”Tuinstad”, Kerinduan dan Pertaruhan Hidup

Taman-taman dan lapangan di Kota Bandung, Jawa Barat, mulai bermunculan setidaknya sejak akhir abad ke-19. Keberadaannya menjadi ruang publik hingga pertaruhan hidup manusia di perantauan. Sebagian jejaknya hilang, tetapi masih banyak yang tetap bertahan di tengah perkembangan kota.

Awalnya Bandung hanya desa kecil di pegunungan. Imbas letusan Gunung Gede yang melanda Cianjur—dulu ibu kota Priangan—hingga suksesnya perkebunan teh yang memicu banyak orang kaya baru, membuat Bandung lari kencang menjadi salah satu kota terpandang di Hindia Belanda.

 

KITLV
Societeit Corcordia di Bandung, Jawa Barat, sekitar tahun 1905

Pembangunan jalan raya dan pembangunan rel kereta api hingga tempat hiburan, seperti Societeit Concordia yang ternama, membuat semangat penataan kota ikut berkembang hingga akhirnya mendapat status gementee atau kotapraja mandiri tahun 1906.

Pada masa itu, keramaian Bandung tidak bisa dibendung lagi. Pada 1899, jumlah penduduk pribumi sebanyak 16.424 orang dan warga Eropa tercatat 399 orang. Tahun 1905 atau hanya enam tahun kemudian jumlah penduduknya melonjak. Ada 41.400 orang pribumi dan 2.200 orang Eropa di Kota Bandung.

Warga Eropa biasanya bekerja sebagai petinggi perkebunan dan pemerintahan. Sementara warga pribumi mengisi sektor pekerja di berbagai bidang, baik perkebunan maupun pembangunan infrastruktur.

 

KITLV
Keluarga Eropa sedang minum teh di rumah di Bandoeng, Jawa Barat, sekitar tahun 1939