Jabat Erat
untuk Sahabat

Myanmar mempunyai tempat khusus dalam hubungan luar negeri Indonesia.
Presiden Soekarno memuji Myanmar sebagai ”Kawan dalam
memperjuangkan dan mencapai kemerdekaan sejati”.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi diapit Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Dr Win Myant Aye (sisi kanan Menlu Retno) dan Menteri Besar Negara Bagian Rakhine U Nyi Pu (sisi kiri Menlu Retno) bergandeng tangan dengan sejumlah diplomat, salah satunya Duta Besar RI untuk Myanmar Ito Sumardi (bertopi hitam) bergandeng tangan di depan deretan truk berisi bantuan dari Pemerintah Indonesia.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Tiga perempuan pengungsi melongokkan wajah mereka dari balik jendela rumah mereka yang berada di kamp Saw Tama Gyi, Sittwe. Mereka merupakan korban dari kerusuhan komunal yang meletus di Sittwe pada tahun 2012 lalu.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto

Tatap tajam mata seorang anak desa Lat Ma Chae seolah menyiratkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Bantuan kemanusiaan dari Indonesia diharapkan dapat membantu mereka merenda kembali masa depan yang cemerlang.

Indonesia-Myanmar

Bagi mereka yang lahir sebelum era tahun 80-an pasti kerap mendengar nama beras burma, selain produk-produk lokal, seperti IR, C4, atau beras jawa. Dari sejumlah catatan, sebelum banjir beras impor asal Vietnam memasuki pasar hingga ke pelosok-pelosok negeri, beras asal Burma–saat ini Myanmar– pernah menjadi salah satu sumber sajian pokok warga Indonesia.

Arus beras asal Burma masuk ke Indonesia sebagai bagian dari jalinan relasi dagang antara kedua negara. Senin pagi, bertempat di Departemen Perdagangan, Menteri Perdagangan Indonesia kala itu Brigjen A Jusuf bertemu dengan mitranya dari Burma, Letkol San Win yang memimpin delegasi perdagangan yang tengah mengemban fact finding mission yang bertujuan menemukan upaya-upaya untuk meningkatkan hubungan dagang Indonesia-Burma (Kompas, 4 Januari 1966).

Ada keinginan besar dari delegasi Burma untuk mendatangkan lada hitam, kopra, dan pinang dari Indonesia. Selain itu, mereka juga berminat menaikkan volume pembelian produk-produk industri dari Indonesia, seperti karet dan gula. Satu-satunya produk yang akan didatangkan dari Burma adalah beras.

Dan hanya dalam waktu lima bulan–setelah sejumlah perundingan–Indonesia diizinkan membeli 80.000 ton beras dari Burma. Pembelian itu menambah pasokan beras impor yang juga mulai didatangkan dari Thailand–waktu itu disebut dengan Muangthai.

Kala itu (Kompas, 2 Mei 1966) Indonesia mengimpor 100.000 ton beras dari Thailand, 50.000 ton beras dari Amerika Serikat, dan 10.000 ton beras dari Jepang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk mengatasi kesulitan pangan setelah meletusnya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) 1965. Ditambah bantuan beras lainnya dari Australia, sebanyak 250.000 ton, pemerintah waktu itu berharap dapat menguasai pasar dan menstabilkan harga pangan, sekaligus menyiapkan lahan di berbagai wilayah, terutama Sumatera dan Jawa, agar mampu memproduksi beras sendiri.

Saat ini, meskipun sebagian kebutuhan beras nasional masih ditopang oleh impor, petani-petani di Indonesia mampu mencukupi sebagian besar pasokan beras di dalam negeri. Bagi Myanmar, sektor pertanian memang menjadi tulang punggung roda perekonomian negeri itu.

Dalam perjalanan dari Yangon menuju Sittwe–ibu kota Negara Bagian Rakhine–pada minggu terakhir Januari 2017, dari udara tampak petak-petak sawah terhampar hampir di seluruh pelosok negeri. Kinerja sektor pertanian menyumbang 45 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Myanmar yang berjumlah 50,2 miliar dollar AS. Berlimpahnya produk beras negara itu menempatkan Myanmar pada posisi ke-6 di dunia sebagai eksportir terbesar beras global. Tidak mengherankan jika pertanian menjadi prioritas utama perhatian Pemerintah Myanmar.

Saat mendarat di Sittwe dan melanjutkan perjalanan ke sejumlah desa di sekitarnya, tampak petak-petak sawah tengah digarap oleh warga. Sebagian lahan itu ditanami aneka jenis sayur seperti kol dan sawi-sawian, dan sebagian lahan lain ditanami jagung. Menyaksikan itu, seorang diplomat Indonesia berujar, Indonesia dapat menempatkan kembali Myanmar sebagai salah satu sumber alternatif untuk mendapatkan beras. Potensi itu saat ini telah dimanfaatkan oleh industri pangan dan ternak nasional yang sejak belasan tahun lalu telah berinvestasi di Myanmar.

Relasi Indonesia-Myanmar

Catatan-catatan ringkas tentang implementasi kerja sama perdagangan kedua negara itu sebenarnya merupakan bagian dari sejarah panjang relasi antara Indonesia dan Myanmar. Dalam catatan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon, relasi kedua negara telah terjalin sejak era tahun 1945, terutama pasca Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dukungan Burma terhadap eksistensi kemerdekaan Indonesia sangatlah kuat. Bahkan, sebelum negara itu merdeka–4 Januari 1948–otoritas setempat telah memberi izin kepada Pemerintah Indonesia untuk membuka kantor perwakilan di Yangon–kala itu disebut dengan Rangoon. Izin itu diberikan mengiringi kedatangan perwakilan Indonesia, Marjunani ke Rangoon pada 1947.

Presiden Soekarno memuji Myanmar sebagai "Kawan dalam memperjuangkan dan mencapai kemerdekaan sejati"

Catatan sejarah itu tertoreh dalam sebuah laporan tahunan KBRI Yangon yang salinannya terpasang di dinding sebuah lorong di kompleks KBRI. Dalam salah satu paragraf laporan tahunan itu disebutkan, Pemerintah Burma, walaupun belum dapat mengakui kita dengan resmi karena ikatan internasional, telah menunjukkan lebih dari rasa simpati saja. Sedemikian pemerintah dan sedemikian pula rakyatnya. Tanda pertama dari sumbangan itu adalah pemberian tempat kediaman dan kantor kepada saudara Marjunani di suatu flat gedung Kementerian Luar Negeri Burma yang sekarang.

Tentu saja, dukungan itu memberi energi tambahan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia yang kala itu masih berupaya keras mempertahankan kemerdekaan, terutama dari ancaman agresi militer Belanda. Pasca kemerdekaan Myanmar, Rumah Indonesia di Yangon itu kemudian ditingkatkan statusnya menjadi KBRI pada April 1950. Saat itu—dalam catatan KBRI Yangon—Presiden Soekarno memuji Myanmar sebagai ”Kawan dalam memperjuangkan dan mencapai kemerdekaan sejati”.

IPPHOS
Menteri Luar Negeri Burma (sekarang Myanmar), Sao Khun Khio, diterima Presiden Sukarno 26 Januari 1951.
IPPHOS
Penandatanganan naskah perjanjian persahabatan Indonesia-Burma tanggal 31 Maret 1951.

Pada masa-masa awal perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, Myanmar—yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris—terus menunjukkan dukungannya. Mereka tidak hanya mengecam agresi militer Belanda, tetapi juga memberi izin Dakota RI-001 Seulawah—pesawat pertama yang dibeli oleh rakyat Indonesia—mendarat di Bandara Mingaladon, Yangon, pada 26 Januari 1949. Kejadian bersejarah itu menjadi bagian dari tonggak kelahiran maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia.

Memasuki era tahun 1950-an ketika dunia tertarik dalam dua kutub AS dan Uni Soviet, Indonesia—diwakili Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bersama mitra di kawasan, termasuk Myanmar yang diwakili Perdana Menteri U Nu memelopori lahirnya gerakan non-blok. Gerakan yang juga dimotori oleh PM Jawaharlal Nehru dari India, PM Mohammad Ali Bogra dari Banglades, dan PM Sir John Kotelawala dari Sri Lanka itu melahirkan negara-negara baru di kawasan.

Hingga saat ini dukungan politik Myanmar terhadap Indonesia tidak pernah berubah. Myanmar adalah salah satu negara pertama yang mengeluarkan pernyataan—baik melalui KBRI maupun forum resmi, seperti ASEAN Ministrial Meeting (AMM), ASEAN Regional Forum, dan pertemuan lain–menyokong keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pernyataan itu didengungkan terutama saat Indonesia tengah dirundung gejolak internal saat menghadapi kampanye yang disponsori Gerakan Aceh Merdeka atau gerakan separatis dari Organisasi Papua Merdeka. Pemerintah Myanmar menegaskan, tidak akan membiarkan wilayah mereka digunakan sebagai pangkalan kegiatan yang memusuhi NKRI. Mereka pun turut mengawasi kemungkinan penyelundupan senjata ke wilayah Indonesia.

Tidak mengherankan jika Pemerintah Indonesia pun terus kuat menjaga relasi itu. Keanggotaan Myanmar di dalam asosiasi regional ASEAN, tak lepas dari campur tangan Indonesia. Indonesialah yang menjadi sponsor utama Myanmar. Dalam lanskap regional, keterlibatan Myanmar di dalam asosiasi itu memperkuat dan memperkokoh kehadiran ASEAN di kawasan.

Asosiasi itu mampu menjadi soko guru stabilitas di kawasan dan menjadikannya salah satu tempat paling menarik untuk berinvestasi. Hingga saat ini, kekuatan ekonomi dunia, seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Tiongkok serta Australia terus menjalin kerja sama ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan dengan ASEAN.

Dalam relasi bilateral, hubungan antara Indonesia dan Myanmar terus diperkokoh. Para pemimpin kedua negara saling bertandang. Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat pernah mengunjungi Myanmar. Sebaliknya, pemimpin Myanmar, seperti Jenderal Senior Than Swe dan Perdana Menteri Thein Sein, pun tercatat pernah mengunjungi Indonesia.

Kompas/Kartono Riyadi
Keadaan Burma (sekarang Myanmar) dari segi sosial dan ekonomi kurang lebih sama dengan Indonesia di tahun 1960-an. Tetapi itu tidak berarti, di Burma tidak ada hal-hal yang menarik. Salah satu di antaranya adalah perusahaan batu-batuan berharga, milik negara, seperti yang ditinjau Presiden Soeharto saat berkunjung ke Burma. Tampak ketika bongkahan batu berharga yang digarap menjadi berbagai macam perhiasan, patung, dan alat makan-minum.

Dikabarkan, Penasihat Negara Myanmar—yang juga tokoh demokrasi negara itu—Aung San Suu Kyi juga berkeinginan berkunjung ke Indonesia. Adapun Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terus mengikuti dari dekat perkembangan Myanmar, termasuk dalam isu-isu sosial-politik, seperti terjadi di Negara Bagian Rakhine.

Sebagai salah satu motor penggerak demokrasi di kawasan, Indonesia—sebagai mitra sejajar—terus membuka diri bagi Myanmar. Saat negara itu perlahan-lahan membuka diri dan membangun demokrasi, Indonesia hadir membantu dengan tidak memosisikan diri sebagai guru atau pengajar.

Implementasi dari sikap itu tampak jelas dan membuahkan hasil positif. Sekjen Konsorsium Aceh Baru Juanda Djamal dalam Kompas, 5 Januari 2012, menulis, pasca badai Nargis menghantam negara itu pada Mei 2008, Myanmar memasuki peradaban yang lebih terbuka. Mereka menyadari bahwa kekuasaan militer tak dapat menempatkan diri mereka untuk bersanding dan bersaing secara global. Atas dasar itulah Myanmar pelan-pelan membangun paradigma baru pemerintahan yang demokratis. Lebih menarik lagi, pasca Nargis, Pemerintah Myanmar menghendaki ASEAN berperan dalam penanganan tersebut. Indonesia menjadi pilihan mereka.

Juanda melanjutkan, dalam transisi demokrasi di Myanmar, Pemerintah Indonesia memiliki modal besar untuk terlibat, yang dimulai sejak rekonstruksi bencana badai Nargis di mana beberapa ahli rekonstruksi Indonesia terlibat. Indonesia juga mendukung Pemilu 2010 dan terakhir mendukung kepentingan politik luar negeri Myanmar sebagai Ketua ASEAN 2014.

Menurut dia, Indonesia memiliki kapital yang sangat tinggi untuk bisa menancapkan pengaruh politik luar negerinya, misalnya pembelajaran dari reformasi dan demokratisasi nasional, desentralisasi, dan mekanisme otonomi khusus, rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, hingga proses perdamaian dan demokrasi di Aceh.

Kala itu, Juanda juga melontarkan kritik, modal sosial itu—yang selayaknya menjadi senjata diplomasi di kawasan itu— kurang dioptimalkan Jakarta. Ia menyebutkan, Myanmar sebagai satu isu strategis di tingkat internasional semestinya dapat dimanfaatkan oleh Kemlu RI untuk memulai beberapa kerja sama penting dalam memperkuat hubungan bilateral kedua negara atau regional. Misalnya, kerja sama peningkatan kapasitas pemimpin politik melalui beberapa program kunjungan, pertukaran pengalaman, dan pendidikan singkat dalam bidang legislatif. Begitu pula di bidang penguatan masyarakat madani, bisnis, perdagangan, dan sebagainya.

Kompas/Alif Ichwan
Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Myanmar U Thein Sein, dilanjutkan pertemuan bilateral sebelum KTT ASEAN ke 25 di Nay Pyi Taw, Myanmar, Rabu (12/11/2014).

Namun, merujuk pada sikap dan kebijakan politik luar negeri yang diterapkan Indonesia atas isu Myanmar tidak semata-mata didasarkan pada aspek pemenuhan fakta dan kenyataan politik di kawasan. Sebagai tetangga dan mitra dekat di kawasan, Indonesia lebih memilih untuk memenuhi kewajiban sebagai sahabat daripada memanfaatkan kedekatan itu.

Dalam sebuah perbincangan, Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib mengatakan, dalam menyikapi persoalan yang dihadapi negara mitra, Indonesia tidak pernah mau menunjuk-nunjukkan jari atau membuat kecaman. Sebaliknya keprihatinan Indonesia justru ditunjukkan dengan membangun komunikasi intensif dan hadir bersama untuk menemukan solusi komprehensif.

Sebagaimana dinyatakan oleh Hasan Kleib dan berkali-kali diulang oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, pendekatan yang inklusif dan komunikatif terkait berbagai persoalan di Myanmar justru membuahkan hasil optimal. Saat Myanmar kembali digoyang isu konflik komunal dan bersenjata—yang kemudian berkembang menjadi isu diskriminasi rasial—Indonesia kembali tidak memosisikan sebagai guru atau memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan politik nasional ataupun regional.

Sejak lima tahun lalu, saat konflik komunal yang berakar pada persoalan ekonomi dan kemiskinan meletus di Sittwe, Indonesia selalu hadir bagi semua pihak dan komunitas di Myanmar. Pendekatan inklusif yang antara lain ditunjukkan dengan membangun empat sekolah, masing-masing dua untuk komunitas Muddhis dan Muslim, kembali diterapkan saat ini pasca terjadinya serangan di tiga pos polisi di Maungdaw, 9 Oktober 2016. Bantuan-bantuan baik yang bersifat fisik maupun nonfisik diberikan kepada setiap komunitas.

Di depan Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Dr Win Myat Aye di Sittwe, Menlu Retno mengatakan, pendekatan inklusif yang dilakukan Indonesia diarahkan untuk membangun perdamaian antarkomunitas. Melalui perdamaian itulah stabilitas dapat diwujudkan dan kesejahteraan bersama dapat diraih.

Sikap inklusif dan tidak menggurui itu pula yang di lapangan justru membuka banyak pintu. Tak hanya bantuan dari Pemerintah Indonesia saja yang mendapat akses, tetapi juga media, dan aneka lembaga swadaya dan ormas nasional yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia memperoleh kesempatan untuk turut membantu. Tawaran Indonesia untuk meningkatkan akses warga pada pelayanan kesehatan dan pendidikan mendapat sambutan baik. Bahkan, tawaran Indonesia untuk membangun pasar perdamaian sebagai bentuk rekayasa sosial untuk mempertemukan aneka komunitas di Rakhine juga antusias disambut.

Kunjungan ke Sittwe

Sikap serupa juga menjadi bagian komitmen banyak lembaga kemanusiaan di Indonesia yang terlibat dalam misi kemanusiaan di Myanmar. Saat berkunjung ke sejumlah desa dan kamp pengungsian di sekitar Sittwe, 22 Januari lalu, mereka mengunjungi komunitas-komunitas dari berbagai latar belakang etnis dan agama yang berbeda.

Perwakilan dari sejumlah lembaga, seperti MDMC, PKPU Human Initiative, LPBI NU, dan Dompet Dhuafa, yang tergabung dalam aliansi kemanusiaan itu menyerahkan sejumlah bantuan dari Pemerintah Indonesia dan lembaga, serta ormas kepada dua komunitas berbeda. Mereka menyusuri jalan-jalan berdebu ke kamp-kamp pengungsian yang letaknya tak jauh dari pesisir.

Kamp-kamp yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap nipah itu dibangun berderet-deret. Aktivitas para pengungsi siang itu tak ubahnya dengan warga Rohingya di perkampungan yang ada di sekitar kamp. Ada pasar dan kios-kios kecil yang menjajakan beraneka bahan kebutuhan. Ada pula bengkel sepeda motor yang siang itu montirnya tengah melayani seorang pelanggan.

Kunjungan itu melengkapi kunjungan serupa yang sehari sebelumnya dilakukan oleh Menlu Retno. Bersama dengan sejumlah diplomat, Menlu Retno meresmikan dua sekolah yang berada di dua desa, yaitu Lat Ma Chae yang dihuni etnis Rohingya dan di desa That Kal Pyin yang dihuni warga dari etnis Kaman. Para siswa yang hadir dengan riang menyambut rombongan Menlu Retno.

Menurut sejumlah warga, mereka senang karena mereka saat ini memiliki lagi gedung sekolah yang layak untuk belajar. Beberapa tahun lalu gedung sekolah itu nyaris roboh karena terlalu tua, dan tak terawat. Awal tahun 2016, melanjutkan program kemanusiaan yang digelar sejak tahun 2012, PKPU Human Initiative merenovasi gedung-gedung sekolah yang terletak di perkampungan itu.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto
Anak-anak pengungsi di kamp Ohn Taw Gyi berdiri menonton dari balik jendela ruang pertemuan di kamp tersebut. Mereka menyaksikan perwakilan Aliansi Kemanusiaan Indonesia yang membantu menyerahkan bantuan Pemerintah Indonesia kepada para pengungsi.
Kompas/B Josie Susilo Hardianto
Ibu-ibu warga pengungsi di kamp Min Gang tengah berdiri di depan barak yang mereka tempati. Pengungsi yang berasal dari komunitas budhis itu merupakan korban dari kerusuhan komunal di Sittwe yang terjadi pada tahun 2012.

Duta Besar Salman al-Farisi yang sehari sebelum kunjungan Menlu Retno bertandang ke desa itu mengapresiasi kerja-kerja kemanusiaan tersebut. Menurut dia, kegiatan itu merupakan bagian dari diplomasi terus-menerus yang dilakukan Indonesia di kawasan.

Sekretaris Eksekutif Negara Bagian Rakhine U Tin Maung Swe di depan Duta Besar Salman al-Farisi yang saat ini menjadi salah satu staf ahli Menlu mengatakan, dukungan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi rakyat itulah yang saat ini sungguh dibutuhkan oleh Myanmar, khususnya warga Rakhine. Pada saat yang sama, mereka pun melihat bahwa tawaran itu memang masuk akal dan aplikatif.

Buktinya, bersamaan dengan kepulangan Menlu Retno ke Indonesia—pasca menyerahkan bantuan kemanusiaan dari Pemerintah Indonesia—Menteri Informasi Mr U Pe Myint bersama sekitar 30 delegasi dari Myanmar berkunjung ke Indonesia. Tak hanya menemui sejumlah tokoh dan berkunjung ke sejumlah lembaga di Indonesia, rombongan itu juga menyempatkan diri berkunjung ke Maluku.

”Myanmar dapat menggunakan Indonesia sebagai laboratorium untuk belajar mengenai proses demokratisasi, rekonsiliasi, dan hidup berdampingan secara damai, dalam masyarakat yang pluralis,” kata Menlu Retno menanggapi kunjungan itu.

Tentu saja apa yang mereka timba dari pengalaman Indonesia menyelesaikan konflik komunal di dalam negeri, seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh, dan Papua, merupakan bagian dari upaya Indonesia membantu penyelesaian isu serupa di Negara Bagian Rakhine. Itu pula yang dalam setiap kali pertemuan dengan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan para pemangku kepentingan di Myanmar ditawarkan oleh delegasi Indonesia yang dipimpin Menlu Retno. Indonesia selalu siap membagikan pengalaman yang dimiliki.

Bagi Menlu Retno, komitmen Indonesia itu merupakan bagian dari upaya Jakarta mendukung proses demokratisasi dan rekonsiliasi serta pembangunan yang inklusif di Myanmar. Dalam sebuah pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri, Menlu Retno menegaskan, sebagai tetangga dan sesama saudara di ASEAN, Indonesia ingin bekerja sama membantu Myanmar dalam mengatasi masalah di Rakhine.

”Penyelesaian masalah di Rakhine memerlukan adanya proses pembangunan ekonomi yang inklusif, dan menyukseskan proses rekonsiliasi dengan membangun kepercayaan antara masyarakat. Tugas Pemerintah Myanmar adalah menciptakan situasi kondusif bagi terciptanya harmoni, stabilitas, dan perdamaian,” kata Menlu Retno.

Untuk jangka menengah dan panjang, Menlu RI menyampaikan rencana Indonesia untuk mendukung peningkatan kapasitas di Rakhine, seperti program pendidikan guru dan perawat, peningkatan fasilitas kesehatan, seperti klinik berjalan, rencana pembangunan pasar perdamaian, serta dialog antaragama dan komunitas.

Menanggapi itu, Menteri Informasi Myanmar U Pe Myint menyampaikan bahwa dirinya sependapat dengan pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia adalah ruang kelas yang sangat tepat untuk Myanmar belajar mengenai demokratisasi dan rekonsiliasi. Menteri informasi juga menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Pemerintah RI atas solidaritas dan berbagai bantuan konkret yang diberikan dalam mendukung proses demokrasi, rekonsiliasi, dan pembangunan di Myanmar.

Seusai melakukan kunjungan di berbagai lembaga dan kota di Indonesia, kepada wartawan di Jakarta, Pe Myint mengatakan, banyak menimba pengetahuan tentang demokratisasi di Indonesia, desentralisasi kewenangan, penguatan kapasitas aparat dan lembaga, hingga rekonsiliasi.

Secara tidak langsung, dalam perspektif politik kawasan, penguatan demokrasi di Myanmar akan berpengaruh pula dalam relasi di tingkat regional dan internasional. Fakta itu, ditambah dengan fakta lain, yaitu bahwa banyak lembaga dunia serta duta besar dan pemimpin negara-negara—salah satunya OKI—kemudian menghubungi Menlu Retno untuk dapat terlibat dalam misi kemanusiaan di Myanmar merupakan bentuk-bentuk pengakuan atas diplomasi Indonesia yang tidak melukai itu.

Tentu saja, secara tidak langsung, langkah-langkah dari diplomasi kemanusiaan yang dilakukan Indonesia mengokohkan kepemimpinan Indonesia di tingkat regional dan menjadi bagian dari fondasi yang nantinya dapat menempatkan Indonesia sebagai kekuatan menengah di tingkat global.

Kompas/B Josie Susilo Hardianto
Rofie, seorang tukang cukur di penghuni kamp Khaung Dok Khar tengah melayani pelanggannya, sesama pengungsi. Hingga saat ini mereka belum mendapat kepastian dimana mereka akan ditempatkan kembali setelah terpaksa pergi dari Sittwe pasca kerusuhan tahun 2012.
Kompas/B Josie Susilo Hardianto
Meskipun berada di kamp pengungsian, warga komunitas muslim Negara Bagian Rakhine yang berasal dari Sittwe tetap membangun usaha mandiri untuk bertahan hidup. Mereka membuat pasar sendiri di tengah-tangah kamp pengungsian.

Di ASEAN, langkah itu juga diyakini makin merekatkan Myanmar pada asosiasi tersebut yang membutuhkan soliditas untuk menanggapi sikap asertif Tiongkok di kawasan. Bagaimana pun juga, Myanmar adalah salah satu anggota ASEAN yang memiliki batas wilayah darat dengan naga Asia itu. Beijing, dalam berbagai literatur, disebutkan memiliki kepentingan besar terhadap Myanmar.

Wilayah kaya sumber daya alam itu merupakan jalur strategis bagi Tiongkok jika ingin menyalurkan minyak mereka dari perairan Teluk Benggala—menyingkat waktu tanpa harus melewati Selat Malaka. Di sisi lain, Myanmar juga dapat menjadi mitra dekat Tiongkok yang tengah berebut pengaruh dengan India.

Melihat situasi itu, langkah Indonesia untuk memperkuat relasi dengan Myanmar melalui diplomasi kemanusiaan boleh dilihat sebagai sebuah strategi untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan, tanpa melukai dan merendahkan atau unjuk kekuatan yang justru berpotensi memicu ketegangan.

Itulah cara Indonesia merawat persahabatan sekaligus memperkuat pengaruh dan kepemimpinan di kawasan….

Kerabat Kerja

Penulis: B Josie Susilo | Fotografer: Kartono Riyadi, Alif Ichwan, B Josie Susilo Hardianto | Videografer: B Josie Susilo | Infografik: Luhur Arsiyanto Putra | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata, Yosef Yudha Wijaya | Produser: Prasetyo Eko P

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.