Tantangan dan Peluang Energi Baru di Masa Pandemi

Dampak pandemi Covid-19 mencakup berbagai sektor kehidupan, termasuk juga sektor energi. Kebutuhan energi dunia turun 3,6 persen pada kuarter pertama 2020 dan diprediksi menurun 6 persen pada akhir 2020.

Permintaan minyak dunia turun 5 persen pada kuarter pertama 2020 karena pembatasan mobilitas penduduk dan menurunnya pengiriman barang. Demikian pula permintaan batu bara menurun 8 persen karena berkurangnya permintaan pada pembangkit listrik dan sektor industri.

Menurunnya permintaan bahan bakar fosil ini mungkin dapat memicu transformasi energi. Akan tetapi, hal itu tidak mudah dilakukan sebab pengembangan energi baru terbarukan (EBT) pun juga terhambat pandemi.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Kincir angin pembangkit listrik di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida di Pantai Baru, Srandakan, Bantul, Yogyakarta, Selasa (11/8/2015). Daya listrik yang dihasilkan 34 kincir angin dan panel surya di PLTH tersebut saat ini mencapai sekitar 90.000 watt.

Krisis ekonomi menyebabkan tertundanya proyek pengembangan EBT. Demikian pula diterapkannya pembatasan wilayah dan pembatasan fisik untuk mencegah penyebaran Covid-19 menyebabkan tertundanya proyek EBT baru. Dampaknya, International Energy Agency memprediksi tahun ini penambahan kapasitas listrik dari EBT turun 13 persen dibandingkan tahun 2019.

Sejumlah negara pun terpaksa menyesuaikan target dan jadwal proyek pengembangan EBT dengan memperpanjang waktu proyek. Misalnya di Austria, pemerintah memperpanjang waktu konstruksi pembangkit listrik tenaga angin selama enam bulan. Perancis memperpanjang target selama dua hingga enam bulan.

Covid-19 dapat mengubah arah kebijakan pemerintah negara-negara terhadap EBT. Darurat pemulihan kesehatan dan ekonomi serta ketidakpastian situasi dunia akibat Covid-19 dalam dua tahun ke depan dapat menghambat transisi energi.

Kompas/Hendra A Setyawan
Warga pulang dari menggembala sapinya di dekat deretan kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo I di Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (23/6/2019). Terdapat 20 turbin angin di PLTB Tolo dengan kapasitas masing-masing 3,6 MW.

EBT progresif

Padahal dalam dua dekade ini penggunaan EBT di dunia semakin meningkat. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), pada 2000, hanya 18,7 persen EBT yang digunakan sebagai sumber energi listrik dunia. Pada 2018, persentasenya meningkat menjadi 25,6 persen. Pada 2024 diperkirakan pembangkit listrik dari EBT akan mencapai 30 persen.

Dari sisi produksi pun, Bank Dunia mencatat terjadi kenaikan pesat produksi EBT selama periode yang sama. Pada 2000, produksi listrik yang bersumber dari EBT hanya sejumlah 217,1 miliar kWh. Kemudian pada 2015, jumlahnya meningkat menjadi 1,65 triliun kWh.

Kesadaran dan kesepakatan negara-negara untuk beralih ke penggunaan energi ramah lingkungan menjadi pemicu pesatnya peningkatan ini. Tonggak percepatan pengembangan EBT didorong oleh isu kerusakan lingkungan, terutama perubahan iklim yang tidak dapat dihindari.

Negara-negara bersama-sama berjuang menekan perubahan iklim melalui Kesepakatan Paris (2015) yang menyetujui penurunan emisi global sebesar 7,6 persen per tahun hingga 2030 melalui dekarbonisasi. Salah satu caranya adalah menggunakan EBT sebagai pengganti bahan bakar fosil.

Selama ini, bahan bakar fosil masih mendominasi sumber energi. Setidaknya 75 persen energi dunia bersumber dari bahan bakar fosil.

Hanya saja, proporsi sumber energi dari batu bara dan minyak bumi dalam pembangkit listrik dunia menurun. Tahun 2000, 38,9 persen pembangkit listrik dunia masih menggunakan batu bara. Namun pada 2018, proporsinya turun menjadi 38,2 persen.

Penurunan yang lebih jauh terjadi pada pembangkit listrik berbahan minyak bumi. Dibanding tahun 2000, proporsi pembangkit listrik berbahan minyak bumi menurun 4,8 persen dari 7,7 persen menjadi 2,9 persen pada 2018.

Hal ini juga didasari oleh fakta menipisnya ketersediaan bahan bakar fosil. Di mana jika bahan bakar fosil ini terus berkurang maka harus ada pengganti bahan bakar lainnya. Di sinilah EBT berperan.

Kompas/Ichwan Susanto/Ferganata Indra Riatmoko
(1) Buah Nyamplung
Nama Latin: Calophyllum inophyllum
Habitat asli: Afrika Selatan hingga Australia, termasuk Indonesia.
Potensial sebagai bahan bakar biodiesel.
(2) Setiap 2,5 kilogram biji nyamplung dapat diolah menjadi 1 liter biodiesel yang dijual dengan harga Rp 4.000 per liter.

Lebih variatif

Kemajuan EBT juga ditandai dengan pertumbuhan ragam energi yang dikembangkan. Hingga saat ini, EBT yang sudah dikembangkan terdiri dari energi air, angin, sinar matahari, panas matahari, panas bumi, dan gelombang laut.

Penemuan dan penelitian penggunaan EBT untuk menghasilkan energi listrik sudah dilakukan sejak awal abad ke-19. Namun, di antara jenis EBT, energi air dan angin paling banyak dan paling lama digunakan.

 

Hal ini dapat dilihat dari tren sumber energi pembangkit listrik pada periode 1990 hingga 2018. Sebanyak 98,14 persen output listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik EBT pada 1990 berasal dari energi air. Jumlahnya mencapai 2,2 juta gigawatthour (gWh).

Sementara sisanya disumbang oleh panas bumi (1,63%), panas matahari (0,03%), gelombang laut (0,02%) dan angin (0,17%). Dalam perkembangannya, proporsi EBT untuk pembangkit listrik kian berubah karena pertumbuhan bauran energi selain energi air.

Buktinya pada 2018, energi air hanya menyalurkan energi listrik sebesar 69,16 persen dari total pembangkit listrik EBT. Meskipun keluarannya meningkat menjadi 4,33 juta gWh.

Proporsi pembangkit listrik tenaga air menurun karena meningkatnya proporsi EBT lain dalam pembangkit listrik. Yang paling bertambah pesat adalah tenaga angin (20,36 persen) dan sinar matahari atau panel surya (8,86 persen). Energi yang disalurkan dari dua EBT ini mencapai 1,3 juta gWh dan 554.400 gWh.

Kompas/Adrian Fajriansyah
Sejumlah peserta dalam Kompetisi Kincir Angin Indonesia di Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta, Minggu (1/12/2013). Kegiatan ini diharapkan dapat mendorong riset tentang energi terbarukan.

Menurut International Energy Agency (IEA), peningkatan EBT didorong oleh peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya. Peningkatannya kapasitas panel surya cukup besar yaitu 50 persen atau 74 Gigawatt pada 2016.

Bertambahnya kapasitas panel surya tersebut bahkan tercatat sebagai pencapaian besar untuk EBT. Untuk pertama kalinya pertumbuhan kapasitas energi panel surya melebihi bahan bakar lainnya termasuk batu bara yang mencapai 57 Gigawatt.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Panel pembangkit listrik tenaga matahari dipasang di atas Terminal Tirtonadi, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (11/7/2017). Pemanfaatan energi surya merupakan salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.

Sebaran EBT

Meskipun penggunaan EBT meningkat, namun pengembangannya masih terpusat hanya di sejumlah negara saja. Sebesar 52,8 persen pembangkit listrik EBT dunia berada di China (27,5 persen), Amerika Serikat (11,3 persen), Brazil (7,5 persen), dan Kanada (6,5 persen). Totalnya mencapai 3,5 juta gWh.

Jika ditinjau dari sebaran di tingkat regional, wilayah Asia paling banyak menggunakan EBT. Pada 2018, besarannya mencapai 2,6 juta gWh atau 40,14 persen dari total pembangkit listrik EBT. Lima negara yang berkontribusi terhadap pengembangan EBT terbesar di wilayah ini adalah China, India, Jepang, Vietnam, dan Thailand.

Menariknya, dibanding negara lain yang lebih maju secara ekonomi, Vietnam mampu berkontribusi aktif terhadap penggunaan EBT. Sebagai perbandingan, Singapura dengan GDP per kapita senilai 64.576 dollar AS per tahun (2018) memiliki kapasitas EBT terpasang hanya 372 megawatt. Sementara Vietnam dengan GDP per kapita 2.390 dollar AS per tahun mempu memasang 18.523 megawatt kapasitas EBT.

Pembangkit listrik tenaga air menjadi pemasok listrik jenis EBT di Vietnam yang paling besar dengan kapasitas terpasang 18.712 megawatt pada tahun 2018. Sisanya disumbang oleh PLT angin, PLT surya, dan PLT bioenergi.

Kompas/Ichwan Susanto
Petugas Chevron Geothermal Salak Ltd, Jawa Barat, Selasa (18/9/2012), sedang mengecek tekanan yang keluar dari sumur panas bumi.

EBT Indonesia

Dibanding dengan perkembangan EBT Vietnam, Indonesia masih tertinggal. Kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2018 hanya 9.485 megawatt. Adapun energi yang dihasilkan mencapai 41.314 gWh. Lebih dari separuh EBT diisi oleh energi air, bioenergi, dan panas bumi.

Dari target penggunaan EBT nasional pun, capaian Indonesia saat ini belum mencapai separuhnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah merencanakan bauran energi baru dan terbarukan di Indonesia tahun 2025 paling sedikit 23 persen dan pada 2050 sebesar 31 persen. Sementara penggunaan EBT masih 9,15 persen.

Bauran EBT sebesar 23 persen harus dikejar setidaknya dengan biaya 37 miliar dollar AS. Jika kurs rupiah terhadap dolar senilai Rp 14.000, maka total dana yang dibutuhkan sekitar Rp 518 triliun (Kompas, 10/12/2019). Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan nilai investasi pembangunan infrastruktur nasional periode 2016-2019 senilai Rp 390 triliun.

Kompas/Hendra A Setyawan
Energi panas bumi dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (15/11/2018).

Dana investasi pembangkit energi baru terbarukan secara rinci digunakan untuk membangun beberapa fasilitas. Pertama PLT Panas Bumi dengan nilai 17,45 miliar dollar AS. Kedua untuk membangun PLT Air dengan nilai investasi 14,58 miliar dollar AS.

Pembangunan PLT surya dan PLT bayu total membutuhkan dana 1,69 miliar dollar AS. Pembangkit listrik tenaga sampah menghabiskan biaya 1,6 miliar dollar AS. PLT bioenergi butuh biaya pembangunan 1,13 miliar dollar AS dan PLT hibrida menelan biaya 260 juta dollar AS.

 

Kompas/Wawan H Prabowo/Nina Susilo/Iwan Setiyawan
(1) Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) atau kebun angin pertama di Indonesia, yang berlokasi di Desa Mattirotasi, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.
(2) Presiden Joko Widodo meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, Senin (2/7/2018). PLTB dengan 30 turbin ini adalah yang terbesar di Indonesia dan mampu menghasilkan 75 megawatt. Dengan kapasitas itu, PLTB bisa menyalurkan listrik ke 140.000 rumah pelanggan di Provinsi Sulawesi Selatan.
(3) Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 megawatt ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 megawatt.

Indonesia berhasil menghimpun investasi dalam bidang EBT senilai 6,1 miliar dollar AS pada periode 2014-2018. Artinya, per tahun rata-rata investasi yang didapat di sektor EBT senilai 1,2 miliar dollar AS.

Rencana meraup 37 miliar dollar AS untuk investasi EBT periode 2020-2024 tampaknya tidak mudah. Untuk mengejar target investasi, setidaknya pemerintah harus mengumpulkan 9,25 miliar dollar AS per tahun dalam empat tahun berturut-turut. Apalagi pandemi Covid-19 menyebabkan kebijakan pemerintah berfokus pada kesehatan dan pemulihan ekonomi.

Tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan investasi EBT sebanyak 2 miliar dollar AS. Namun, target tersebut hampir tidak mungkin tercapai. Investasi EBT juga diperkirakan terhambat hingga tahun depan. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, pendanaan EBT baru benar-benar pulih pada 2022 dengan syarat pandemi tidak bertambah parah setelah kuartal II tahun 2020.

Kompas/Raditya Helabumi
Data terkait potensi investasi energi terbarukan ditampilkan saat pemaparan kinerja tahun 2017 sektor ketenagalistrikan, energi baru terbarukan, dan konservasi energi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Rabu (10/1/2017).

Meskipun terdampak Covid, masa ini menjadi momentum untuk memulai arah kebijakan energi bersih. Seperti dikatakan Direktur Aneka Energi pada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Harris St, hal ini dapat dimulai dengan upaya pemulihan ekonomi dengan memberikan stimulus ekonomi berupa investasi energi bersih.

Sesuai dengan analisis World Resources Institute (WRI), investasi pada energi bersih akan memberikan pengembalian ekonomi 3-8 kali lebih tinggi dari investasi awal. Selain itu, pada pandemi ini, ketidakstabilan harga bahan bakar fosil dapat mendorong penggunaan EBT.