Benteng Belanda

(Jejak) Belanda Tidak Hanya Ada di Jakarta!

Kekejaman kolonial Belanda menjadi ingatan kolektif rakyat Indonesia. Keberadaan benteng-benteng di Maluku, Jawa Tengah, dan Sumatera menjadi saksi sejati kekejaman pemburu kapital dan kuasa, sekaligus fakta bukan hanya orang Jakarta saja yang melihat Belanda dari dekat.

Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Foto ini diolah digital oleh Toto Sihono

Kekejaman kolonial Belanda menjadi ingatan kolektif rakyat Indonesia. Keberadaan benteng-benteng Belanda di Maluku, di pedalaman Mataram di Jawa Tengah, di Banten, hingga di Sumatera menjadi saksi bisu kekejaman Belanda. Faktanya, bukan hanya orang Jakarta yang melihat Belanda dari dekat.

Titik awal kekejaman Kompeni Belanda terjadi di Fort Oranje atau Malayu di Pulau Ternate, Maluku Utara. Kini, sosok Benteng Oranje itu masih dapat disaksikan dengan jelas di pusat Kota Ternate.

Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) pun mencatat, benteng yang didirikan tahun 1607 itu menjadi ”ibu kota” Belanda di Nusantara. Ketika Pieter Both menjadi Gubernur Hindia Belanda yang membawahi wilayah dari Afrika Selatan hingga Nagasaki, Jepang, hampir sepertiga lingkar bola dunia dikendalikan dari Fort Oranje.

KOMPAS/ANTONY LEE

Benteng Oranje di Kota Ternate, Maluku Utara akhir November 2016 lalu. Benteng yang dibangun VOC tahun 1607 sebagai konsesi VOC dengan janji akan membantu mengusir Spanyol dari Kesultanan Ternate.

Tahun 1610-1619, benteng itu juga menjadi kantor pusat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Nusantara. Ketika JP Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal ke-4 VOC, dia memindahkan pusat operasional VOC ke Batavia pada tahun 1619.

Meski demikian, Fort Oranje tetap menjadi simbol perebutan rempah, komoditas strategis tahun 1500-1700-an. Perebutan perdagangan rempah bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Apalagi, ketika itu, 1 ons rempah nilainya setara dengan 1 ons emas.

Begitu berharganya rempah membuat sastrawan Inggris, William Shakespeare, mencermati bertambahnya kekayaan saudagar di Eropa dalam Merchant of Venice. Para saudagar Venesia, kata Shakespeare, menjadi kaya raya karena memonopoli perdagangan rempah yang mereka peroleh dari para pedagang Arab yang berlayar ke Nusantara.

NOVAN NUGRAHADI

Warga Ternate dan Tidore juga menjadi korban kekejaman kolonialisme, sejak era Portugis hingga Belanda.

Willard A Hanna, sejarawan Amerika Serikat, dalam buku Indonesian Banda: Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands (1978), di sisi lain, justru mencatat pembantaian demi pembantaian untuk menguasai perdagangan rempah pala dan cengkeh. Bahkan, penduduk Pulau Banda sempat dibasmi samurai Jepang yang disewa VOC.

Sebelumnya, di Banda, VOC membangun Benteng Belgica. Dibangun pada tahun 1611, juga atas perintah Gubernur Jenderal Pieter Both, benteng itu didirikan untuk menaklukan warga Banda yang sejak awal memang terus memberontak.

Sebagaimana benteng lain, Belgica berulang kali dirobohkan dan dibangun ulang. Tahun 1669 misalnya, atas perintah Gubernur Jenderal Cornelis Speelman, Belgica dibangun kembali dengan Adriaan de Leeuw, sebagai arsitek yang mendesainnya.

Berbekal desain tapak gedung segi lima, Benteng Belgica pun memukau dari sisi arsitektur sehingga kini dijuluki sebagai “The Pentagon of Indonesia” karena mirip gedung Pentagon di Amerika Serikat. Menengok benteng itu pun tidak sulit, tidak perlu ke pelosok. Tidak perlu bersusah payah karena letaknya di dekat permukiman di Banda Neira.

Di tahun 1600-an itu, warga Banda jelas sudah melihat penjajah Belanda dari dekat!

Mulai interaksi

Hentikan interaksi

PANDU LAZUARDY

Menelusuri Benteng Belgica yang menjadi saksi kekejaman Belanda di Banda Neira, Maluku. Klik pada ikon penunjuk arah untuk menjelajahi benteng.

Demi menguasai rempah, VOC kemudian menyerang Makassar. Fort Rotterdam, yang menempati lokasi yang semula benteng Kerajaan Gowa, diperkuat pada tahun 1673. Setelah perjanjian Bungaya, VOC semakin menguasai Makassar dan wilayah sekitar. Banyak bangsawan Makassar menyingkir dan menjadi serdadu bayaran di mancanegara, seperti di Siam hingga Malaya.

Pola kekejaman itu dilanjutkan di Banten. Tadinya, Pelabuhan Karangantu ramai dengan pedagang China, Gujarat, Abyssinia, Jepang, Portugis, hingga Turki. Namun kemudian, Kompeni Belanda ”menutup” Banten terutama demi penguasaan perdagangan lada dan berbagai komoditas.

Tahun 1682, Kompeni Belanda pun mendirikan Benteng Speelwijk dengan Lucas Cardeel sebagai arsitek perancang benteng. Banten juga akhirnya tenggelam di bawah bayang-bayang Batavia dan pertikaian internal Kesultanan Banten.

Banten juga makin meredup pada era Daendels (1808-1811). Banten akhirnya dikenal dunia lewat novel Max Havelaar karya Multatuli yang mengisahkan pengisapan elite lokal atas rakyat jelata. Wajah pemerintah kolonial Hindia Belanda di penghujung tahun 1800-an itu pun tercoreng oleh novel itu.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Suasana Fort Rotterdam atau dikenal juga dengan Benteng Ujung Pandang di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (5/8/2016). Benteng ini juga menjadi saksi bisu kekejaman Belanda di wilayah Nusantara di luar Jakarta.

Pengawas Keraton

Setelah mangkatnya Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645), yang pernah mengerahkan pasukan menyerbu Batavia, kuku Belanda pun berbalik ditancapkan di jantung kekuasaan Mataram. Terlebih lagi setelah kolonial Belanda berhasil membelah Mataram menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Jogjakarta Hadiningrat.

Mula-mula, pada tahun 1756, dibangun Benteng Vastenburg di Surakarta. Benteng itu dibangun setelah Kerajaan Mataram dan Laskar Tionghoa melawan Kompeni Belanda dalam Perang Geger Pacinan (1740-1743) yang nyaris meruntuhkan kekuasaan Kompeni Belanda di Jawa.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Murid SD Puro Pakualaman berlarian menyusuri berbagai gedung di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (1/12). Benteng Vredeburg yang mulai dibangun pada tahun 1760 tersebut hingga kini masih terjaga kelestariannya dan menjadi salah satu tujuan wisata pendidikan utama di Yogyakarta.

Sejarawan Daradjadi Gandasuputra mengatakan, ribuan prajurit Jawa dan Tionghoa gugur dalam perlawanan tersebut. Vastenburg pun dibangun di sisi utara Keraton Kasunanan Surakarta, yang seolah menjadi ”pengawas” keraton.

Di Yogyakarta, Kompeni Belanda membangun Benteng Vredeburg pada tahun 1760. Vredeburg semula berdinding kayu, baru kemudian lima tahun berselang diperkuat tembok batu setinggi 5 meter. Benteng tersebut dibangun di sisi utara alun-alun utara Keraton Jogjakarta.

Pangeran Adipati Anom, yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwono II, kemudian membangun Beteng Baluwerti untuk menghadapi Belanda. Tahun 1809, Baluwerti diperkuat. Tiap pojok beteng bahkan konstruksinya juga diperkuat untuk menahan serangan Belanda.

Perumahan perwira utara I

Kini digunakan sebagai Ruang Diorama II yang tersambung dengan Perumahan Perwira Utara II sebagai Ruang Diorama III.

Barak prajurit barat

Lantai I dimaanfaatkan sebagai kafe Indische Koffie bernuansa Hindia Belanda.

15

16

1

Perumahan perwira selatan I

Kini digunakan sebagai Ruang Diorama I yang memamerkan reka ulang peristiwa bersejarah sejak Perang Diponegoro hingga masa penjajahan Jepang.

7

12

13

10

5

6

4

14

Benteng

Vredeburg

2

11

Melihat bangunan dan taman di Museum Benteng Vredeburg, sulit dipercaya bahwa bangunan ini sempat terbengkalai sebelum dipugar pada 1979. Benteng VOC yang dulu bernama Rustenburg kini menjadi museum yang menampilkan koleksi sejarah serta diorama yang mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

3

Gerbang utama barat

Pintu utama museum.

8

17

9

50 m

Pengapit utara

Digunakan sebagai ruang pengenalan. Sebuah mini studio berkapasitas 50 orang ini memutar film dokumenter.

U

Jembatan dan parit

Awalnya jembatan angkat ini berfungsi sebagai pertahanan setelah parit.

KETERANGAN

Fungsi gedung di masa lalu. Kini digunakan sebagai ruang pameran, serbaguna, atau kantor museum.

Alur kunjungan museum

 

1. Gerbang timur

2. Pengapit selatan

3. Barak prajurit utara

4. Fasilitas umum

Lantai atas digunakan

sebagai ruang audio visual

5. Societet militaire

Ruang diorama IV dan lantai atas yang digunakan sebagai ruang auditorium.

6. Paviliun

7. Gudang mesiu

Jl Malioboro

P JAWA

PETA

LOKASI

8. Perlengkapan non-militer/ logistik

9. Dapur utara

10. Dapur selatan

11. Rumah tahanan

12. Kamar mandi timur

13. Perumahan perwira utara II

14. Perumahan perwira selatan II

15. Gudang senjata ringan dan barak prajurit

Gudang senjata berat

16. Garasi

Istal

17. Anjungan

U

Museum Benteng

Vredeburg

200 m

Jl Mayor Suryotomo

Jl RE Martadinata

Alun-alun

Utara

Komplek

Keraton

Yogyakarta

Sumber: Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Staf penerangan Museum Benteng Vredeburg, Rijksmuseum Amsterdam, Google Maps

INFOGRAFIK: SEPTA, EMILLE

Benteng Vredeburg

Benteng VOC yang dulu bernama Rustenburg kini menjadi museum yang menampilkan koleksi sejarah serta diorama yang mengabadikan perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Barak prajurit barat

Lantai I dimaanfaatkan sebagai kafe Indische Koffie bernuansa Hindia Belanda.

Perumahan perwira utara I

Kini Ruang Diorama II.

Perumahan perwira selatan I

Kini Ruang Diorama I.

Gerbang

timur

100 m

U

Gerbang utama barat

Pintu utama museum.

Pengapit utara

Digunakan sebagai ruang pengenalan.

Jembatan dan parit

Awalnya jembatan angkat berfungsi sebagai pertahanan setelah parit.

KETERANGAN

Fungsi gedung di masa lalu.

Alur kunjungan museum

 

1. Barak prajurit utara

2. Societet militaire

3. Gudang mesiu

4. Rumah tahanan

6. Perumahan perwira utara II

6. Perumahan perwira selatan II

7. Gudang senjata ringan dan barak prajurit

Gudang senjata berat

Jl Malioboro

P JAWA

PETA

LOKASI

U

Museum Benteng

Vredeburg

200 m

Jl Mayor Suryotomo

Jl RE Martadinata

Alun-alun

Utara

Komplek

Keraton

Yogyakarta

Sumber: Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Staf penerangan Museum Benteng Vredeburg, Rijksmuseum Amsterdam, Google Maps

INFOGRAFIK: SEPTA, EMILLE

Vastenburg dan Vredeburg, kata sejarawan Andi Achdian, menjadi simbol penaklukan Jawa oleh Belanda. Walau kerajaan-kerajaan di Jawa tetap berdaulat, dengan politik adu dombanya, membuat Kompeni Belanda kerap menjadi pengambil keputusan terakhir dalam banyak hal.

Benteng Vastenburg dan Vredeburg bahkan hanya beberapa ratus meter dari keraton, yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat budaya masyarakat Jawa di Surakarta dan Yogyakarta. Jadi, rakyat Surakarta dan Yogyakarta di masa itu juga melihat Belanda dari dekat.

Kekejaman dan kesewenangan Hindia Belanda kemudian berlanjut dalam Perang Diponegoro (1825-1830), yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa. Intervensi Belanda terhadap Keraton Jogjakarta membuat Pangeran Diponegoro mengangkat senjata.

Jejak Benteng Kolonial

Tahun1512

Geser tombol untuk mengetahui lokasi
dan tahun pembangunan benteng

Sumber : Litbang Kompas/YOG, dari pemberitaan Kompas dan buku "Inventory and Identification Forts in Indonesia"

Benteng Stelsel

Perang Diponegoro menimbulkan korban jiwa ribuan orang prajurit dan rakyat di sekitar Yogyakarta dan Banyumas. Perang ini juga dinilai berkepanjangan oleh Kompeni Belanda sehingga diterapkan sistem Benteng Stelsel.

Sistem Benteng Stelsel diwujudkan dengan pembangunan benteng-benteng pertahanan. Sistem ini meminimalkan gerak pasukan Diponegoro sehingga perlawanan dilemahkan. Akibatnya, di banyak tempat di Jawa Tengah dibangun benteng Belanda.

Benteng Willem I di Ambarawa, misalnya, dibangun tahun 1833. Selanjutnya setelah Perang Jawa berakhir, yang menurut sejarawan MC Ricklefs, menjadi kunci kekuasaan mutlak Belanda atas Mataram, fungsi benteng seperti Willem I dan Benteng Pendem Cilacap menjadi penting untuk mempertahankan dominasi Kompeni Belanda.

ELGA YUDA PRANATA UNTUK KOMPAS

Suasana Benteng Pendem di Cilacap, Jawa Tengah, 9 Juli 2010. Benteng ini berperan penting dalam mempertahankan dominasi Belanda.

Benteng Willem I kemudian menjadi kekuatan inti pemerintahan kolonial Belanda dalam mengontrol kekuasaan antara Semarang dan Yogyakarta. Pendirian benteng di berbagai wilayah juga hasil dari pengalaman dalam Perang Jawa yang sempat membuat Belanda kehabisan sumber daya dan keuangan.

Benteng lainnya yang dibangun usai Perang Jawa adalah Fort De Kock di pusat Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Benteng tersebut dibangun tahun 1825 untuk menghadapi perlawanan Tuanku Imam Bonjol dan golongan Padri yang bangkit melawan hegemoni Belanda yang berlangsung sejak tahun 1821-1838. Perang tersebut juga menelan korban ribuan jiwa.

Bukan hanya di Jakarta, berbagai benteng Belanda di segenap penjuru Nusantara tersebut adalah saksi sejati dari kekejaman dan ambisi kekuasaan dari pemburu kapital dan kekayaan Nusantara. Ambisi kekuasaan memang membutakan bagi sebagian orang.

Kerabat Kerja

Penulis: Iwan Santosa | fotografer: Heru Sri Kumoro, Antony Lee, Wawan H Prabowo, Ferganata I Riatmoko | Panorama 360: Pandu Lazuardy | animator: Novan Nugrahadi | paralaks: Toto Sihono | infografik: Septa Inigopatria | ilustrator: Reza Fikri Aulia | penyelaras bahasa: Hibar Himawan | designer & pengembang: Yulius Giann, Deny Ramanda | produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.