KompasKehutanan

Menjaga Hutan Menjaga Dunia

Perusakan hutan tak hanya berlansung sehari dua hari. Pohon ditebangi, hutan digunduli. Selama beberapa dekade, hutan dieksploitasi karena keserakahan. Jika tidak berhenti, bumi akan mati.

Pernahkah Anda terbang di atas hutan-hutan negeri ini dan menyaksikan hutan-hutan yang mulai menggundul? Menyaksikan lahan-lahan tandus, yang seolah menawarkan masa depan yang suram? Menghilangnya pepohonan di negeri ini ternyata bukan terjadi dalam satu, dua tahun terakhir, tetapi warga negeri ini sudah membabatinya sejak puluhan tahun lalu.

Hari Kamis, 3 Juli 1969, Kompas secara khusus menerbitkan artikel berjudul, ”Penebang2 Kaju di Kalimantan Tengah Bergelimang Uang”. Dalam artikel itu dilukiskan betapa duit, ketika itu, ”melimpah ruah” di Kalimantan Tengah bersamaan dengan meningkatnya aktivitas penebangan kayu secara liar dan serampangan.

Para penebang kayu, saat itu, dengan mudah dapat menerima penghasilan Rp 1.000 per hari. ”Banjir” uang membuat para penebang kayu seolah melempar uang begitu saja saat membeli arloji tangan dan radio transistor 4 band.

Pada Kompas, 23 Agustus 1973, ada pula artikel menarik berjudul, ”Kawin Cerai di Kaltim”. Dilaporkan dalam artikel itu, terdapat 200-300 karyawan asing yang bekerja di usaha penebangan kayu.

”Di hutan sepi. Uang di kantong padat. Banyak dari karyawan-karyawan asing mengawini wanita-wanita setempat. Tidak melalui catatan sipil, cukup menurut adat suku setempat,” ditulis dalam artikel itu. Lebih lanjut ditulis, ”Karyawan-karyawan asing tidak menetap selama-lamanya. Di sinilah timbul masalah sebab para istri dan anak-anak itu terlantar.” Kawin-cerai pun terjadi.

Penebangan hutan juga membawa persoalan. Dari Pontianak dilaporkan ribuan orang telah meninggalkan kampung halamannya demi menjadi buruh penebang kayu. Akibatnya, pertanian menjadi telantar. Persoalannya, uang dalam jumlah banyak yang didapat penebang kayu kerap tidak dapat dibawa pulang untuk keluarga. Uang itu kemudian habis begitu saja untuk belanja keperluan yang tidak terlalu diperlukan atau ludes saat bermain judi.

Kompas/Indrawan SM
Penebangan hutan di Kalimantan pada 15 Juli 1973.

Beberapa dekade kemudian, tepatnya pada Minggu, 10 Januari 1993, bertempat di lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Presiden dan Ny Tien Soeharto, Wapres dan Ny EN Sudharmono, Gubernur DKI Jakarta dan Ny Surjadi, meresmikan Taman Medan Merdeka. Kepala negara ketika itu mengirimkan sinyal kuat kepada bangsa ini soal penghijauan. Kawasan Medan Merdeka dulu memang belum sehijau sekarang. Di kawasan Medan Merdeka, tepatnya dekat sisi Medan Merdeka Selatan, bahkan terdapat kolam renang hingga sentra permainan boling.

Kini, warga Jakarta cukup beruntung Taman Medan Merdeka sepenuhnya menghijau. Meski taman itu kini dipagari, harus dimaknai positif demi masa depan taman itu sendiri. Sinyal kuat yang dulu dikirimkan Presiden Soeharto kiranya tercapai, yakni tetap ”hijaunya” kawasan Taman Medan Merdeka. Di hari itu, 10 Januari 1993, Presiden Soeharto juga mengumumkan bahwa tahun 1993 adalah Tahun Lingkungan. Secara bersamaan, Presiden juga menetapkan tanggal 5 November sebagai Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional.

Apakah sebuah kebetulan ketika pada 10 Januari, Presiden Soeharto mengumumkan sejumlah hal penting terkait lingkungan? Ternyata tidak. Tiap tanggal 10 Januari, masyarakat internasional merayakan hari sejuta pohon sedunia. Di Taman Medan Merdeka, dalam acara pencanangan itu, Presiden Soeharto kemudian menanam pohon beringin kembar. Ya, beringin kembar seperti di alun-alun sejumlah keraton di Jawa. Jadi, Anda tidak salah baca.

Namun positifnya, Presiden Soeharto juga mengajak masyarakat di seluruh tanah air untuk ikut menanam pohon sebagai realisasi dari Gerakan Menanam Sejuta Pohon. Tajuk rencana Kompas, Selasa, 12 Januari 1993, pun memberikan pujian. ”Kesadaran tentang lingkungan hidup tumbuh dalam kalangan pemerintahan dan masyarakat mendahului kehadiran Gerakan Hijau di berbagai negara industri. Hidup di tengah lingkungan alam, bersama alam dan dari alam, amat kuat pada masyarakat petani seperti negeri kita,” demikian bunyi tajuk rencana di hari itu.

Kompas/Hikmat Ishak
Pemandangan hutan Riau dari udara kelihatan bopeng dan teriris-iris, Januari 1980. Hutan Riau dulu adalah sebuah legenda. Syahdan, di rimba Mahato, kawasan di hulu sungai Rokan, terbentang hutan-hutan yang sangat subur. Rimba itu lebat dan jarang ditempuh manusia. Konon hutan itu sangat angker. Pohonnya tinggi-tinggi dan gelap. Tak seorang pun penduduk berani masuk kesana. Orang yang masuk tak bisa keluar lagi. Banyak orang hilang di rimba Mahato itu. Legenda itu lenyap seiring lenyapnya hutan.

Beberapa bulan setelahnya, Presiden Soeharto menginstruksikan Menteri Kehutanan Djamaloedin Soeryohadikoesoemo untuk mengawasi lebih ketat para pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). ”Aparat Departemen Kehutanan harus terjun ke lapangan dan jangan melakukan kontrol dari belakang meja,” kata Kepala Negara di kediaman pribadinya di Jalan Cendana, Jakarta, Senin (22/3/1993). Jalan Cendana ketika itu menjadi salah satu pusat kekuasaan. Presiden Soeharto pun main perintah dari kediamannya itu.

Terkait keberadaan hutan lindung, Presiden Soeharto bahkan meminta agar jangan diutak-utik. Meski kata Presiden Soeharto, ”Kalaupun hutan lindung akan dimanfaatkan, harus dibicarakan dulu dengan instansi terkait” (Kompas, 23/3/1993). Dengan tegas, Presiden juga menyuruh Menhut agar berkoordinasi dengan Polri dan Ditjen Bea Cukai untuk menanggulangi peningkatan pencurian kayu. Terlebih lagi, kayu-kayu curian itu tidak sekadar dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat negeri ini, tetapi justru hendak diekspor.

Meski demikian, bukan perkara mudah untuk mengawasi negara sebesar Indonesia. Hutan kita berserakan di ribuan pulau. Menteri Djamaloedin pun bersyukur pengawasan terhadap hutan dapat lebih diintensifkan dengan memanfaatkan helikopter yang disediakan Presiden. ”Dengan demikian, penelitian melalui darat yang makan waktu beberapa hari dapat dikurangi,” ujarnya. Kata-kata Djamaloedin pernah dibuktikan Kompas, yang mengikuti operasi pencurian kayu. Ternyata, dibutuhkan waktu nyaris dua hari dari pos polisi hutan menuju tepi hutan, belum lagi operasi harus diteruskan dengan berjalan kaki menuju tempat kejadian perkara.

Kompas/Hendra A Setyawan

Ratusan hektar lahan ditanami kelapa sawit di kawasan Maredan, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (31/8/2016). Data dari Dewan Minyak Sawit Indonesia menyebutkan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) nasional Juli 2016 bisa mencapai 2,9 juta ton atau naik sekitar 200 ribu ton dibanding Juni 2016.

Atas nama keserakahan

Sekeras apa pun figur dan wibawa Presiden Soeharto, ketika itu, ternyata pada 1993 saja, penggundulan hutan terus terjadi. Hutan terus dibabat habis. Kompas, Selasa, 9 Maret 1993, misalnya, melaporkan kawasan hutan seluas 300 hektar di kompleks Hutan Rinjani di Pulau Lombok dalam kondisi gundul. Ini bukan sekadar rilis, melainkan wartawan Kompas sendiri yang masuk hingga tengah hutan untuk melihat langsung kondisinya.

Yang menjadi keprihatinan adalah penggundulan hutan bukan sekadar menghancurkan hijaunya dedaunan dan pepohonan. Rusaknya Hutan Rinjani mengajarkan kita tentang ancaman terhadap sumber-sumber mata air. Air irigasi, untuk pertanian bagi beberapa wilayah di Lombok Tengah dan Lombok Timur bagian selatan, memang berasal dari hutan tersebut. Lombok juga sebenarnya cukup subur sehingga minimnya pasokan air irigasi dapat mengancam produksi padi di Lombok. Kompas, 1 November 1994, kembali melaporkan terancamnya Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) akibat perambahan dan pembabatan hutan.

”Merupakan modus baru, para perambah sengaja merambah dan menebangi pohon-pohon yang berada di tengah hutan agar tidak kelihatan dari luar. Tapi kalau dari udara, tampak jelas sudah banyak yang gundul dan keropos,” kata Zaihud Sagala, Kepala Resort TNGL Sungai Lepan kepada Kompas, Sabtu (29/10/1994). Bahkan, ketika itu diperkirakan, TNGL di Kabupaten Langkat yang telah dirambah mencapai 15.000 hektar. Dari pengamatan Kompas di lapangan, diketahui bahwa gerak perambah makin berani karena diduga bekerja sama dengan oknum-oknum instansi tertentu.

Kondisi Hutan di Sejumlah Provinsi

Diolah dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014

Pada pertengahan 2000-an, di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat, bahkan sempat ditemukan puluhan kilometer jalan log (jalan kayu) menuju perbatasan Serawak, Malaysia. Turut disita dalam sebuah penyergapan oleh Polda Kalimantan Barat tidak hanya cangkul, tetapi juga alat berat seperti buldoser.

Benarkah masih terjadi perusakan hutan pada era reformasi ini? Ya, pada faktanya perusakan hutan tetap berlangsung setelah reformasi. Tetap berlangsung penebangan dalam era yang kita pikir ditopang oleh kekuatan rakyat sendiri, bukan oleh rezim tertentu. Hal ini ternyata dipicu oleh asumsi publik bahwa setelah terbebas dari kekangan rezim Orde Baru, mereka dapat bertindak sesuka hati. Tidak heran bila kemudian warga berbondong-bondong masuk hutan, bahkan mengklaim hutan yang dulu mereka nilai diserobot oleh pemerintah Orde Baru.

"Gerak perambah makin berani karena diduga bekerja sama dengan oknum-oknum instansi tertentu"

Tahun 2000, misalnya, Kompas melaporkan pembabatan hutan di Kalimantan Tengah. Penyebab utama deforestasi adalah maraknya perambahan dan pembabatan kawasan Taman Nasional (TN) Tanjungputing dan pembukaan besar-besaran lahan hutan untuk Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar, konversi lahan hutan ke nonhutan seperti perkebunan, dan penebangan kayu secara liar di dalam ataupun di luar kawasan hutan. Dari pengamatan, saat pembukaan PLG kawasan hutannya menjadi rusak parah, hingga terjadi pembabatan di sejumlah tempat termasuk di luar Tanjungputing. Bahkan, sejumlah kanal yang dibangun dalam proyek gambut justru digunakan untuk mengangkut kayu tebangan liar karena akses kanal tersebut langsung ke Sungai Kahayan.

Penjarahan hutan pun terjadi di Jawa. Tidak hanya di pulau-pulau luar Jawa yang masih terdapat hutan lebat. Pada 1999-2000, misalnya, terjadi penjarahan hutan jati di Jawa Tengah oleh penduduk. Penjarahan dan penebangan pohon jati secara liar meningkat dari 120.000 pohon per tahun menjadi 1,2 juta pohon pada 1999. Hutan yang gundul di Jawa Tengah pun tercatat mencapai 50.000 hektar lebih. Menurut Kepala Humas Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Kamil Wirasuparta, Rabu (19/7/2000) di Semarang, sebelum 1997 penebangan liar masih bisa dikendalikan oleh polisi khusus hutan. Namun, setelah reformasi, masyarakat seperti tersihir euforia negatif untuk menebangi hutan.

Mengapa Hari Sejuta Pohon Sedunia sangat penting untuk dirayakan dan dilaksanakan? Karena ancaman terhadap hutan sangat beragam, tidak hanya berasal dari penebangan pohon, yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan perut masyarakat itu sendiri. Pada awalnya, faktor ekonomi menyebabkan masyarakat menebangi hutan meski mereka sendiri akhirnya tersapu oleh bencana alam akibat rusaknya hutan. Namun, yang tidak kalah seramnya adalah deforestasi terkadang dilakukan atas nama keserakahan.

Kompas/Ahmad Arif
Foto bertanggal 25 Maret 2007 ini memperlihatkan Bandar (29), warga Sakai yang tinggal di Dusun Pangkalan Merbau Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir berdiri di atas tonggak kayu di bekas hutan ulayat Suku Sakai. Pada tahun 2002-2004, hutan ulayat ini dihancurkan oleh pembalak kayu. Kini, warga Sakai kehilangan sumberdaya hutan yang sangat berharga bagi kehidupan mereka.

Peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Vid Adrison, mengatakan, peningkatan konversi hutan kerap terlihat dua tahun hingga setahun menjelang pemilihan umum kepala daerah (pilkada). ”Izin dikeluarkan Kementerian Kehutanan. Namun, rekomendasi diajukan daerah,” katanya seusai paparan dalam Forum Kajian Pembangunan di Universitas Sriwijaya, Palembang (Kompas, Rabu, 12/3/2014).

Dua tahun sebelum pilkada, konversi biasanya untuk kelapa sawit, dikerjakan terhadap hutan nonkonservasi. Namun, setahun menjelang pilkada upaya konversi hutan merambah hutan konservasi. Akan tetapi, tidak ada yang lebih mengenaskan daripada kehancuran hutan dan pepohonan di dalamnya akibat kebakaran.

Kebakaran hutan dan lahan gambut pada 2015 menghancurkan 2,1 juta hektar lahan Indonesia. Itu bukan luasan lahan yang dapat dianggap remeh. Kebakaran hutan itu bahkan ditaksir menyebabkan kerugian sekitar Rp 221 triliun (Kompas, 16/12/2015). Akibat dari kebakaran hutan, sesungguhnya tidak saja kehancuran hutan, melainkan juga asap yang mengganggu makhluk hidup. Hubungan Indonesia dan negara-negara tetangga pun mengalami ketegangan.

Deforestasi

Lembaga Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch pada 2001 menerbitkan hasil kajian bahwa tutupan hutan Indonesia pada akhir 1990-an tinggal 98 juta hektar. Padahal, pada 1950 masih ada 162 juta hektar hutan di negeri ini.

Menghilangnya hutan otomatis mengancam kehidupan hayati Indonesia. Padahal, kekayaan hayati negeri ini sungguh luar biasa. Dengan luas daratan yang hanya 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, ternyata diproyeksikan di Nusantara berkumpul 16 persen dari semua jenis burung, 10 persen dari semua jenis mamalia, dan 11 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia. Ini belum termasuk bencana alam seperti longsor dan banjir. Kemudian, yang tidak kalah menyeramkannya adalah konflik antarwarga hingga kriminalisasi terhadap warga.

Kriminalisasi ini mengemuka ketika deforestasi bertujuan untuk menyiapkan lahan perkebunan. Pada akhirnya terjadilah gesekan ketika ada warga yang tidak mau angkat kaki dari hutan-hutan yang mereka anggap milik leluhur mereka sejak berabad silam. Singkat kata, ada persoalan-persoalan turunan yang timbul dari deforestasi. Penebangan hutan, apalagi penebangan liar, tidak sekadar mengakibatkan ”lenyapnya” pepohonan, tetapi mengganggu segenap isi hutan berikut manusia yang berdiam atau tidak berdiam di dalam hutan.

Kompas/Megandika Wicaksono
Seekor bayi orangutan jantan usia 2 tahun diserahkan warga bernama David (42) ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Kamis (3/12/2015), di Palangkaraya. Orangutan ditemukan di jalan antara Desa Berang Jun dan Desa Parempei, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. David menemukannya sepulang kampanye salah satu calon gubernur Kalteng. Sepanjang 2015, BKSDA Kalteng telah menerima 47 orangutan. Habitat orangutan rusak akibat pembukaan kebun sawit dan kebakaran.
Kompas/Megandika Wicaksono
Orangutan liar jantan berusia 20 tahun dengan bobot 70 kilogram memasuki perkebunan buah milik warga dan akan dipindahkan ke Taman Nasional Sebangau, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (22/8/2016). Selain orangutan itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Kalimantan Tengah dan Yayasan Borneo Orangutan Survival juga melepasliarkan seekor beruang madu betina usia 2,5 tahun hasil sitaan dari warga pada 2014 lalu. Habitat asli satwa liar ini rusak akibat alih fungsi lahan jadi perkebunan sawit dan kebakaran hutan.

Aparat hukum sesungguhnya telah lama bergerak untuk memburu para penebang liar. Tidak hanya memburu penebang, tetapi juga otak dari alih fungsi lahan, dan pemberian izin yang berujung pada rusaknya hutan kita. Supaya lebih memberikan penekanan, Komisi Pemberantasan Korupsi telah bergerak untuk menelisik korupsi di sektor kehutanan. Salah satu hasilnya adalah dugaan korupsi terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam yang diduga mengubah peruntukan kawasan hutan lindung menjadi tambang.

Namun, sejauh ini hukuman yang dijatuhkan hakim bagi perusak hutan dinilai masih rendah. Hukuman berat hanya dikenakan bagi dua koruptor, yaitu Teuku Azmun Ja’far (mantan Bupati Pelalawan, Riau) yang divonis 11 tahun penjara dan Rusli Zainal (mantan Gubernur Riau) yang dihukum 14 tahun penjara. ”Kalau dilihat dari keseluruhan perkara, saya mencatat kerugian negara dan suap yang ditimbulkan di sektor kehutanan sangat besar. Jumlah kerugian negara yang ditangani KPK Rp 2,2 triliun dengan nilai suap 17.000 dollar Singapura dan Rp 8,657 miliar,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho (Kompas, 6 September 2016).

Kajian KPK bahkan lebih dahsyat lagi. Negara kehilangan potensi penerimaan di sektor kehutanan diprediksi sebesar Rp 15,9 triliun per tahun. Akan tetapi, kerugian negara akibat pembalakan liar dapat mencapai Rp 35 triliun per tahun. Sungguh luar biasa. Tidak terbayangkan begitu besarnya kerugian negara akibat penebangan ilegal. Uang sebesar Rp 35 triliun bahkan dapat untuk membangun setidaknya 10 ruas jalan tol per tahun.

Upaya rakyat

Hukum biarlah difokuskan pada upaya-upaya untuk memberikan efek jera terhadap para perusak hutan. Hukum biarlah menyasar aktor-aktor intelektual perusak hutan. Namun, ketika hukum bekerja bukan berarti kita harus menunggu kerja aparat hukum. Ketika warga dunia memperingati hari sejuta pohon, bukan berarti hanya pemerintah semata yang menanam pohon. Gerakan tersebut harus juga diikuti oleh seluruh warga, yang terpanggil untuk menghijaukan lingkungan.

"Bila setiap orang di negeri ini meneladani Sebastian Tande maupun Sambas, sesungguhnya kita dapat optimistis hutan kita bisa lestari"

Di bantaran Kali Pesanggrahan di Cinere, Jakarta Selatan, misalnya, ada Babe Idin yang menanami bantaran kali dengan pepohonan khas lokal. Bantaran kali tersebut ditanami supaya tidak terjadi erosi dan supaya sumber-sumber air tetap terjaga. Selama puluhan tahun, Babe Idin telah menanami sendiri bantaran kali tersebut. Sosok Kompas, 31 Oktober 2016, misalnya, mengangkat kisah Sebastian Tande, yang menyulap tanah tandus menjadi hutan seluas 20 hektar. Hutan itu berada di Kampung Ngorageko dan Kampung Lekogo yang masuk wilayah Desa Keligejo, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Di hutan yang berada di lahan miring Bukit Aimere itu, Sebastian Tande menanam tumbuhan pohon cengkeh, kemiri, pisang, kopi, mangga, nangka, vanili, cokelat, mahoni, sengon, merbau, angsana, dan tanaman berumur panjang lainnya. Sebelum dihijaukan oleh Sebastian Tande, tanah tandus itu di musim hujan menjadi labil dan mengancam keselamatan warga. Pada 1981, misalnya, tanah miring di kawasan itu longsor dan menewaskan empat warga Kampung Ngorageko.

Kompas/Iwan Setiyawan
Hutan tropis dan rawa-rawa terbentang luas di wilayah pedalaman Kabupaten Mappi, Papua, Jumat (23/11/2012). Hutan di Papua merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia yang kini terancam rusak. Menurut organisasi lingkungan Greenpeace, tahun 2005- 2009 luasnya masih mencapai 42 juta hektar dan tahun 2011 hanya tersisa 30,07 juta hektar. Tiap tahun rata-rata deforestasi di papua sebesar 143.680 hektar.

Warga Indonesia diam-diam sungguh berdedikasi. Bahkan, tidak saja bebukitan yang ditanami kembali, tetapi juga pesisir. Sosok Kompas, Jumat, 9 September 2016, misalnya, memperkenalkan sosok Sambas. Sambas adalah warga Kabupaten Sukabumi, yang kini aktif menanam bibit bakau di Muara Cikodehel di Pantai Cipaku, Desa Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sambas, dibantu rekan-rekannya dari Kelompok Pengawas Masyarakat Genteng Nusantara, tidak hanya menanam bakau, tetapi juga butun (Barringtonia asiatica) dan ketapang (Terminalia catappa).

Kerja Sambas adalah demi menghijaukan pesisir Pantai Cipaku. Dan, tanpa disadarinya, penanaman bakau itu boleh jadi kelak akan menyelamatkan warga setempat bila suatu hari nanti, tanpa dapat diprediksi, terjadi hantaman tsunami dari Samudra Hindia. Sambas menuntaskan pekerjaannya dengan cara sederhana, yakni hanya dengan menancapkan bibit kecil bakau di pesisir. Namun, dampaknya sangat besar bagi lingkungan demi perlindungan pesisir.

Demikian pula hasil kerja Sebastian Tande, yang mengembalikan kesegaran lingkungan, dan burung-burung yang berkicau kembali di Desa Keligejo. Bencana longsor juga akhirnya tidak lagi mengancam warga setempat. Bila setiap orang di negeri ini meneladani Sebastian Tande maupun Sambas, sesungguhnya kita dapat optimistis hutan kita bisa lestari. Minimal, makin sedikit terjadi penebangan hutan, dan bumi ini menjadi tempat yang lebih nyaman, tidak saja bagi kita, tetapi juga bagi anak-cucu kita.

Menurut data Forest Watch Indonesia, setiap menit hutan seluas sekitar 3 lapangan bola hancur atau 500 meter persegi tiap detiknya
Artinya, dalam waktu

00:00:00

sejak Anda membuka laman ini, rata-rata hutan seluas
meter persegi mengalami kerusakan

Kerabat Kerja

Penulis: Haryo Damardono | Fotografer: Muhammad Syaifullah, Iwan Setiyawan, Megandika Wicaksono, Hikmat Ishak, Ahmad Arif, Hendra A Setyawan, Indrawan SM, AR Budidarma | Desainer & Pengembang: Elga Yuda Pranata | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Nasru Alam Aziz

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.