KARIA di KALEDUPA

Tradisi khas dari daerah Sulawesi
tentang sebuah proses perjalanan
menuju masa kedewasaan

Tradisi Karia yang hidup di sebagian masyarakat Sulawesi Tenggara, 17-18 September 2016, diadakan di Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Tradisi tersebut dilangsungkan sebagai bagian dari Festival Barata Kaledupa yang digelar 17-24 September. Festival itu digelar dengan melibatkan sejumlah pihak, di antaranya Kaledupa Island Tourism Group yang diinisiasi lembaga Swisscontact, Kementerian Pariwisata, dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.

Sejumlah makna terkandung dalam tradisi ini. Akan tetapi, dapat digambarkan secara umum bahwa ini merupakan proses pendewasaan seseorang. Peralihan menuju masa dewasa, atau yang biasa dikenal dengan periode akil balig.

Pada hari pertama, Sabtu, sejumlah peserta laki-laki diarak dengan berjalan kaki dari pelataran Masjid Bente di Desa Ollo Selatan menuju Lapangan Ambewa. Jaraknya sekitar 3 kilometer dengan sejumlah perbukitan yang mesti dilalui. Iring-iringan manusia yang mengarak peserta laki-laki, atau yang disebut juga dengan henauka nu mo’ane, sejak dari pelataran Masjid Bente terus bertambah banyak seiring dengan perkampungan warga yang dilewati. Sebagian orang yang menonton, belakangan turut pula bergabung dalam iring-iringan.

Panji-panji ditegakkan dan para pemuda bergantian mengusung bendera kebesaran itu hingga ke lapangan tujuan. Cuaca panas terik tidak dihiraukan, termasuk persediaan air mineral dalam kemasan botol yang dijajakan di warung-warung pinggir jalan. Kontur medan yang naik turun juga tak lagi dipedulikan. Hampir semua orang larut dalam kegembiraan. Sebagian ekspresi kegembiraan itu juga ditunjukkan orang-orang dengan sejumlah petasan kembang api yang ditembakkan ke atas.

Di antara orang-orang tersebut, ada Denis (7) yang ditemani ayahnya, Suiadi (51). Mereka tinggal di Desa Balasuna Selatan, di mana cumi-cumi dan ikan laut menjadi komoditas yang diandalkan sebagian warganya. ”Ini merupakan acara sunatan bagi anak laki-laki dan pingitan bagi perempuan,” kata Suiadi. Ia mengenang masa lalunya saat Karia masih kerap dilakukan. Biaya yang besar memang membuat hajatan itu cenderung diselenggarakan segelintir pihak, termasuk pemerintah yang tahun ini menggelarnya dalam rangkaian Festival Barata Kaledupa.

Pada hari di mana anak laki-laki diarak itu, peserta perempuan menunggu di rumah, dikenal sebagai proses sombo atau pingitan, yang idealnya dilakukan selama beberapa hari tanpa menginjak tanah. Rambut panjang peserta perempuan dilekati dengan cairan lengket bernama ongka. Orang-orang setempat menyebut bahan itu sebagai campuran getah damar yang diolah bersama minyak.

Pada Hari Minggu, giliran peserta perempuan diarak, didominasi peserta yang menggunakan tandu dalam prosesi bernama henauka nu wowine. Para peserta ini dijemput dari rumah masing-masing untuk diantar menuju lapangan berkumpul. Mereka digotong oleh sejumlah laki-laki dewasa menuju Lapangan Ambewa.

Berbeda dengan prosesi sehari sebelumnya, di mana waktu berangkat dilakukan secara berbarengan dari satu lokasi, prosesi hari kedua dilakukan secara terpencar, baik menyangkut ruang maupun waktunya. Peserta perempuan dijemput di rumah masing-masing, kapan saja mereka dirasa siap untuk mulai diarak. Selama perjalanan, orang-orang meneriakkan kalimat leggo paka koada. Kalimat ini diteriakkan, baik dalam prosesi di hari pertama maupun hari kedua.

Kalimat tersebut benar-benar diteriakkan secara emosional dan cenderung dapat membuat sebagian orang yang tidak paham untuk menerimanya sebagai luapan amarah. Namun, sesungguhnya kalimat berarti ”lenggang (kami melenggang, berjalan) dan kami tidak meminjam (pakaian dan seluruh yang dikenakan atau dipergunakan)” itu bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebanggaan personal. Sebuah pernyataan tentang konsep kemerdekaan seorang individu dari utang atau pinjaman.

Karena terkait dengan transisi menuju akil balig, Karia juga lekat dengan momen sunatan atau khitan. Di abad-abad sebelumnya, Karia memang menjadi semacam penanda bahwa seseorang itu telah memeluk agama Islam. ”Supaya anak-anak kita menjadi baik,” kata Bupati Wakatobi Arhawi sebelum ia turut mencukur rambut sembilan bayi yang menjadi salah satu sunah dalam agama Islam. Arhawi juga menegaskan komitmennya untuk mendukung festival itu pada tahun-tahun mendatang.

Faktor lain yang melatarbelakangi komitmen tersebut adalah telah ditetapkannya Wakatobi sebagai salah satu di antara 10 tujuan wisata yang pembangunannya menjadi prioritas pemerintah pusat. Sembilan lainnya adalah Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Mandalika, Labuan Bajo, dan Morotai.

Penulis dan Fotografer

  • Ingki Rinaldi

Desainer dan Pengembang

  • Elga Yuda Pranata

Produser

  • Prasetyo Eko Prihananto