on

off

Peradaban
di Tepian Citarum

Citarum adalah sungai purba. Namun, tidak selamanya aliran sungai itu pernah mengalir hingga jauh ke hilir. Terbentuknya Cekungan Bandung kira-kira ratusan ribu tahun lalu pernah memerangkapkan air dari mata air Citarum.

Gulung

Citarum adalah sungai purba. Namun, tidak selamanya aliran sungai itu pernah mengalir hingga jauh ke hilir. Terbentuknya Cekungan Bandung kira-kira ratusan ribu tahun lalu pernah memerangkapkan air dari mata air Citarum.

Seberapa luas dan di mana letak Cekungan Bandung? Cekungan itu kira-kira membentang sejauh 60 kilometer dengan lebar 40 kilometer. Anda ingin melihatnya? Singgahlah di salah satu kafe di Dago, Bandung Utara. Kemudian, layangkan pandangan ke arah timur, selatan, lalu ke barat.

Citarum ternyata adalah rumah dari sebuah peradaban. Ini tidak ubahnya dengan peradaban Mesir kuno di tepian Sungai Nil.

Cekungan itu membentang mulai dari Nagreg di sebelah timur Bandung hingga ke Padalarang di sebelah barat. Deretan gunung seolah mengurung cekungan tersebut sehingga membentuk semacam "mangkok" raksasa.

Di era prasejarah, cekungan itu tampak menarik perhatian manusia prasejarah untuk mendiami tepiannya. Di tepi cekungan itu, masih di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, terdapat situs prasejarah Goa Pawon yang pernah didiami manusia prasejarah.

KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Ketua Masyarakat Cagar Budaya Indonesia Bambang Subarnas memperlihatkan patung bekas pembuatan film akhir 2012 yang masih terpasang di kompleks Goa Pawon di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (1/7/2013). Keberadaan patung itu merusak seni dan ilmu pengetahuan di Goa Pawon sebagai peninggalan masa prasejarah. Goa Pawon sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional yang harus dilindungi.

Jangan heran apabila di situs yang terletak di Desa Gunung Masigit, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, itu tahun 2004 ditemukan rangka manusia dalam posisi terlipat flexed di kedalaman 143 sentimeter. Diperkirakan, rangka manusia itu berusia sekitar 9.500 tahun.

Citarum ternyata adalah rumah dari sebuah peradaban. Ini tidak ubahnya dengan peradaban Mesir kuno di tepian Sungai Nil, peradaban Mesopotamia di tepi Sungai Eufrat dan Tigris ataupun peradaban Indus di tepi Sungai Indus.

Tentu tidak mudah menelusuri kehidupan manusia prasejarah di DAS Citarum. Ibaratnya, kita mencari jarum di dalam jerami. Itu pun tumpukan jerami yang sudah tergeletak selama ratusan ribu tahun. Peninggalan yang tersisa umumnya juga berupa artefak dan rangka manusia.

Namun, jauh ke hilir, tepatnya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, kompleks Batujaya menjadi bukti lebih lengkap tentang keberadaan Citarum yang pernah mengayomi peradaban manusia.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Petugas ekskavasi dari Balai Arkeologi Jawa Barat kembali menemukan fosil kerangka manusia prasejarah di Gua Pawon, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (21/3/2017). Penemuan kerangka manusia bersejarah ini perlu diteliti lagi di laboratorium untuk menentukan secara pasti usianya. Para peneliti memperkirakan usia temuan kerangka ini lebih tua dari penemuan-penemuan sebelumnya yang berusia antara 6.600 dan 9.500 tahun.

Mengungkap Batujaya

Diprediksi, Batujaya, kompleks candi Buddha itu, dibangun pada abad V-VII Masehi.

Batujaya dengan demikian lebih tua daripada Candi Borobudur. Ini sungguh mengejutkan. Mungkin karena posisinya di pesisir sehingga Batujaya lebih dulu terbangun karena persinggungannya dengan budaya lain.

"Di Indonesia, belum ada kebudayaan setua dan semaju Candi Batujaya," kata arkeolog Hasan Djafar (Kompas, Sabtu, 13 Juli 2013). Sayang sekali, Batujaya tidak mendapat perhatian sebagaimana halnya Borobudur.

Nama Batujaya bahkan tidak terlalu dikenal. Padahal, lokasinya hanya 50 kilometer di sisi timur Jakarta, ibu kota negara.

Apa bukti kemajuan Batujaya? Hasan mengatakan, "Bata Batujaya ini istimewa. Tanah liat dicampur sekam padi, dipanaskan pada suhu 700 derajat celsius dengan kematangan merata. Hasilnya, bata dapat bertahan selama ratusan tahun."

Tanah liat dicampur sekam padi, dipanaskan pada suhu 700 derajat celsius dengan kematangan merata. Hasilnya, bata dapat bertahan selama ratusan tahun.

Ketika angin laut dinilai menggerus dan ada ketersediaan material, seperti kerang, maka dimunculkan inovasi bernama stuko. Stuko adalah plester putih berbahan dasar kapur, pasir, kerikil, dan pecahan kerang. Biasa dioleskan di badan bangunan, stuko adalah material super pada zamannya dengan kekuatan setara semen beton.

Dalam perkembangannya, Citarum justru dijadikan batas dari dua kerajaan, yakni Galuh dan Pakuan. Tentu saja, pusat kota dari dua kerajaan itu dibangun di titik yang lumayan jauh dari batas kerajaan. Ibu kota Kerajaan Galuh didirikan di Kawali, Kabupaten Ciamis, sedangkan ibu kota Kerajaan Pakuan didirikan di Bogor.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah pengunjung berekreasi di Candi Blandongan di kompleks situs Batujaya, Karawang Utara, Jawa Barat, Minggu (27/3/2011). Kompleks candi yang dibangun pada abad II Masehi ini diperkirakan menjadi kompleks peradaban tertua di Nusantara.

Ketika akhirnya pamor kerajaan Hindu meredup dan berganti dengan kekuasaan kerajaan Islam, Citarum tetap sekadar menjadi batas. Citarum menjadi batas dari Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Selama berabad-abad, Citarum jauh dari hiruk-pikuk kerajaan meski tentu tetap didiami.

Baru kemudian pada tahun 1670, Bupati Bandung Wira Angunangun mendirikan sebuah kota di pertemuan Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum. Kota itu kelak dikenal sebagai Dayeuhkolot, atau kota tua dalam bahasa Sunda.

Namun, pada 25 Mei 1810, Gubernur Jenderal Daendels memindahkan ibu kota Bandung sejauh 10 kilometer ke utara untuk mendekati De Groote Postweg, Jalan Raya Pos. Konon, Bupati Bandung Adipati Wiranatakusumah II saat itu sempat marah dengan keputusan Daendels meski tidak berani melawan.

Bandung Titik Nol

Lokasi yang ditunjuk Daendels tadinya adalah sebuah hutan lebat, tetapi kemudian berubah menjadi sebuah kota besar di Indonesia.

Kota itu adalah Bandung. Dan, titik yang ditunjuk Daendels itu yang kemudian kita kenal sebagai Bandung titik nol.

Mengapa Daendels memindahkan kota? Dalam buku Bandung, Citra Sebuah Kota (2007) karangan Robert PGA Voskuil dan kawan-kawan dijelaskan pemindahan ibu kota itu karena ancaman banjir Sungai Citarum.

Kondisi Demografis Penduduk

  • Jumlah Penduduk 2015 (eksisting)= 18.641.637 jiwa
  • Jumlah Penduduk 2035= 25.708.227 jiwa
  • Kepadatan penduduk tertinggi: Kota Bandung dengan jumlah penduduk 14.900 jiwa/km2
  • Kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Cianjur sebesar 584 jiwa/km2
  • Kepadatan penduduk rata-rata di WS Citarum sebesar 3.759 jiwa/km2
  • Tren pertumbuhan rata-rata: 1,16%

Sumber: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahaan Rakyat, 15 November 2016.

Lima tahun lalu, saat menyusuri Dayeuhkolot, Kompas mengamati nyaris tidak ada bangunan tua di sana. Voskuil pun menyediakan jawabannya bahwa Dayeuhkolot ”menghilang” agaknya karena Bupati Adipati Wiranatakusumah II mendirikan kota baru dengan material bongkaran dari kota lama.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sebuah kendaraan melintas meninggalkan garis merah di Km 0, Jalan Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, Jumat (1/8/2008). Menurut cerita, Daendels menusukkan tongkat kayunya ke tanah dan dikenal menjadi Titik Nol Kilometer Kota Bandung.

Ringkasnya, dalam 200 tahun terakhir, bukan kali ini saja Baleendah dan Dayeuhkolot bermasalah sehingga ditinggalkan warganya. Walau justru pada masa republik, bukannya pada masa kolonial, menjamurlah permukiman dan kawasan industri di flood plain, dataran banjir Citarum.

Padahal, pembangunan properti di flood plain tidak ubahnya menantang alam. Mereka, para warga, ibaratnya membangun di lahan yang sudah hampir pasti kebanjiran. Apalagi, ketika mereka membangun di lahan dengan ketinggian yang lebih rendah daripada tinggi muka air Citarum.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Permainan lampu sorot dipasang untuk menghias bangunan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 23 Oktober 2015. Kota Bandung merupakan kota utama di dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.

Meninggalkan Pertanian

Entah di mana kontribusi rencana tata ruang dan tata wilayah dalam pengaturan di wilayah Sungai Citarum.

Dan, faktanya, rencana tata ruang tidak selalu menjadi panglima dalam pembangunan. Di banyak tempat, tata ruang dan tata wilayah sekadar di atas kertas. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan yang masif.

Di Karawang, yang menjadi "lumbung padi" Jawa Barat, misalnya, tiap tahun terjadi alih fungsi lahan hingga 180 hektar. Per hari, dengan demikian, sawah seluas separuh lapangan bola telah berubah fungsi menjadi permukiman atau kawasan industri.

Laju Pertumbuhan Ekonomi

  • Penduduk miskin: 4,2 juta orang. (BPS 2014)
  • Angkatan kerja 2009-2014 meningkat, dari 18.981.260 orang menjadi 21.010.000 orang (10,69%)
  • Presentase rumah sehat 2009-2014 meningkat, dari 1.082 menjadi 1.836 (69,69%)

Sumber: Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahaan Rakyat (15/11/2016)

Padahal, kesuburan Karawang sudah dikenal sejak dulu kala. Ketika Sultan Agung berniat menyerang Batavia pada abad ke-16, Karawang dijadikan lumbung beras pasukan Mataram. Ribuan prajurit Mataram dikirim ke Karawang untuk dijadikan petani demi ketersediaan logistik pertempuran itu.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Warga melintas di bantaran Saluran Induk Tarum Tengah dengan latar belakang hamparan sawah yang ditanami padi di Karawang, Jawa Barat, Rabu (10/4/2013). Saluran irigasi yang bersumber dari Sungai Citarum ini menjadi penopang sumber air bagi ribuan hektar lahan padi di Karawang.

Begitu Jatiluhur mulai berfungsi, Karawang, Bekasi, Subang, Purwakarta, dan Indramayu mendapatkan kemewahan berupa pasokan air irigasi teknis. Saluran irigasi tersier bahkan membentang hingga daerah-daerah aliran sungai lainnya.

Pasokan air irigasi teknis dari Jatiluhur dipadu kesuburan tanah Jawa Barat sebenarnya kombinasi yang tiada bandingannya di Indonesia. Walau ternyata, godaan untuk alih fungsi lahan lebih besar.

Membelakangi Citarum

Di sepanjang saluran Tarum Barat, misalnya, dibangun kawasan-kawasan industri utama di negeri ini.

Investasi miliaran dollar AS digelontorkan oleh investor dari berbagai negara demi membangun pabrik di berbagai sektor.

Industri di DAS Citarum (Kementerian Perindustrian 2012)

Sumber: Litbang Kompas/ERN, diolah dari Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Greenpeace Indonesia dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Perindustrian (2012)

Alih fungsi lahan ini terkait pula dengan pembangunan infrastruktur jalan tol. Tidak hanya jalan tol di pantai utara Jawa, seperti Jakarta-Cikampek dan Cikampek-Palimanan, tetapi juga jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Cileunyi hingga sisi timur Bandung.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para aktivis dari Greenpeace melakukan kampanye "Saya Pilih Citarum Bebas Racun" di Sungai Citarum yang melintasi Desa Sukamaju, Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, di sekitar tempat saluran limbah pabrik yang dibuang ke sungai tersebut, Rabu (5/12/2012).

Kini ibaratnya, infrastruktur jalan tol membayangi DAS Citarum. Nyaris seluruh titik di DAS Citarum kemudian dapat terkoneksi dengan pintu-pintu tol. Dengan demikian, jangan heran apabila alih fungsi lahan terjadi makin cepat.

Permukiman dan kawasan industri pun ibaratnya dibangun menghadap infrastruktur jalan tol, tetapi di sisi lain membelakangi sungai. Akibatnya jelas. Sungai Citarum sekadar dijadikan tempat pembuangan. Pembuangan apa pun mulai dari limbah cair, limbah padat, hingga limbah beracun.

Kerabat Kerja

Penulis: Haryo Damardono | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Reporter: Her Suganda, Cornelius Helmy Herlambang, Mukhamad Helmy | Fotografer: Agus Susanto, Cornelius Helmy Herlambang, Iwan Setiyawan, Rony Ariyanto Nugroho | Ilustrator: Toto Sihono | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Rafni Amanda, Vandi Vicario | Produser: Haryo Damardono, Septa Inigopatria, Prasetyo Eko Prihananto