Suburnya Pertanian Pulau Jawa Tahun 1930

Hijau royo-royo, itulah alam Pulau Jawa di tahun 1930-an yang subur tanahnya, menghasilkan berbagai komoditas pertanian, perkebunan, industri teh, kopi, hingga gula yang mendunia. Harriet Winifred Ponder, perempuan Australia yang berkeliling Jawa di tahun 1920-an dan 1930-an, membuat catatan menarik tentang kesuburan pertanian, perkebunan, dan seluk-beluk agribisnis di pulau yang disebut tersubur di dunia.

Ponder (1883-1967) dalam buku Javanese Panorama More Impressions of the 1930’s menyebutkan, orang Inggris dan Eropa menyukai alam tropis dan udara hangat. Namun, mereka mengira hidup di alam tropis akan membosankan karena tidak mengalami perubahan cuaca empat musim seperti di Eropa. Pendapat itu tidak berlaku bagi Pulau Jawa yang berudara hangat, tetapi kehidupan masyarakatnya tidak monoton.

Ponder yang bermukim di Melbourne, Australia, membandingkan kesibukan pertanian di Inggris antara bulan Juli dan Desember tidak berbeda dengan kesibukan petani Jawa menggarap sawahnya yang menghijau menjelang panen raya. Atau juga keindahan petak-petak sawah di timur Jawa seusai dipanen yang disiapkan untuk ditanami tebu silih berganti.

Para petani terlihat bepergian ke sawah memanggul pacul di seantero persawahan di Jawa. Musim hujan atau monsoon mendatangkan musim tanam baru di Jawa. Siklus kehidupan berlanjut….

Ketika tanaman tebu berbunga dan mulai tumbuh dewasa, kerimbunan tanaman tebu yang tumbuh subur terlihat seperti padang rumput pampa yang subur di Amerika Selatan.

Arsip KITLV/H van ngen
Para petani penggarap kebun tebu di sebuah perkebunan tebu di Jawa, pada masa kolonial Belanda. Keanekaragaman tanaman budidaya membuat pulau ini menjadi amour propre atau kepuasan batin bagi pencinta dunia agrikultur.

Orang Eropa yang suka bercocok tanam akan terheran-heran melihat keragaman hayati dan suburnya Pulau Jawa. Petani atau pekebun Eropa, Afrika Selatan, dan Australia mungkin mengenal perbedaan gandum, oat, barley, aneka kacang, dan umbi-umbian. Namun, di Jawa, keragaman tanaman budidaya dengan ribuan jenis tanaman, pepohonan, dan berbagai tumbuhan ditemui di sepanjang perjalanan berkeliling Pulau Jawa. Jawa adalah amour propre atau kepuasan batin bagi pencinta dunia agrikultur.

Ponder menerangkan, landskap Jawa didominasi oleh bentangan sawah dan di beberapa wilayah didominasi tanaman budidaya besar, seperti tebu, karet, kopi, jati, dan tembakau. Namun, era tersebut menurut dia akan berganti.

Pengunjung perdana di Jawa yang menumpang kereta api akan melintasi lahan pertanian yang ditanami aneka tanaman. Ada tanaman yang tumbuh menjalar di permukaan tanah bak karpet, ada tanaman yang menjulur tinggi di batang tumbuh, gerombolan tanaman seperti belukar dengan bunga-bunga putih, dan tanaman sejenis dengan bunga-bunga kuning, ada tanaman yang ditanam menyulur di teralis, dan belasan jenis tanaman lain yang terlihat dari jendela kereta api.

Jawa adalah amour propre atau kepuasan batin bagi pencinta dunia agrikultur.

Menurut Ponder, amat sulit menghapal aneka tanaman yang ditemui di Jawa. Ada sebutan yang berbeda untuk jenis tanaman serupa di barat, tengah, dan timur Pulau Jawa. Belum lagi variasi dari tumbuhan sejenis. Namun, itu yang membuatnya semakin bersemangat mengenal keragaman hayati di Jawa.

Salah satu tanaman yang umum ditanam ketika itu adalah kacang tanah (Arachis hypogaea) yang biasa dibudidayakan ketika iklim kering yang tidak memungkinkan bertanam padi di sawah. Jenis tanaman ini terutama dibudidayakan di timur Pulau Jawa ketika cuaca kering.

Pada wilayah pegunungan di Jawa Timur, tanaman ini disebut sebagai kacang. Namun, sesungguhnya masyarakat tidak membedakan jenis kacang dengan buncis yang ditanam bersama kentang atau jagung berselang-seling. Sistem tanam yang berganti jenis tanaman memastikan permukaan tanah tetap subur. Ponder menyebut istilah ”terus-menerus” dalam budidaya tanam yang tidak terputus seperti itu. Tanaman disemai dan dirawat sehingga pada November, ketika musim hujan, sudah dipanen lalu langsung digantikan dengan menanam padi yang membutuhkan curah hujan tinggi.

Arsip KITLV
Petani dengan bajak yang ditarik kerbau tengah membajak sawah di Jawa Tengah, sekitar tahun 1927. Landskap Jawa didominasi oleh bentangan sawah dan di beberapa wilayah didominasi tanaman budidaya besar, seperti tebu, karet, kopi, jati, dan tembakau.

Harriet W Ponder melihat gerobak-gerobak petani dihela kerbau mengangkut tumpukan kacang yang menjulang tinggi hingga 3,5 meter menggunung di atas gerobak. Kacang tanah itu dicabut berikut akar-akarnya sehingga dijuluki ”Karang Brul” itu dijual oleh pedagang di stasiun kereta hingga menjadi bagian dari menu terkenal rijstaffel di hotel dan restoran mewah. Para pedagang di jalan menjajakan kacang goreng yang dibungkus koran seharga 1 sen per bungkus.

Kacang tanah naik kelas dalam hidangan hotel berbintang di Jawa masa itu. Dalam penuturan penulis Sejarah Kecil Indonesia-Prancis 1800-2000, Kolonel Jean Rocher, menu Rijstaffel di Hotel des Indes di Batavia pada awal 1900 disebut panduan boga Michelin sebagai ”Merit de Voyage” atau hidangan yang wajib dicoba meski harus melakukan perjalanan melintasi lautan.

Para pedagang hasil bumi, Tionghoa dan Arab, juga membeli kacang tanah sebagai salah satu komoditas dagangan mereka. Tumpukan kacang tersebut dibersihkan dari sisa tanah oleh anak-anak petani di desa. Orang Eropa yang tidak menyadarinya sepintas lalu menyangka deretan kacang yang dijemur itu seperti tumpukan batu yang jika tidak hati-hati akan terpijak.

Kacang tanah tersebut adalah tanaman asli Amerika Selatan yang diboyong ke Jawa. Tanaman tersebut tumbuh menjalar di dalam tanah. Di bagian permukaan tanaman tumbuh tanaman yang berbunga. Setelah musim panen, sisa tanaman digunakan sebagai penyubur tanaman tebu.

Kacang tanah juga diolah untuk dijadikan minyak kacang. Tidak kalah populer dengan minyak kelapa di Jawa. Jenis kacang lainnya adalah kacang cina yang dijajakan di jalan. Diduga kacang tanah jenis tersebut diperkenalkan oleh pendatang Tionghoa di Jawa.

Tanaman lain yang populer adalah ketela alis ubi atau dikenal orang Inggris sebagai kentang manis (sweet potato) dan disebut orang Prancis sebagai patate. Ketela di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi pakan pengganti beras di musim kering. Berkilometer kebun ketela tumbuh di musim kering.

Arsip KITLV
Foto ubi Jawa, sekitar 1915.

Ketela dijuluki juga sebagai kentang Jawa. Fungsinya sebagai sumber pangan pengganti beras sangatlah penting. Beragam jenis ketela tumbuh di dataran rendah. Tumbuh subur di bawah kerimbunan daunnya di permukaan.

Seperti kacang dan tanaman menjalar lainnya, ketela dipanen sebelum musim hujan tiba di Jawa. Orang Eropa di Jawa tidak banyak yang memakan ketela. Ponder mencatat, dirinya sering memakan ketela semasa bertualang di daerah kering di Australia Utara. Dia tidak terlalu menyukai rasanya dan bisa memahami orang Eropa tidak banyak yang memakannya.

Budidaya tanaman lainnya yang menarik adalah musim panen buah kapuk. Pada pengujung musim kemarau pada Oktober-November di Pulau Jawa, buah kapuk kehijauan mulai mengering dan berganti warna coklat. Para petani memasang tangga menyandar di pokok kapuk yang buahnya lebat. Buah kapuk pun dipanen dan disimpan dalam keranjang bambu.

Arsip KITLV
Penghilangan kulit buah kapuk oleh para perempuan di sebuah perusahaan kapuk di Jawa, sekitar 1915.

Keranjang bambu berisi tumpukan buah kapuk tersebut dipanggul para perempuan, diangkut kuda, dan atau dipikul para lelaki. Di pengumpul kapuk, buah kapuk digelar dan dijemur di lantai semen. Setelah keras dan mengering, buah kapuk dibelah dengan tangan. Isinya serat kapuk yang putih seperti benang katun diambil dan dipisahkan dari biji kapuk.

Serat kapuk seperti salju, ukurannya besar, tetapi bobotnya ringan. Dalam bungkusan berukuran besar, kapuk diangkut oleh pemikul pria, perempuan yang menggendongnya, atau diangkut menggunakan kuda. Bungkusan kapuk menjulang nyaris menutupi manusia ataupun kuda yang mengangkut.

Orang Eropa yang pulang ke peradaban Barat selalu merindukan tidur di atas kasur berisi kapuk jawa.

Kualitas kapuk terbaik dipres di pabrik dalam ukuran satu bal. Kapuk tersebut ditujukan untuk pasar ekspor. Semasa paruh pertama abad ke-20, dunia mengenal java kapok atau kapuk jawa.

Keunggulan kasur kapuk sangat digemari orang Jawa, Tionghoa, dan Eropa. Di Pulau Jawa, tidur dengan kasur, bantal, dan guling yang diisi kapuk merupakan kemewahan masa itu. Industri kasur kapuk milik orang Tionghoa memasok kebutuhan matras tidur yang nyaman itu. Orang Eropa yang pulang ke peradaban Barat selalu merindukan tidur di atas kasur berisi kapuk jawa.

arsip/kitlv
Pengolahan kapuk oleh para pekerja di sebuah pabrik kapuk di Jawa, sekitar tahun 1915.

Jika kasur, bantal, dan guling sudah kempis dimakan waktu, penjual kapuk selalu ada untuk memasok kapuk pengisi kasur, bantal, dan guling tersebut. Pedagang keliling menjajakan kapuk dalam buntalan berbentuk sosis berwarna biru, merah, hijau, kuning, dan ungu.

Komoditas lain yang menarik bagi Ponder adalah aneka kacang-kacangan, juga kecambah atau tauge. Ada jenis kacang yang disebutnya sebagai pate dengan biji hampir sebesar bola tenis. Sementara kecambah atau tauge disebut orang Belanda sebagai komatje atau huruf koma kecil sesuai bentuk dari tauge.

Kacang kedelai juga ditanam di Jawa. Daun kedelai berbentuk oval dan warna bunganya keunguan. Kedelai ditanam hingga di pegunungan dengan ketinggian 3.000 kaki atau 1.000 meter dari permukaan laut. Bayam dan kangkung ditanam secara luas. Aneka kacang polong ditanam untuk memasok orang-orang Eropa. Bawang merah merupakan salah satu tanaman khas petani Jawa.

Tanaman lainnya yang lazim ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah croletaria dengan bunganya berwarna kuning. Tanaman ini disebut petani sebagai encing-encing, orok-orok, ataupun kakacangan. Tanaman tersebut memperkaya mineral tanah dan seratnya juga berguna.

Jenis lainnya adalah gudeh dengan bunganya yang putih yang digunakan dalam masakan sayur asam. Tanaman sejenis yang lebih besar adalah turi dengan bunga putih besar yang menjadi teman makan nasi putih para petani. Batang dan ranting tanaman tersebut juga digunakan sebagai kayu bakar.

Semasa itu, tanaman percobaan yang sedang diuji di Jawa adalah rosella, keluarga dari tanaman hibiscus. Kini, rosella umum ditemui di Jawa, bahkan dikembangkan sebagai teh rosella. Ponder mencatat, serat rossela bernilai ekonomis. Tanaman tersebut dibudidayakan di bekas lahan tebu setelah bisnis gula di Jawa merosot.

Tebu di Jawa dibudidayakan sejak awal abad ke-16 Masehi di bawah kendali orang-orang Arab. Kompeni Belanda yang tiba di Jawa segera mengambil alih bisnis yang menguntungkan tersebut. Pada 1620 Masehi, tercatat sudah ada 20 kilang gula di Batavia. Segera industri gula menjadi bisnis penting orang Eropa di Jawa.

Arsip KITLV
Gerobak sapi sarat dengan muatan tebu di Jawa sekitar tahun 1930. Gula menjadi bisnis penting orang Eropa di Jawa..

Semula budidaya tebu diterapkan dengan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel sejak paruh pertama 1800-an yang berlangsung hingga tahun 1870-an. Keuntungan besar dari bisnis gula ditangguk Belanda dari ekspor gula, kopi, kina, dan berbagai komoditas dari Pulau Jawa dan Hindia Belanda semasa Perang Dunia I.

Produk gula dari Jawa dijual sebagai komoditas dari pedagang ke pedagang lain hingga nilainya mencapai empat kali lipat harga semula. Namun, industri gula mengalami pukulan telak akibat malaise dan persaingan industri gula.

Harriet W Ponder mencatat, hingga tahun 1931, Pulau Jawa mempunyai 179 pabrik gula dengan produksi 3 juta ton gula per tahun. Jumlah tersebut adalah 20 persen produksi dunia dan menempati urutan kedua sesudah Kuba.

Pemerintah Inggris mengambil kebijakan budidaya gula di India pada 1931 dan menerapkan biaya impor yang besar bagi komoditas gula. Industri gula di India berkembang pada tahun pertama dengan 30 pabrik menghasilkan 158.000 ton dan pada 1934 ada 135 pabrik dengan hasil 650.000 ton.

Harriet W Ponder mencatat, hingga tahun 1931, Pulau Jawa mempunyai 179 pabrik gula dengan produksi 3 juta ton gula per tahun. Jumlah tersebut adalah 20 persen produksi dunia dan menempati urutan kedua sesudah Kuba.

Walhasil, ekspor gula Jawa ke India merosot dari 1 juta ton pada 1931 menjadi hanya 1 ton di tahun 1936. Jepang yang semula mengimpor gula dari Hindia Belanda juga membangun industri gula di Formosa atau Taiwan.

Industri gula di Jawa sangat terpukul. Ada belasan pabrik gula berhenti produksi, mesin-mesin dibongkar dan dijual ke pabrik gula di India. Kantor pabrik gula di Jawa pun menjadi kosong dari aktivitas, permukiman karyawan dan buruh pabrik gula menjadi sepi.

Deretan bungalow di pabrik gula untuk para pejabat pabrik gula yang dihiasi taman bunga dan berbagai perkakas kuningan serta keramik Tiongkok yang mewah menjadi tidak terawat. Terdapat papan bertuliskan ”Te Huur” (disewakan) atau ”Te Koop” (dijual) di daerah pusat perkebunan tebu dan pabrik gula. Area bekas kebun tebu pun berubah menjadi sawah dan tanaman kebun lainnya.

Arsip KITLV
Mesin pabrik gula di Jawa, sekitar tahun 1930. Setelah sempat berjaya, industri tebu di Jawa terpukul akibat malaise dan persaingan industri gula.

Pemerintah Hindia Belanda pun mengambil langkah memberikan subsidi dengan menjamin harga minimum dan kuota produksi. Langkah tersebut sejalan dengan keberhasilan pekebun menekan biaya produksi. Upaya tersebut diharap dapat mengembalikan setidaknya separuh produksi gula di Jawa.

Selain pengusaha Eropa, bangsawan Jawa, dan Tionghoa, ada juga pabrik gula tradisional milik pekebun Jawa. Pabrik gula yang dimulai dengan kilang batu pemeras batangan tebu yang ditarik kerbau mampu bertahan dan tidak terdampak malaise. Gula tersebut dibungkus dalam daun kelapa lalu dijual di warung desa dan pasar. Masyarakat Jawa sangat menyukai rasa manis dalam hidangan mereka sehingga industri ini terus bertahan.

Beberapa jenis tumbuhan mirip tebu tumbuh di Jawa seperti glagah yang mirip alang-alang. Alang-alang digunakan sebagai bahan baku atap rumah. Glagah ditanam di pekarangan rumah di kampung untuk diambil cairan manisnya. Akar muda dari glagah dimakan sebagai bagian menu setempat.

Selain itu ada tanaman agave yang seratnya dapat dimanfaatkan. Batang agave kaku dan berduri. Agave dibudidayakan di dataran rendah. Deretan tanaman agave mirip dengan tanaman di daerah kering di Meksiko.

Ada pula tanaman vanila yang ditanam luas di Jawa yang didatangkan dari Amerika Latin. Penjajah Spanyol ketika itu mendapati bangsa Aztec mengolah cokelat dan memberi aroma dengan vanila.

Arsip KITLV
Suikermolen atau alat mengolah tebu tradisional yang ditarik kerbau di Jawa, sekitar tahun 1930.

Ponder menulis, VOC atau kompeni Belanda mencatat tentang potensi vanila di tahun 1608 Masehi yang dianggap menguntungkan. Vanila tumbuh menjalar dan para petani menggunakan batang bambu agar tanaman mereka menjalar mendatar di antara pepohonan agar mudah dipetik buahnya.

Ada juga aneka tanaman yang bisa digunakan sebagai obat oleh masyarakat Jawa, ditanam di kebun dan pekarangan rumah. Salah satu tanaman penting adalah sirih—tanaman golongan merica, yang daunnya berbentuk hati dan sangat disukai orang Jawa untuk dikunyah bersama gambir, pinang, dan dibubuhi kapur.

Menyuguhkan kotak sirih merupakan cara orang Jawa menghormati tamu.

Menurut Ponder, mengunyah pinang dan sirih memakan waktu 15 menit sehingga di Jawa ada istilah ”sapanginang” untuk merujuk pada masa 15 menit itu.

Terkait pinang dan sirih, kotak sirih dalam tradisi masyarakat Jawa menjadi perlengkapan rumah tangga, seperti halnya teh poci dan gelas bagi masyarakat Inggris. Tempat sirih atau pakinangan—kinang berarti menyiapkan campuran—berisi dua kotak kecil penyimpan gambir, tembakau, satu tempat terbuka untuk pinang, dan pot kecil untuk menyimpan jeruk. Kotak sirih dibuat dari berbagai material, seperti kuningan, kayu, perak, bahkan emas.

Menyuguhkan kotak sirih merupakan cara orang Jawa menghormati tamu. Sang tamu juga harus membantu menyiapkan sirih sebagai tanda menghormati tuan rumah.

Arsip KITLV
Peralatan untuk menginang yang terbuat dari perak, termasuk kotak sirih, di Jawa, sekitar tahun 1870.

Terkadang orang Jawa mengunyah pinang bersama dengan tembakau. Para manula di Jawa sekitar Solo dan Yogyakarta masa itu kerap mengunyah pinang merah tanpa dicampur. Pohon pinang tumbuh di seluruh Jawa dan Hindia Belanda. Banyaknya pohon pinang pun menjadi asal penamaan Pulau Penang di Malaya.

Adapun tanaman gambir adalah tumbuhan mirip semak yang ada di pekarangan masyarakat Jawa. Umumnya gambir tumbuh menjalar ke atas. Tanaman gambir direbus untuk mendapatkan cairan untuk pewarna yang disebut catechu.

Keberadaan kayumanis juga dicatat oleh Harriet W Ponder yang menyebutnya tumbuh liar di Pulau Jawa. Kulit kayu manis digunakan masyarakat untuk campuran dalam rokok linting. Ada beragam kayu manis yang ditanam di Jawa berasal dari Sri Lanka semasa kekuasaan VOC atau kompeni Belanda. Tanaman asli Sri Lanka itu dibudidayakan dengan sistem tanam paksa di Jawa dan Sri Lanka.

Selain itu, ada jenis tanaman semak yang digunakan sebagai pembatas pekarangan, seperti Coleus artopurpureus atau miana. Daun Coleus dapat digunakan sebagai obat wasir, obat bisul, dan lain-lain. Lalu ada sayur bayam merah yang umum ditanam di daerah pegunungan, Caladium atau keladi hias, Lantana camara atau tembelekan dengan bunganya warna-warni indah, croton atau puring, dan Acalyphas indica atau anting-anting juga ditanam dan tumbuh subur di Jawa. Salah satu jenis Acalyphas yang populer disebut dengan tanaman ekor kucing.

Arsip KITLV
Tanaman rosella berumur satu bulan di Buitenzorg (Bogor), sekitar tahun 1920.

Jenis tanaman lain yang disukai bunganya adalah Hosea lobii asal Kalimantan, eixora atau Ixora alias asoka, tenoma, gardenia atau kaca piring, atau kembang sepatu, dan di pegunungan di Jawa banyak ditanami bunga matahari atau marygold. Bunga matahari diperkenalkan oleh botanis Junghuhn ke Jawa.

Bunga dan tanaman lainnya yang dicatat Harriet W Ponder adalah Poinsettia atau kastuba dengan warna merah menyala, Alamanda dengan bunga berwarna kuning, dan Bignonia atau disebut orang Belanda sebagai stephanotis dengan warna ungu-putih.

Sebagai penutup, Harriet W Ponder memuji petani Jawa yang menanam deretan pohon kapuk di dekat permukiman mereka yang pada masa bermekaran memberi pemandangan indah dan mempunyai nilai ekonomi bagi masyarakat. Sayang, bukan lagi tanaman-tanaman itu yang kini tumbuh subur di Pulau Jawa, melainkan hutan-hutan beton di perkotaan….