Bandung pada masa Hindia Belanda adalah daerah sepi nan terpencil di ketinggian. Tanahnya yang subur dan cocok untuk tanaman teh kemudian menarik kedatangan para pengusaha Belanda untuk membuka lahan perkebunan di sana.
Dari daerah yang terpencil, perlahan Bandung mulai berdenyut. Jika semula bikin bosan dan frustrasi, lama-kelamaan berubah menjadi daerah yang penuh dinamika. Keberadaan komunitas dan kegiatan-kegiatan yang menghidupinya turut menciptakan romantika kehidupan di Bandung.
Salah satu yang berperan penting membentuk gaya hidup di Bandung kala itu adalah keberadaan societeit atau balai pertemuan. Tidak saja menampung hiruk-pikuk kaum elite Hindia Belanda atau saksi tren perkembangan kota, societeit kelak turut membangun semangat kemerdekaan dan perdamaian dunia.
Pada 1870, Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin kepemilikan usaha dan pembukaan lahan usaha kepada swasta. Pengusaha perkebunan dari negeri Belanda kemudian berdatangan ke Bandung yang dikenal memiliki tanah subur dengan ketinggian ideal.
Mereka datang untuk menanam teh, komoditas favorit dunia kala itu. Para pengusaha ini kemudian mendapat julukan Preangerplanters atau para penanam dari Priangan.
Beberapa yang sangat terkenal bahkan dijuluki thee jonkers van Preanger atau para ”Pangeran Teh” Priangan, seperti disebutkan Kuswandi Md, praktisi perkebunan yang juga penulis buku Sejarah Teh. Di antara mereka adalah Guillaume Louis Jacques (GLJ) van der Hucht, Karel Federik Holle, dan KR Bosscha.
Kebun-kebun teh ini menyerap 1,5 juta pekerja dan menghidupi sekitar 6 juta jiwa. Perkebunan terbentang dari Purwakarta, Cianjur, Garut, Sukabumi, hingga Bandung. Pada 1936, dari 293 perkebunan teh di Nusantara, sebanyak 247 di antaranya berada di Jawa Barat.