Narasi dari zaman kolonialisme tidak selamanya hitam-putih tentang kawula Nusantara dan penguasa Belanda yang semena-mena. Salah satu cerita yang menarik adalah penggalan kisah seorang pelukis yang juga tuan tanah bernama Jannus Theodorus ”Dorus” Bik (1796-1875) yang sempat tinggal di Batavia dan Bogor.
Bermula dari seorang juru gambar Pemerintah Hindia Belanda pada paruh akhir dekade 1810, Theodorus Bik mengembangkan karier dan sempat menjadi guru lukis pertama Raden Saleh Syarif Bustaman. Ia kemudian menjadi tuan tanah yang kaya raya. Theodorus memiliki landhuis di Tanah Abang, Pondok Gede, Ciluar, Cilebut, dan Cisarua di kawasan Puncak, Jawa Barat.
Landhuis atau rumah kongsi adalah rumah perdesaan di luar jantung kota. Di era Hindia Belanda, wujud landhuis berupa semacam mansion atau vila luas dan mewah dengan areal taman atau kebun yang juga luas.
Ungkapan latin Sic transit gloria mundi, kemegahan dunia hanyalah sementara, kekayaan dan kejayaan Theodorus Bik berakhir sudah di abad ke-20. Kini hanya tersisa sebuah tugu tempat memasang menara loncengnya di Landhuis Cilebut milik Theodorus Bik yang berada tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Cilebut di jalan raya Bogor-Citayam-Depok.
Salah satu peninggalan kejayaan keluarga besar Bik yang masih utuh adalah Masjid Cilebut di sebelah stasiun kereta api yang didirikan dengan biaya dari Theodorus Bik semasa hidup.
Sven Verbeek Wolthuys, salah satu keturunan Theodorus Bik yang menyusuri jejak leluhurnya di Tanah Abang sejak 1995, mengatakan, tidak banyak yang tersisa dari zaman kejayaan leluhurnya tersebut.
Kawasan Tanah Abang pun sudah berubah menjadi pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Demikian pula landhuis lain di Pondok Gede, Cilebut, Ciluar, dan Cisarua sudah berubah wajah sama sekali. Sven sendiri sempat membuat buku 250 Years in Old Jakarta, yang berisi panduan cukup menyeluruh tentang sejarah kawasan Tanah Abang di era kolonial Belanda.