13 Tahun Tsunami Acehkompas

Silahkan ganti orientasi perangkat anda menjadi mode potrait

Website ini menggunakan fitur audio silahkan nyalakan speaker atau gunakan headset

13 Tahun Tsunami Aceh

Bencana itu meluluhlantakkan Aceh. Jutaan bangunan hancur, ratusan ribu orang tewas. Kini, Aceh telah pulih. Namun, Aceh yang berada di kawasan rawan tsunami, perlu mengedepankan mitigasi untuk melahirkan generasi siaga bencana.

KOMPAS/JOHNNY TG

Gulung

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Tanggal 26 Desember 2004, gempa di dasar laut bermagnitudo lebih dari 9 terjadi di lepas pantai barat Sumatera, memicu tsunami yang menghantam pesisir barat Aceh, Sumatera Utara, dan sejumlah pesisir negara lain, menghancurkan apa pun yang diterjangnya.

Kampung, desa, kota, rata dengan tanah. Jutaan rumah dan gedung hancur.

KOMPAS/EDDY HASBY

Sedikitnya 160.000 warga Aceh tewas. Totalnya, 230.000 orang tewas di 21 negara.

KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO

Aceh luluh lantak. Sekitar 1,3 juta rumah dan gedung, 120 kilometer jalan, 18 jembatan, dan 57.000 hektar sawah hancur. Namun, di balik bencana, ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Sebelum tsunami, terjadi pergolakan bersenjata di Aceh yang berlangsung lebih tiga dekade. Perdamaian tercipta selepas bencana, menjadi salah satu faktor mulusnya rekonstruksi Aceh.

Hanya beberapa saat setelah bencana, Aceh mulai berusaha memulihkan diri dari kehancuran total yang menyebabkan kerugian hingga sekitar Rp 42,7 triliun itu. Dengan dana bantuan pemerintah dan bantuan internasional senilai lebih 10,3 miliar dollar AS, rekonstruksi dilakukan.

Kini 13 tahun kemudian, Aceh telah bangkit. Nyaris tidak terlihat lagi jejak kehancuran akibat gempa dan gelombang raksasa itu, kecuali berdirinya museum tsunami dan kuburan massal ratusan ribu korban yang menjadi saksi bisu kedahsyatan bencana itu. Jalan yang rusak kembali mulus. Jembatan yang hanyut telah membentang lagi. Bangunan yang hancur berdiri kembali.

My default image My default image

KOMPAS/AGUS SUSANTO - ZULKARNAINISaat tsunami terjadi banyak orang menyelamatkan diri ke Masjid Raya Baiturrahman di pusat Kota Banda Aceh yang minim kerusakan. Masjid yang dibangun pada 1612 Masehi itu kini sudah didandan dengan memperluas halaman, tempat parkir, dan penambahan tempat wudu.

Kawasan yang dulu lumpuh terkena bencana, kini ramai kembali. Pasar yang dulunya hancur berantakan, kini disibukkan lagi dengan aktivitas perdagangan.

My default image My default image

KOMPAS/AGUS SUSANTO - ZULKARNAINIPasar Atjeh terletak di sisi kanan Masjid Raya Baiturrahman. Tsunami meluluhlantakkan pasar itu. Kini, aktivitas perdagangan di Pasar Atjeh sangat sibuk. Namun, jalur evakuasi minim. Lapak pedagang yang semrawut akan memicu masalah saat evakuasi warga.

Di situlah masalahnya. Apakah pembangunan kembali Aceh melupakan bahwa mereka berada di kawasan rawan bencana? Bagaimana seandainya tsunami kembali menerjang, bagaimana kesiapan menghadapinya?

My default image My default image

KOMPAS/AGUS SUSANTO - ZULKARNAINIKawasan Jalan Ahmad Dahlan, Banda Aceh, mengalami kerusakan parah. Usai tsunami, kawasan tersebut kembali tumbuh menjadi pusat perdagangan. Bahkan kesibukan aktivitas perdagangan lebih ramai dibandingkan sebelum tsunami.

Bencana tsunami terbesar dalam sejarah modern itu harus menjadi pelajaran. Museum Tsunami Aceh dan kuburan massal korban seharusnya menjadi pengingat bahwa Aceh dan juga negara ini berdiri di kawasan rawan bencana. Semua harus bersiaga menghadapinya.

Rumah dan bangunan tumbuh subur di kawasan bekas bencana tsunami.

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Kuburan massal korban harusnya jadi pengingat agar pembangunan mengedepankan mitigasi bencana.

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Kerabat Kerja

Penulis: Zulkarnaini, Prasetyo Eko Prihananto | Fotografer: Zulkarnaini, Agus Sutanto, Johnny TG, Adrian Fajriansyah, Lasti Kurnia, Eddy Hasby, Yuniadhi Agung, Prasetyo Eko Prihananto | Videografik: Septa Inigopatria, Pietter Buyung | Penyelaras Bahasa: Priskilia Sitompul | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Vandi Vicario, Reza Fikri Aulia | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.