat, seperti daerah lain di Indonesia, kedatangannya kerap disambut bahagia. Hujan mendatangkan pasokan air berlimpah untuk mengisi lahan pertanian. Di daerah sulit air, hujan mengisi kembali sumur warga dan sungai yang mulai mengering.

Akan tetapi, tak semua berujung bahagia. Bagi sebagian daerah, musim hujan sama artinya dengan petaka. Ragam bencana hidrometeorologi rentan datang mengancam jiwa.

Tahun ini, bahkan sebagian besar daerah di Jabar harus ekstra waspada. Musim hujan kali ini diduga bakal lebih ekstrem akibat fenomena La Nina. Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Bogor Abdul Mutholib menjelaskan, La Nina rentan memicu bencana hidrometeorologi, seperti gerakan tanah hingga banjir.

Bisa jadi, potensinya lebih buruk ketimbang tahun lalu. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar tahun 2019 setidaknya ikut menguatkannya. Kala itu, tercatat longsor 605 kejadian, puting beliung (489), dan banjir (164).

Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah di PVMBG Agus Budianto menuturkan, kejadian gerakan tanah di Indonesia rata-rata lebih dari 800 lokasi per tahun. Sebesar 25 persen di antaranya ada di Jabar.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Foto aerial rumah warga Kampung Sinar Harapan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/1/2020), yang sebagian hilang akibat longsor. Jabar harus ekstra waspada bencana hidrometeorologi karena musim hujan kali ini diduga bakal lebih ekstrem akibat fenomena La Nina.

Dua bulan terakhir, Sukabumi, Garut, Bandung, dan Tasikmalaya sudah terdampak. Total, lima orang tewas dan ribuan orang lainnya mengungsi akibat banjir dan longsor. Daerah itu bersama Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur masuk dalam kawasan rawan bencana alam saat musim hujan di Jabar (Kompas, 1 November 2020).

Hanya saja, stigma itu tidak begitu saja dibebankan pada tingginya curah hujan atau fenomena La Nina. Banyak faktor pendukung yang memicu terjadi bencana. Mulai dari ulah manusia merambah kawasan hutan demi mengambil potensi alamnya hingga menghancurkan area resapan air untuk permukiman.

Mitigasi bukan barang baru yang tren pada zaman milenial. Nenek moyang sudah lama menanamkan pola ini dalam kehidupan sehari-hari.

Saat studi ilmiah sudah ada, karakteristik sudah diketahui, hingga daerah yang berpotensi terulang dihajar bencana, mitigasi harusnya menjadi kunci. Bencana bisa datang kapan saja, tetapi korban jiwa dan kerugian harus ditekan.

Mitigasi bukan barang baru yang tren pada zaman milenial. Nenek moyang sudah lama menanamkan pola ini dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak lewat ruang kelas, tetapi lewat cerita rakyat hingga mitos yang kerap disampaikan di halaman atau beranda rumah. Saat kini, kisah-kisah itu dianggap ketinggalan zaman. Namun, nyatanya, kisah-kisah itu ikut menjaga bumi tetap bernapas seperti saat ini.

Geomitologis

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan, cerita turun-temurun ini disebut geomitologis atau peristiwa geologi yang disaksikan manusia sehingga melahirkan legenda atau mitos. Hal tersebut menjadi kontrol masyarakat memandang alam sekitar dan berujung pada kepercayaan terhadap sesuatu. Instrumen pembentuk mitos itu sama dengan sains. Semua folklore dihasilkan oleh ilmuwan masa lalu.

”Masyarakat zaman dulu sering kali lebih bijak memandang alam. Segala fenomenanya tidak dianggap bencana, tetapi bagian proses kehidupan. Ritual tidak hanya sekadar pemujaan, tetapi bentuk penghargaan mereka terhadap alam,” ujarnya.

Di Jawa Barat, kisah kisah itu masih hidup. Sosoknya seperti siluet, gelap, tetapi terasa sangat dekat, mulai dari hewan, benda, hingga serupa makhluk gaib. Sebagian disederhanakan menjadi sajian seni tradisi. Namun, ada juga yang bertahan lama karena dibalut adat hingga potensi wisata. Semuanya berujung sama agar manusia bisa hidup berdamai dengan alam dan ancaman bencananya.

Salah satu sosok itu adalah munding dongkol. Sabtu (24/10/2020), sosok penunggu sungai di Jawa Barat itu kembali menebar alarm bahaya. Dalam Kirab Budaya Ngarak Cai di Cimahi, 24-25 Oktober 2020, replikanya diarak diiringi musik tradisional Sunda.

ARSIP HERMANA HMT
Kesenian tradisional munding dongkol memeriahkan Kirab Budaya Ngarak Cai Festival Air 2020 di Cimahi, Jawa Barat, Sabtu (24/10/2020). Munding dongkol dipercaya sebagai sosok penjaga air yang bisa murka serupa banjir atau banjir bandang.

Pesannya sama seperti sebelumnya. Apabila manusia tak juga menghargai alam, sosok serupa kerbau itu bakal murka. Bentuknya diyakini berupa banjir dan banjir bandang bagi manusia di sekitarnya.

Sebagian masyarakat di Jabar percaya munding dongkol bersemayam di sungai-sungai di tanah Sunda. Kulit wajah sosok menyerupai kerbau itu berwarna merah. Matanya melotot. Giginya besar dengan empat taring menonjol. Dia doyan hidup di air tenang dan bersih.

Bila mengamuk, dia dengan mudah menumpahkan air sungai menerjang sekitarnya. Manusia jelas terkena dampaknya.

Akan tetapi, munding dongkol juga mudah marah apabila tempat tinggalnya dirusak. Sungai yang kotor akibat pencemaran hingga erosi dan jauh lebih deras karena penambangan adalah hal tidak dia suka. Bila mengamuk, dia dengan mudah menumpahkan air sungai menerjang sekitarnya. Manusia jelas terkena dampaknya.

”Kearifan lokal ini ilmu pengetahuan masa lampau agar manusia waspada bencana alam. Acara ini sebagai salah satu mengingatkan warisan luhur itu. Sebagian daerah lain juga melakukannya, tetapi mungkin dengan nama lain,” kata Hermana HMT, salah seorang penggagas kirab yang juga Ketua Dewan Kebudayaan Kota Cimahi.


Hermana benar. Munding dongkol tidak sendirian menjaga tanah Sunda. Situ Ciburuy, contohnya, salah satu kawasan resapan air di Padalarang, Bandung Barat, jadi saksinya.

Si layung adalah penunggu di Situ Ciburuy. Sosoknya berupa ikan mas raksasa berwarna kuning kemerahan (layung) yang bisa menelan siapa dan apa saja yang nekat merusak Situ Ciburuy.

Mas Nana Munajat, tokoh masyarakat setempat, mengatakan, Situ Ciburuy adalah perairan tawar yang dibuat Belanda pada awal abad XX. Selain menyimpan cadangan air, situ ini juga mendukung akses militer di Cimahi, berjarak 10 kilometer dari Ciburuy.

Situ itu digunakan untuk melatih berenang kuda perang. Kawasan ini juga menjadi tempat latihan terjun militer pasukan kavaleri. Tank-tank Belanda pun kerap dicuci di tempat itu.

Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Seorang warga memancing ikan di Situ Ciburuy, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, yang menyusut, Minggu (4/2/2018).

Tidak heran apabila keberadaannya dijaga ketat. Belanda lewat pengelola Ciburuy, tuan Benvih, melarang penangkapan ikan di situ. Hukuman berat bagi yang nekat melakukannya.

Bersama hukuman berat dari Benvih dan legenda si layung, jelas butuh nyali besar untuk merusak Ciburuy saat itu. Sulitnya menangkap ikan di sana bahkan digambarkan lewat potongan lagu Sunda legendaris berjudul ”Bubuy Bulan”.

Situ Ciburuy laukna hese dipancing. Nyeredet hate ningali ngeplak caina… (Situ Ciburuy ikannya susah dipancing. Tergetar hati melihat bening dan luas airnya).

Hingga kini, Situ Ciburuy masih sangat penting. Situ ini masih menjadi sumber air bagi lingkungan sekitarnya. Selain vital sebagai obyek wisata, kawasan seluas 41,5 hektar dengan luas genangan air 35 hektar tersebut menjadi tumpuan lahan pertanian di sekitarnya.

Akan tetapi, sumber air situ dari Sungai Cimeta bukan tanpa batas. Saat musim kemarau, debitnya berkurang dari 6 juta meter kubik menjadi sekitar 2 juta meter kubik. Pulau kecil di tengah danau yang biasa disebut bobojong pun terlihat meluas.

Pegiat lingkungan setempat, Deden Hidayat, mengatakan, sumber mata air bagi Ciburuy tidak hanya Cimeta. Dari cerita leluhur kampungnya, Ciburuy juga disuplai air bawah tanah Karst Citatah berumur 20 juta-30 juta tahun.

”Akan tetapi, airnya tidak sederas dulu. Diduga terhambat imbas penambangan kapur,” ujarnya.

Deden mencontohkan kawasan Pamucatan di Kecamatan Padalarang yang dulu tak pernah kesulitan air. Muncul istilah baru, mun teu bisa manggul cai, lain urang Pamucatan (kalau tidak bisa mengangkut air, orang Pamucatan), membuatnya prihatin.

Penjaga Kehidupan

Berjarak sekitar 35 kilometer dari Ciburuy, nini kodok jadi penunggu di Cibiru Tonggoh, Cibiru, Kota Bandung. Kabarnya, sosok itu menyeramkan meski tak pasti bentuknya seperti apa. Namun, dari toponomi, bisa jadi bentuknya seperti kodok berusia sepuh.

”Dulu, tempat ini ditakuti karena pohon buni yang besar dan mitos nini kodok yang kabarnya menyeramkan,” kata Ade Basar, warga setempat pemilik tanah tempat mata air itu muncul.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Petugas memberi pakan ikan di Wetland (taman rawa) Cisurupan, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Senin (23/9/2019). Kawasan ini terdiri dari 18 kolam dengan daya tampung total 5.000 meter kubik dari aliran sungai Ciloa yang mengalir ke ara Bandung Timur.

Kini tempat mata air itu dikenal tak angker lagi. Namun, bukan berarti tak disegani. Ada mushala dibangun atasnya. Selain itu, ada pula tempat penampungan air. Tujuannya, agar siapa saja bisa mudah mengambil air untuk beragam kebutuhan.

Apabila mengacu pada standar Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) tahun 2002, keinginan Bah Rais sejauh ini terwujud. Pemenuhan air sekitar 100 orang di Cibiru Tonggoh terbilang ideal. Setiap satu orang setidaknya bisa mendapatkan 62,5 liter air per hari. Jumlah itu lebih banyak daripada standar pemenuhan hak dasar air ala UNESCO, yakni minimal 60 liter per orang dalam sehari.

Mata air Cibiru Tonggoh juga vital karena berperan besar menghemat pendapatan warga. Apabila dihitung, tarif air negara di Kabupaten Bandung tahun 2014 mencapai Rp 2.100 per meter kubik, setidaknya satu rumah tangga bisa menghemat Rp 1.050 per hari atau setara Rp 31.500 per bulan. Itu cukup melegakan mengingat pendapatan rata-rata keluarga kurang dari Rp 50.000 per hari.

Mas Nanu Munajar Dahlan, seniman tari, terinpirasi dengan kisah itu. Dia menerjemahkannya dengan perang cai (air) pada 2015. Sebelum acara, dipanjatkan doa kepada Ilahi sebagai syukur atas nikmat dan berkah air melimpah bagi warga.

Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Warga Kampung Cibiru Tonggoh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, lakukan hajat perang cai di kampung mereka, Minggu (20/9/2015). Perang cai ini adalah bentuk ungakapan rasa syukur terhadap terjaganya mata air yang terus memenuhi kebutuhan warga.

Merayakan kelimpahan air ini seperti lanjutan dari tradisi yang lama hidup di masyarakat Sunda. Nanu mencontohkan, acara adat ngalokat cai atau syukuran aliran air di Bandung Barat hingga ngabuntu untuk persiapan musim tanam di Subang.

Selain itu, ada babangkongan di Kuningan, oded di Majalengka untuk meminta hujan, serta babarit di Karawang dan ngaruwat cai di Garut untuk upacara tolak bala. ”Tradisi ini banyak yang masih tumbuh, tetapi ada juga yang sudah mati. Sumber airnya telanjur rusak,” katanya.

Kisah para penjaga kehidupan juga hadir di Kuningan, Jabar. Keberadaan ikan kancra (Labeobarbus douronensis) dijadikan pengingatnya. Masyarakat setempat menamakan kancra itu dengan sebutan ikan dewa (lauk dewa).

Dari penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Limonologi LIPI, ikan yang beratnya 1 kilogram hingga 15 kilogram dan panjangnya bisa mencapai 75 sentimeter itu merupakan ikan asli Kuningan. Di sana, ikan itu hidup di kolam Cibulan, Cigugur, Pasawahan, Linggarjati, dan Darmaloka.

Kompas/DEDI MUHTADI
Ikan kancra bodas di kolam Cibulan, Cigugur yang menurut para karuhun tidak boleh diganggu, menjadi obyek wisata kebanggaan Kuningan.

Seperti ditulis Kompas, Sabtu, 25 Januari 2014, kelima kolam itu terletak di kaki Gunung Ciremai, mulai dari lereng utara (Pasawahan) yang melengkung, seperti bulan sabit, hingga lereng tenggara (Cigugur) dan lereng selatan (Darmaloka). Di ujung lengkungan itu terletak kolam keramat Cibulan. Keberadaan ikan ini juga dikaitkan dengan kiprah Sunan Gunung Jati ketika menyebarkan Islam di Cirebon dan sekitarnya.

Berdasarkan karakteristiknya, ikan dewa itu baru hidup di sumber air yang jernih, bersih, dan mengalir secara terus-menerus. Mata air jenis ini hanya bisa timbul jika lingkungan hutannya lestari dan pepohonan lebat. Saat semuanya terjaga, peran ikan langka itu terus hidup. Cibulan menjadi kawasan wisata andalan di Kuningan. Pengunjung bisa berenang bersama ikan-ikan yang terlihat jinak dan akrab dengan manusia.

Berdasarkan karakteristiknya, ikan dewa itu baru hidup di sumber air yang jernih, bersih, dan mengalir secara terus-menerus.

Kampung Kuta di Ciamis, daerah tetangga Kuningan, juga percaya kehidupan akan tetap terjaga apabila berdamai dengan alam. Salah satunya, hidup berdampingan dengan banteng wulung.

Sosok bertubuh besar dan hitam seperti kerbau itu diyakini menjaga hutan karamat Kuta. Hutan yang memiliki ragam pepohanan besar itu luasnya lebih dari 50 persen kawasan Kuta itu sendiri. Kawasan itu ikut menyangga Kuta meminimalkan longsor dan banjir saat musim hujan dan kekeringan ketika kemarau.

Ki Warja, sesepuh Kampung Adat Kuta, mengatakan, hutan keramat seluas 40 hektar itu adalah denyut nadi di Kuta. Selain menjadi rumah bagi situs peninggalan leluhur, hutan keramat memberi pasokan air berlimpah yang disimpan di antara akar pohon besar.

Kompas/Cornelius Helmy Herlambang
Arna (70), memasak nira di dapur belakang rumahnya di Kampung Adat Kuta, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (9/1/2014). Nira yang kemudian diambil gulanya adalah mata pencaharian utama warga Kampung Adat Kuta.

Mata pencarian warga sebagai penyadap gula merah juga bergantung pada bibit aren yang dibawa monyet atau musang dari hutan keramat. Selain itu, banteng wulung juga dipercaya membantu kehidupan manusia bisa mengendalikan hama pohatji (tanam-tanaman).

”Saat ragam kearifan tetap dipertahankan, kehidupan akan berjalan seperti semestinya. Tidak ada pihak yang dirugikan, baik manusia maupun mahluk hidup lainnya,” katanya.

Pendapat Ki Warja tak berbeda dengan Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara. Herry menuturkan, salah satu modal besar menata mitigasi adalah melestarikan kisah turun-temurun di masyarakat. Dibutuhkan pendekatan multidisiplin untuk menjaganya tetap menjaga warga di daerah rawan. ”Tidak hanya kajian saintifik, pengetahuan tata ruang hingga penelusuran kisah-kisah tradisional juga sangat dibutuhkan agar pesan nenek moyang tetap relevan pada zaman ini,” ujarnya.

Dulu dan kini, bencana alam selalu ada. Namun, tekanan kian berat pada era sekarang bisa jadi membuat dampaknya kian terasa. Harapannya, dengan modal pengetahuan turun-temurun dan teknologi kekinian, manusia bisa jauh lebih dewasa hidup bersama mitigasi dalam kehidupannya.