Selasa (9/8/2016), Terminal 3 (Bandara Soekarno-Hatta) menjadi trending topics di linimasa Twitter. Hari itu, setelah bertahun-tahun menunggu, PT Angkasa Pura II (Persero) akhirnya mulai mengoperasikan terminal terbaru di Bandara Soekarno-Hatta.
Rindie Rini, pemilik akun @lovelyrindie, pun berkicau, ”seperti di bandara Incheon”. Bandara Incheon di Korea Selatan patut diketahui merupakan salah satu bandara terbaik di dunia. Operator bandara di Indonesia pun kerap menjalin kerja sama dengan manajemen Bandara Incheon untuk menghadirkan layanan bandara yang lebih baik.
Terminal 3 Soekarno-Hatta memang terlihat lebih segar. Setidaknya bila kini disandingkan dengan Terminal 1 dan Terminal 2 Soekarno-Hatta.
Desain Terminal 3 bergaya arsitektur modern dan minimalis. Panel langit-langitnya berhiaskan elemen geometri dengan ditopang kolom-kolom yang condong serupa dengan kolom-kolom Stadion Gelora Bung Karno yang monumental.
Pencahayaan alami dari matahari pun dimungkinkan mengalir melalui jendela-jendela kaca dengan penampang yang besar. Desain atap juga dirancang sedemikian rupa untuk ”mengalirkan” cahaya alami.
Air hujan yang ditampung oleh atap setinggi 35 meter itu didesain untuk menyiram toilet. Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dengan demikian mengadopsi konsep eco green atau ramah lingkungan. Terminal 3 akhirnya menjadi etalase Indonesia.
Ketika wisatawan mancanegara atau pebisnis asing menjejakkan kaki di Terminal 3 Ultimate, diharapkan citra Indonesia pun menjadi terdongkrak oleh terminal baru ini.
Lebih penting dari sekadar desain, Terminal 3 Ultimate mampu melayani hingga 25 juta penumpang per tahun.
Kehadiran Terminal 3 Ultimate pun langsung menggandakan kapasitas Bandara Soekarno-Hatta yang sebelumnya hanya layak untuk menampung 25 juta penumpang per tahun. Kini, Soekarno-Hatta berkapasitas 51 juta penumpang per tahun meski tahun lalu bandara tersebut melayani hingga 57 juta penumpang per tahun.
Jadi, jelas ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan untuk meningkatkan layanan dari bandara tersebut. Masih ada pekerjaan konstruksi yang harus digenjot untuk membuat Soekarno-Hatta layak disinggahi.
Sebelum pekerjaan besar dimulai, ada masukan dari para penumpang yang harus segera dipenuhi. Farida Kusumaningrum, pemilik akun @adeidha, mengatakan, ”Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 Ultimate, sinyalnya jelek”.
Ali Anshori, pemilik akun @AlianshoriPKB, juga memberikan masukan untuk penambahan papan informasi. ”Ruangan masih panas, dan apakah ada WiFi gratis?” kicaunya.
Dalam sejarahnya, Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada tahun 1995—hanya 10 tahun setelah dioperasikan—pernah diganjar dengan Aga Khan Award VI.
Penghargaan Aga Khan diberikan langsung oleh Pangeran Aga Khan dari Pakistan, yang pada hari Sabtu (25/11/1995) hadir langsung di Indonesia. Keraton Surakarta Hadiningrat dipilih khusus untuk menjadi lokasi tempat penyerahan Aga Khan Award VI—karena merupakan situs bersejarah yang terkait kehidupan Islam. Kasunanan Surakarta jelas merupakan sebuah kesultanan.
Sebelum Bandara Soekarno-Hatta, Aga Khan Award pernah diberikan bagi sejumlah situs properti di negeri ini. Di antaranya, Citra Niaga di Samarinda (1989), Kampung Kebalen di Surabaya dan Masjid Said Na’um di Tanah Abang, Jakarta (1986), Pondok Pesantren Pabelan (1980), serta Perkampungan Kali Code (1992).
Namun, penghargaan bagi Bandara Soekarno-Hatta tetap istimewa karena menjadi bangunan modern pertama di Indonesia yang mendapatkan Aga Khan Award.
Dirancang oleh arsitek Perancis, Paul Andreu, Soekarno-Hatta dinilai berhasil mengadopsi warna budaya Indonesia. Ada bentuk atap joglo dengan soko-soko guru yang tinggi besar. Kemudian, antarterminal juga diimbuhi dengan taman-taman tropis.
Mengapa Paul Andreu dipercaya mendesain Bandara Soekarno-Hatta? Mengapa bukan arsitek Friederich Silaban atau Han Awal?
Ternyata, Paul Andreu dikenal sebagai arsitek spesialis bandar udara. Andreu merancang mulai dari Bandar Udara Internasional Charles de Gaulle (Paris), Bandar Udara Orly (Paris), Bandar Udara Internasional Abu Dhabi, Bandar Udara Internasional Dubai, Bandar Udara Internasional Kairo, Bandar Udara Internasional Brunei, hingga Bandar Udara Internasional Pudong (Shanghai).
Namun, alasan utama mempekerjakan arsitek berkebangsaan Perancis ternyata karena proyek ini mendapatkan pinjaman dari Pemerintah Perancis sebesar 900 juta franc atau sekitar Rp 129,15 miliar (Kompas, 28 Oktober 1980).
Ketika dana pinjaman didapatkan dari Pemerintah Perancis, jangan heran bila lima peserta tender pembangunan Bandara Soekarno-Hatta berasal dari Perancis. Dan, pada akhirnya, tender dimenangi oleh kontraktor Seinrat Et Brice.
Uniknya, kontraktor Seinrat Et Brice dimenangkan bukan karena menawarkan biaya konstruksi paling rendah, tetapi menyetujui penggunaan teknologi cakar ayam dalam membangun terminal. Pemerintah berkepentingan mengaplikasikan teknologi cakar ayam karena itulah teknologi tepat guna dan padat karya, yang menjadi buah pemikiran anak bangsa.
Kontraktor Seinrat Et Brice juga sepakat bekerja sama dengan kontraktor nasional Waskita Karya. Dengan demikian, bahan material yang dibutuhkan dapat pula dipasok dari pabrik-pabrik di dalam negeri yang sudah diproduksi sebelumnya.
Pada awal tahun 1980-an itu, Bandara Soekarno-Hatta dibangun secara bertahap. Dibangun terminal per terminal. Ketika laju pembangunan memuncak, terdapat tidak kurang 5.500 pekerja di areal proyek.
Total biaya investasinya akhirnya mencapai Rp 600 miliar. Nilainya relatif besar karena pada tahun 1980-an biaya investasi sebuah pabrik semen besar ”hanya” sekitar Rp 90 miliar.