Kalau saja sumur di belakang rumah Legiono tidak menyemburkan minyak, kondisi hutan, danau, sungai, dan air sumur warga di Bajubang, Jambi, masih akan terjaga. Jatuhnya harga karet mendorong warga beralih menambang minyak secara ilegal.
Jangan bayangkan Danau Merah seindah Laut Merah di Mesir ataupun Pulau Merah di Banyuwangi. Danau yang dikelilingi hutan Senami di wilayah Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, itu bukanlah magnet wisata, melainkan sumber petaka. Bahkan, butuh waktu untuk memulihkannya seperti semula.
Dulu, Danau Merah menjadi sandaran hidup masyarakat Desa Pompa Air dan Bungku. Dari situlah kebutuhan air bersih masyarakat terpenuhi. Siapa menyangka, jernihnya air lenyap dalam sekejap. Permukaan danau alami itu berganti lautan minyak.
Pengeboran sumur-sumur minyak disana berlangsung tanpa standar keselamatan dan keamanan memadai. Minyak pun menyembur ke permukaan tanah dan menggenangi hamparan di sekitarnya, termasuk mencemari danau itu serta sejumlah hulu sungai. Semenjak itulah sejumlah jenis penyakit mulai merebak.
Sejak air danau berlemak dengan warna coklat pekat kemerahan, Sari tak berani lagi mandi ataupun mengambil airnya untuk memasak. ”Kalau sudah tercemar begini, mana ada warga berani mandi, apalagi minum air dari situ,” kata warga yang tinggal di sekitar danau itu.
Ia pun terpaksa membeli air bersih dari luar desa. Setiap tabung air berkapasitas 1.000 liter harganya Rp 200.000. Dalam sepekan, dua tabung habis terpakai di rumahnya. Itu berarti, Sari harus mengeluarkan Rp 1,5 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Warga lainnya, Rahayu (40), juga menyesali kondisi danau saat ini. Putranya terkena penyakit kulit setelah beberapa kali bermain di Danau Merah. Ruam pada sekujur tubuh anaknya tampak meradang.
Elfi Yenni, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari, yang sempat memeriksa penyakit itu menyebut, kulit anak Rahayu terinfeksi alias terkena dermatitis kontak. Penyakit itu terkait erat paparan minyak bumi pada kulit.