Mengingat Kembali Bahasa Daerah di Hari Sumpah Pemuda

Bahasa Indonesia terbilang sukses mempersatukan sebuah komunitas terbayang (imagined community) yang dinamai Indonesia. Ketika Sumpah Pemuda ditegakkan pada 28 Oktober 1928, tiga cita-cita besar ditabalkan. Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia. Ketika itu, sentimen kedaerahan masih begitu kuatnya. Dorongan bersatu kemudian mengerucut pada kebulatan tekad menjadikan bahasa Indonesia sebagai pintu masuk pemersatu kemajemukan bangsa.

Meski begitu, bahasa daerah yang memberi corak identitas kemajemukan negeri kita selayaknya tetap terawat dan dihidupi. Dari 300an etnis di Indonesia terdapat 749 bahasa daerah. Indonesia merupakan negara kedua di dunia dengan bahasa daerah terbanyak setelah Papua Nugini di posisi pertama. Di hari Sumpah Pemuda kali ini, waktunya kita mengingat dan menguji pengetahuan kita akan aneka bahasa daerah di Tanah Air. Yuk, ikuti kuis berikut ini:

Syarat dan Ketentuan

  1. Mainkan kuis dalam Tutur Visual edisi Sumpah Pemuda ini.
  2. Bagikan foto aktivitas saat Anda menjawab pertanyaan Tutur Visual, unggah di Twitter atau Instagram Post dengan mention @hariankompas dan tagar #KabarBaikMenyatukan.
  3. Tulis dalam takarir (caption), pengalaman pribadi Anda tentang penggunaan bahasa daerah.
  4. Sebagai bentuk apresiasi, tim harian Kompas akan memilih total 10 pengirim dengan takarir (caption) menarik bagi Anda yang mengunggah cerita di Instagram Post atau Twitter. Setiap pengirim karya terpilih tersebut mendapatkan voucer uang elektronik senilai Rp 250.000 dan suvenir Kompas.
  5. Pastikan akun Instagram dan Twitter Anda tidak dalam mode privat.
  6. Isi unggahan tidak boleh mengandung unsur SARA
  7. Periode pengiriman: 28 Oktober-4 November 2021.
  8. Pengumuman akan dipublikasikan di harian Kompas edisi 16 November 2021.
  9. Pihak harian Kompas berhak menggunakan kiriman foto yang diterima untuk dipublikasikan kembali di lembar koran Kompas.
  10. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

Sejarah selama ini mencatat, tanggal 28 Oktober 1928 tersebut sebagai “terbentuknya” atau lahirnya Bahasa Indonesia. Meski demikian, sebenarnya bisa jadi hal itu kurang tepat. Menurut tokoh linguistik Indonesia, Harimurti Kridalaksana dalam bukunya Masa-masa Awal Bahasa Indonesia (2018), hari kelahiran Bahasa Indonesia seharusnya ditetapkan pada 2 Mei 1926 ketika tokoh bangsa M Tabrani menyatakan bahasa bangsa Indonesia haruslah Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Melayu. Baru kemudian pada 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia diterima menjadi bahasa persatuan. 

Setelah 93 tahun sejak pernyataan diterimanya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia berkembang amat pesat dan berterima di berbagai daerah. Kesuksesan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan RI dalam perkembangannya mewujudkan paradoks yang kelabu.

Kompas/Rony Ariyanto Nugroho
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menggelar aksi dengan membawa poster yang berarti “Jangan Malu Berbicara Menggunakan Bahasa Sunda” saat Peringatan Hari Bahasa Ibu di tepi Jalan Diponegoro, Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/2/2012). Ajakan ini ditujukan untuk generasi muda agar tidak melupakan dan tetap melestarikan bahasa daerah, seperti Bahasa Sunda.

Pada satu sisi, bahasa Indonesia sukses dikuasai cukup merata oleh penduduk RI, namun di sisi lain bahasa daerah di negeri ini kini jadi terancam punah. Padahal, bahasa daerah merupakan aset dan elemen pembentuk kebudayaan yang amat penting bagi wajah kemajemukan bangsa Indonesia. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bisa menjadi semboyan hampa ketika unsur “kebhinekaan” dari segi bahasa (daerah) tidak dirawat dan dipertahankan. 

Menurut ahli bahasa dari LIPI Fanny Henry Tondo, bahasa-bahasa daerah di Indonesia terancam punah akibat dari jumlah penuturnya yang terus menyusut drastis. Bahasa daerah dianggap tidak se-bergengsi bahasa nasional. Salah satu penyebab yang menonjol adalah transfer bahasa antargenerasi tidak maksimal. Misalnya, para orangtua yang menguasai suatu bahasa daerah memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka. 

Selain dipraktikkan secara lisan dalam kehidupan sehari-hari, perkembangan bahasa daerah tampak pada produk media cetak dan karya sastra. Akan tetapi, produk-produk tersebut tak bertahan lama karena sedikit peminat dan kehabisan modal. Sejak tahun 1989, upaya memajukan kehidupan bahasa daerah dilakukan sastrawan Ajip Rosidi melalui oleh Yayasan Kebudayaan Rancage dengan memberikan penghargaan tahunan karya sastra daerah. Semula apresiasi ini diberikan untuk sastrawan Sunda. Selanjutnya, diberikan untuk sastrawan Jawa mulai tahun 1994. Kemudian bertahap di tahun 1998 untuk sastra Bali, Lampung (2008), Batak (2015), Banjar (2017), dan sastra Madura (2020).

Penghargaan tersebut diharapkan bisa melestarikan bahasa daerah yang merupakan aset kebudayaan Nusantara. Selama ini, kedudukan bahasa daerah masih berada pada kurikulum lokal dan sepenuhnya diserahkan pada pemerintah daerah. Sejatinya, bahasa daerah berperan penting untuk menggali kearifan lokal yang dapat memperkuat kebudayaan nasional, seperti dikatakan Erry Riyana Hardjapamekas, ketua Dewan Pembina Yayasan Sastra Rancage dalam sambutannya di Anugerah Sastra Rancage (ASR) 2021.

Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, dalam perkembangannya,  banyak sekali istilah dari bahasa daerah yang diserap menjadi bahasa Indonesia. Pada tingkat yang lebih kompleks, bahasa daerah menjadi pertimbangan dalam menentukan tata bahasa. Bahasa daerah didorong agar tetap lestari dengan menghidupkan kembali konteks bahasa daerah, antara lain mendorong masyarakat menggunakan bahasa daerah untuk berbagai keperluan.

Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Mahasiswa dengan latar belakang dari berbagai daerah menampilkan kesenian nusantara dalam memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional 2017 di Balairung Universitas IKIP Negeri Semarang,Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (21/2/2017). Acara tersebut merupakan bagian dari usaha untuk merevitalisasi bahasa daerah sebagai aset budaya bangsa.

Fungsi bahasa tak hanya sebagai alat komunikasi, tapi juga membentuk bayangan tentang dunia. Tak mudah untuk membayangkan perkembangan kebudayaan tanpa akses terhadap bahasa. Misalnya, untuk memahami kisah suatu daerah di masa lalu, bahasa daerah menjadi jembatan yang menghubungkan proses komunikasi. Cerita dari masyarakat penutur lokal akan memudahkan dalam penyusunan kepingan kisah.