Warisan Budaya Agraris Jaga Lumbung Padi Karawang

Sektor pertanian tetap berdiri tegak saat raksasa industri di Karawang ambruk dihajar pandemi Covid-19. Sudah saatnya pertanian kembali dilirik untuk memberikan kesejahteraan kepada orang-orang di sekitarnya.

Perjuangan Karawang menjaga titel sebagai salah satu lumbung padi nasional bisa jadi  tidak akan mudah. Regenerasi jadi pekerjaan utama saat sebagian besar petaninya semakin tua. Padahal, saat pandemi, ketangguhannya sudah teruji. Sektor ini memberi pengharapan di tengah meredupnya warna-warni industri. Kesetiaan sejumlah orang menjaga budaya penopangnya diharapkan ikut menyuburkan minat itu.

Di Karawang, sekitar 54 persen dari total wilayah berupa lahan persawahan. Berdasarkan data Dinas Pertanian Karawang, kabupaten ini memiliki sawah seluas 95.287 hektar dengan produktivitas rata-rata pada 2019 mencapai 7,3 ton per hektar. Karawang pun memproduksi 1,21 juta ton gabah kering panen (GKP) tahun 2018 dan meningkat menjadi 1,39 juta ton GKP tahun 2019.

Dengan potensi itu, sektor pertanian dan perikanan berkontribusi 3,95 persen terhadap produk domestik regional bruto. Hanya saja, jumlah itu terbilang minim apabila dibandingkan dengan sektor industri. Industri pengolahan bahkan berkontribusi hingga 70,72 persen. Nilai ekonomi yang masih terbatas itu yang membuat pertanian tidak diminati.

Akan tetapi, pandemi Covid-19 mengubah semuanya. Banyak raksasa industri terlihat ringkih. Banyak pabrik mengurangi jumlah karyawan dengan tidak memperpanjang kontrak kerja lagi. Berkurangnya pemasukan ini berdampak pula pada pemeriksaan kesehatan karyawan. Banyak pelaku usaha enggan terbuka melaporkan kemunculan kasus karena berbagai hal. Salah satunya keterbatasan anggaran.

Keterlambatan itu memicu lonjakan kasus Covid-19 di kalangan industri tidak terkendali. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Karawang mencatat lebih dari 3.000 karyawan terpapar Covid-19. Jumlah ini belum ditambah dengan jumlah keluarga atau tetangga yang ikut terpapar.

Di tengah kesulitan yang dihadapi industri, ternyata sektor pertanian tetap berjaya. Pertanian hortikultura di Jabar meningkat 7,64 persen year on year (YOY). Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat Dadan Hidayat menambahkan, Jabar menjadi salah satu sentra produksi pangan nasional dan menjadi sektor yang dapat menyelamatkan perekonomian di tengah pandemi (Kompas, 1/9/2020).

Meski begitu, minat anak muda masih lemah. Profesi petani masih dipandang kampungan. Tidak ada data khusus di Karawang. Namun, berdasarkan data BPS, pada 2017, hanya 21,95 persen anak muda Indonesia yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Artinya, hanya satu dari lima anak muda di Indonesia yang bekerja di sektor ini. Persentase ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2015. Saat itu, 25,78 persen anak muda di Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan minat anak muda di Indonesia untuk bekerja sebagai petani setiap tahunnya (Kompas, 11 Juli 2019).

Nyalin

Keprihatinan itu ditangkap Abah Herman (60), petani generasi keempat di Desa Dukuhkarya, Kecamatan Rengasdengklok, Karawang. Dia masih setia menjaga tradisi lawas. Salah satunya, mengadakan upacara adat nyalin (ngala indung pare) atau mengganti benih tanaman untuk musim selanjutnya dengan memilih bulir terbaik.

Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak buyutnya. Tujuannya menghormati padi yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci. Dalam kehidupan masyarakat Sunda, Nyi Pohaci lekat sekali dengan asal mula padi hingga pemberi kesuburan tanaman. Tidak hanya mengucap syukur, Herman menggelar acara itu untuk memperkenalkan anak muda terhadap budaya agraris.

Kompas mengikuti nyalin pada Oktober 2019. Saat itu, puluhan hektar sawah milik Herman menguning bagai karpet emas. Semuanya jadi tanda tanaman padi siap dipanen. Di tengah-tengah hamparan padi berumur sekitar 90 hari, para petani dan warga segala usia bersukaria mengikuti nyalin sambil diiringi alunan musik Sunda.

Sebelum dimulai, pemangku adat dan sesepuh berdoa. Ketika kidung nyalin dilantunkan, pemangku dan sejumlah anak muda pun berkeliling ke tengah sawah sambil menari. Gerakan mereka menunjukkan beberapa cara mengolah pertanian. Mulai dari menabur pupuk, ngirik (merontokkan butir padi dari tangkai), nutu (menumbuk butir padi), dan napi (memisahkan kotoran yang terdapat dalam beras). Sebagian petani menggunakan etem (ani-ani) untuk memotong padi. Mereka pun memilih indukan padi terbaik untuk dikumpulkan dan didoakan dalam upacara tersebut.

Bulir terbaik dipilih para petani dengan melihat penampakan fisik yang berwarna kuning, utuh, dan batang tanpa hama. Benih yang baik diharapkan tumbuh menjadi tanaman padi yang sehat dan menghasilkan gabah banyak. Seiring perkembangan teknologi, gerakan ngirik, nutu, dan napi yang dilakukan petani menjadi inspirasi alat mesin modern pengolah pertanian. Kehadiran alat ini memberi alternatif dalam upaya peningkatkan produksi gabah dan menambah nilai jual.

Dikutip dari Jurnal Enjiniring Pertanian tentang ”Analisis Model Pengolahan Padi” yang dilakukan oleh Sigit Nugraha, et al, pada 2007, disebutkan, pemanenan dan perontokan menggunakan mesin perontok bisa menekan kehilangan hasil gabah sebesar 5,56 persen. Jika dibandingkan dengan perontokan padi cara gebot (merontokkan padi dengan membantingnya ke rak bambu dan kayu) kehilangan hasilnya mencapai 9,97 persen.

Dari segi kualitas gabah yang dihasilkan juga terjadi perbaikan kualitas gabah hasil panen, yakni penggunaan mesin perontok dapat meningkatkan persentase gabah isi dari 94,8 persen menjadi 97,9 persen. Selain itu, pemangku adat juga memerciki tanaman padi siap panen dengan air dan beras dalam upacara. Air yang telah didoakan diyakini membawa kesuburan bagi tanaman padi.

Bersamaan dengan itu, ritual meuncit jeung ngubur hulu domba (memotong dan mengubur kepala domba) juga dilakukan. Domba diibaratkan sebagai aset kekayaan atau barang berharga para petani. Pada zaman dulu, setiap habis panen, biasanya petani membeli domba. Kepala yang dikubur merupakan simbol keselamatan dan agar dijauhkan dari sifat buruk atau tolak bala. Selama prosesi berlangsung, Herman membacakan doa-doa yang ia hapalkan sejak zaman dulu. ”Doa-doa ini adalah peninggalan dari leluhur. Kami berharap agar diberi kemudahan dalam bertanam padi dan mendapatkan hasil yang melimpah,” ujarnya.

Kalagumarang

Bagi semua petani, musim panen merupakan hal yang paling dinantikan. Setiap butir gabah yang dihasilkan merupakan hasil kerja keras mereka dalam menjaga tanaman padi. Akan tetapi, harapan panen melimpah harus diawali pula dengan tradisi yang tak kalah penting.

Tradisi tersebut bernama kalagumarang atau gotong royong membasmi tikus bersama-sama. Perburuan menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh para petani di Karawang, khususnya sebelum mengolah sawah untuk ditanami. Hingga kini, tradisi yang berjalan sejak tahun 1980 itu masih dilestarikan.

Kalagumarang erat kaitannya dengan legenda Dewi Sri, pelindung tanaman pangan. Alkisah, kalagumarang disimbolkan sebagai hama tikus, rumput liar, dan sapi hutan. Diyakini, nafsu besar kalagumarang sangat mengancam kehidupan Dewi Sri karena itu harus dibasmi. Perkembangbiakan tikus sangat pesat saat memasuki musim gadu atau kemarau yang sangat kering. Jika tidak diburu massal, tikus dapat menghabiskan tanaman padi yang siap panen dalam semalam.

Pertengahan Juli 2019, sejumlah petani di Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya, Karawang, melakukan kalagumarang. Target mereka tikus-tikus yang bersembunyi di lubang pematang sawah. Alatnya sederhana, ranting pohon, sebilah bambu, selang panjang, dan pompa air. Tak boleh disepelekan, hasil yang didapat memuaskan. Baru 2 jam berburu, sudah hampir satu karung atau sekitar 200 tikus.

Sorot mata Usman (37), petani desa Ciranggon, begitu tajam memperhatikan lubang-lubang yang diyakini sebagai rumah tikus. Setiap kali air dari selang disemprotkan, tikus-tikus itu loncat keluar dari lubang dan berlari cepat untuk menghindari tongkat petani. Tak kalah gesit dengan tikus, Usman dan petani lainnya sigap mengayunkan tongkat kayu. Ketika ada tikus yang tercebur di saluran irigasi tersier, sontak para petani berlomba untuk menghantam tikus di saluran. Cipratan air dan lumpur pun menghiasi pakaian dan wajah mereka.

Tradisi ini sekaligus membuat petani guyub. Ada petani yang bertugas menyiramkan air dari selang ke dinding pembatas saluran irigasi yang terbuat dari tanah. Petani lain bersiap memukul tikus yang keluar dari lubang-lubang itu. Kemudian ada petani yang bertugas menangkap hasil buruan. Sesekali mereka melontarkan sumpah serapah ketika gagal memukul tikus. Trauma gagal panen akibat dilahap tikus pada 2017 masih membayangi. Ada sekitar 50 hektar lahan yang terserang. Hasil panen pun anjlok karena dimakan tikus.

Idealnya 1 hektar sawah menghasilkan 5-7 ton gabah. Saat diserang tikus, sawah hanya mampu produksi 1-2 ton gabah. Mereka merugi hingga Rp 15 juta per hektar. Tidak ingin pengalaman itu terulang kembali, para petani berinisiatif melakukan pembasmian secara serentak di lahan mereka. Terlebih, menurut Ketua Kelompok Tani Tirta Berkah Desa Ciranggon Asep Saepudin, jumlah tikus di musim gadu atau kemarau tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu. Pada periode yang sama di tahun 2018, hama yang menyerang tanaman padi didominasi wereng coklat dan penggerek batang. Meski demikian, mereka tetap bisa panen.

”Tikus bekerja dalam diam di malam hari. Mereka bisa menghabiskan bulir panenan padi yang siap panen dalam waktu semalam saja. Bayangkan jika puluhan tikus yang bersembunyi itu tidak segera dibasmi, pada puncak panen jumlah mereka akan semakin banyak,” kata Asep.

Keberadaan tikus di sawah memang tidak terlihat langsung. Biasanya para petani rutin mengecek lubang dan gundukan pematang sawah. Berbagai upaya dilakukan Komir (52) untuk mencegah produktivitas menurun karena tikus. Ia menggunakan metode pengasapan di lahan seluar 1 hektar miliknya. Setiap bulan dia rutin melakukannya. Hasilnya, setidaknya 10 tikus berhasil ia dapatkan.

Berburu tikus dinilai lebih efektif dibandingkan dengan sekadar memasang racun tikus pada sudut-sudut pematang sawah. Selain karena harga racun tikus yang relatif tinggi, tikus yang mati di dalam lubang diyakini berdampak pada kesuburan tanah. Cara alami diyakini berdampak baik pada perkembangbiakan mikroorganisme yang membantu menyuburkan tanah di sawah sehingga tanaman padi juga tumbuh subur.

Pengamat budaya Karawang, Asep Sundapura, menilai, tradisi agraris itu menunjukkan budaya kerja sama yang ada sejak zaman dulu masih mengakar hingga sekarang. Di desa, mayoritas masyarakat bermata pencarian sebagai petani karena itu tak ada sekat satu sama lain. Saat musim tanam ataupun panen, semua orang saling membantu. Bentuk kerja sama ini tidak ada kompensasi dan ketentuan yang mengikat.

Mereka sukarela karena bagi mereka bertani tidak hanya meraup keuntungan. Semua tradisi mempunyai arti penting dalam kehidupan petani, sebagai pemersatu dan menjalin ikatan emosi yang baik di antara mereka. Dengan demikian, suasana kekeluargaan dan keakraban sangat terasa. Saat semuanya berbuah hasil panen yang ideal, beragam perayaan dilakukan untuk mensyukurinya.

Goyang karawang

Salah satu perayaan dilakukan lewat kesenian goyang karawang. Menurut Asep, kesenian ini berbeda dengan daerah lain di wilayah Jawa Barat karena dipengaruhi oleh pola hidup, profesi, dan lingkungan dengan ekosistem agraris. Warga hidup sederhana, terbuka, dan ekspresinya jujur, serta apa adanya. Kehidupan agraris tidak memungkinkan mereka memiliki potensi dan waktu untuk memikirkan kehidupan sosial politik yang kompleks ataupun memikirkan kreasi seni yang rumit.

”Masyarakat pertanian di Karawang membutuhkan hiburan, terlebih saat musim panen. Mereka menari untuk kesenangan hidup mereka setelah seharian lelah di sawah. Permintaan hiburan makin ramai, maka lahirlah kelompok-kelompok seni dan para penarinya yang disebut ronggeng,” tutur Asep.

Akan tetapi, goyang karawang tidak lepas dari stigma. Keberadaannya acap kali diidentikkan dengan tarian bernuansa erotis dalam masyarakat. Pandangan itu muncul karena sebagian kalangan di daerah pantura mengeksploitasi goyangan pinggul sensual saat berkarya di atas panggung.

Budayawan Karawang, H Herman El Fauzan, menyebutkan, asal-muasal goyang karawang memiliki berbagai persepsi yang berkembang di masyarakat. Sebab, tak ada yang tahu sejak kapan dan siapa yang menyebarkannya. Goyang karawang dinilainya berbeda dengan jaipong. Ada perpaduan gerakan dari berbagai seni yang melebur di dalamnya.

”Ciri khas goyang karawang terletak pada gerakan pinggul (gerak ke kiri dan ke kanan). Gerakan ini bisa terinspirasi dari cara kerja mengolah hasil pertanian dan kesenian yang dilakukan leluhur sejak zaman dulu,” ujarnya.

Kenangan tradisi kesenian ini terdapat dalam penggalan lirik lagu ”Goyang Karawang” karangan Bobby S dan Muchtar B.

”Kalau ingat akang ke tanah Sunda, jangan lupa kang Kota Karawang.
Kota sejarah dan perjuangan, punya tradisi goyang karawang.
Dari dahulu sehingga sekarang, goyang karawang tetap disenang…”.

Meskipun tidak dijabarkan secara detail tradisi yang dimaksud, lagu yang dipopulerkan Lilis Karlina di tahun 1990-an ini seolah menggambarkan Karawang bukan hanya sebagai kota sejarah dan lumbung padi. Karawang juga  memiliki kesenian khas. Kini, tradisi ini dirayakan juga oleh Pemerintah Kabupaten Karawang sejak tahun 2018. Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana mengajak masyarakat melestarikan kesenian ini melalui acara Festival Goyang Karawang.

Makna ”goyang” dihubungkan Cellica sebagai gerakan untuk percepatan pembangunan dan penyuguhan seni serta budaya asli Karawang. Lewat tarian ini, Cellica ingin menyatukan persepsi dan mengajak seluruh elemen bergerak serta maju bersama untuk pembangunan Karawang. Pergelaran festival kedua kalinya diadakan pada 2019. Koreografi Festival Goyang Karawang kala itu diciptakan Agus Gandamanah. Sekilas goyang karawang tak jauh berbeda dengan jaipong. Namun, jika dilihat lebih lekat, goyang karawang berfokus pada pinggul dan nuansa kedut (silat). Sementara jaipong mengandalkan olah tubuh keseluruhan.

Agus memadukan unsur-unsur tradisional dan modern di dalamnya. Adapun tujuan lainnya adalah mengajak kaum muda agar mencintai tari seni tradisional. Setiap gerakan yang tercipta tidak serta-merta lahir. Demi keindahan, Agus pun tidak menghilangkan esensi gaya geol, gitek, dan goyang, serta silat.

Lebih dari 17.000 orang terlibat sebagai penari dalam Festival Goyang Karawang 2019 di Lapangan Galuh Mas, Karawang, di akhir September. Pesertanya dari anak-anak hingga orang dewasa. Sebulan sebelumnya mereka telah berlatih lewat video yang disebarkan secara daring dan bergabung dengan beberapa kelompok latihan. Kostum setiap kelompok cukup beragam dan warna-warni. Selendang dikalungkan di leher sebagai aksesori, tak ada perbedaan pola bagi penari pria ataupun wanita. Semua tampak riang bergoyang. Antusiasme mereka dalam bergoyang tampak tinggi saat alunan musik mulai dialunkan.

Puncak acara festival ditutup oleh penampilan penyanyi Lilis Karlina yang membawakan lagu ”Goyang Karawang” saat malam hari. Kegiatan ini juga mendapatkan apresiasi dari Museum Rekor Dunia Indonesia dengan jumlah penari terbanyak untuk kesenian goyang karawang, yakni 17.857 penari yang berpartisipasi. Mungkin, upaya menjaga budaya itu tidak akan dengan cepat mengembalikan gairah pertanian di Karawang. Semua butuh waktu setelah sekian lama tenggelam. Hal itu juga yang menjadi semangat Dede Kurniawan (25) mempromosikan usaha tani kepada kawan-kawannya.

Sejak 2015, petani asal Desa Muara, Kecamatan Cilamaya Wetan, ini punya mimpi besar sejahtera dari bertani. Kini, lulusan Jurusan Agroteknologi Universitas Singaperbangsa, Karawang, itu tengah fokus menanam buah melon varietas rock F1. Hasilnya, puluhan juta per bulan. Dede pernah bekerja di industri sebagai sales pupuk ke para petani. Namun, tak bertahan lama. Ia justru tertarik untuk menjadi petani. Menurut dia, ilmu yang didapatkan selama kuliah tetap bermanfaat untuk mengolah sawah dan meningkatkan produksi. Pengetahuan itu tak digenggamnya sendiri, tetapi juga dibagikan kepada petani lainnya secara cuma-cuma.

KOMPAS/MELATI MEWANGI
Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana (tengah,depan) ikut menari dalam puncak acara Festival Goyang Karawang, di Lapangan Galuh Mas, Karawang, Jawa Barat, Jumat (27/9/2019). Kegiatan ini diharapkan bukan hanya sebagai festival, melainkan juga memperkuat jati diri Karawang sebagai lumbung padi, kota sejarah, dan kota industri.

Beberapa kali, Dede mengajak teman-temannya untuk bertani. Rupanya tidak semua menyambut baik niat tersebut. Stigma menjadi petani dan menggarap sawah yang berlumpur begitu melekat kuat. Saat banyak orang kehilangan pekerjaan selama pandemi, Dede justru merasakan sektor yang dia tekuni baik-baik saja, semua berjalan seperti saat sebelumnya.

Ke depan, keberlangsungan tradisi agraris ini membutuhkan keterlibatan generasi muda. Sebab, tradisi ini bukan hanya formalitas, melainkan juga suatu upaya untuk menjaga alam dan meningkatkan mutu hasil panen. Lebih dari itu, ada harapan, ucapan syukur, dan kebersamaan yang dipupuk agar produksi gabah kian melimpah dan tetap berlanjut pada masa-masa mendatang.