Tetap Juara meski di Luar Lintasan

Tetap Juara meski di Luar Lintasan

Panggung atletik Olimpiade Los Angeles 1984 menorehkan sejarah emas bagi olahraga Indonesia ketika sprinter ”Merah Putih”, Purnomo, mencapai semifinal lari 100 meter. Bukan hanya itu, kuartet 4 x 100 meter Indonesia yang diperkuat Purnomo, Christian Nenepath, Johannes Kardiono, dan Ernawan Witarsa juga memecahkan rekor nasional estafet 4 x 100 meter putra. Di mana kini Purnomo dan Ernawan Witarsa?

Sore di Lapangan Pajajaran

Senja sudah turun saat Ernawan Witarsa (52) baru datang ke Lapangan Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu pertengahan April lalu. Masih dengan baju seragam bank tempatnya bekerja, dia meminta tujuh anak asuhnya, atlet atletik Jabar, bersiap di garis start. Sebagian lainnya bersiap di beberapa titik lari estafet. ”Tolong dipegang pijakan startnya biar tidak lepas,” kata Ernawan saat salah seorang pelari gagal melesat karena papan startnya bergeser.

Sejak 2002, Ernawan menjalani peran ganda. Pagi hingga sore hari, ia bekerja di salah satu bank swasta di Bandung. Baru sepulang kerja, di antara waktunya yang terbatas, ia menjalani kariernya sebagai pelatih atletik Jabar.

Seperti sore itu, hanya beberapa kali latihan start dan lari estafet, gelap semakin menyelimuti lintasan lari. Latihan pun terpaksa dihentikan karena jarak pandang semakin terbatas. Lampu di lapangan tak lagi mendukung. ”Nanti saya kirim modul latihan untuk memperkuat pola latihan kalian,” kata Ernawan kepada atlet yang diasuhnya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ernawan Witarsa, pelari Olimpiade 1984 dan pelatih lari

Sudah berkali-kali Ernawan mengungkapkan keterbatasan ini kepada anak asuhnya. Dia bahkan mempersilakan mereka mencari pelatih lain jika waktu latihan dirasa belum ideal.

Namun, alih-alih pindah, anak asuhnya memilih setia. ”Saya sudah cocok dengan pelatih. Kami bisa curhat. Selain program latihan, dia rajin mengingatkan kami agar tak lupa sekolah,” kata Anandra Wahyu (19), salah seorang atlet didikan Ernawan.

Hari itu, Anandra kembali menumpahkan kegalauan suasana hatinya yang belum sepenuhnya fokus berlatih lari. ”Kira-kira kenapa ya, Pak, saya belum merasa enak ketika lari?” tanya Anandra. ”Kurang istirahat sepertinya. Kurang tidur?” kata Ernawan. ”Iya, memang, sedang banyak tugas di kampus, Pak,” ujar Anandra, mahasiswa semester II di salah satu perguruan tinggi di Bandung. ”Memang harus diatur waktunya, tetapi, ingat, jangan lupakan sekolah,” katanya.

Era keemasan tidak selamanya

Pola pikir Ernawan memang tidak biasa. Bagi dia, prestasi anak asuhnya bukan sekadar di lintasan lari. Garis finis tak akan selamanya diburu karena usia senja harus dihadapi, dan sejak itulah atlet senior sulit bersaing lagi. Sebaliknya, pendidikan menjadi modal berlari di masa depan. ”Kalau ada jadwal bertanding dan ujian sekolah yang bertabrakan, saya minta mereka mengutamakan ujian,” katanya.

Pendapat itu bukan omong kosong. Dia sudah membuktikannya. Saat kariernya melesat di dunia atletik, dia tak berhenti sekolah. Ketika merasa tubuhnya tak kuat lagi, ijazah yang dia pegang menjadi modal menata hidup. ”Jadi atlet ada batas waktunya. Harus ada pijakan apabila nanti badan sudah tak kuat lagi. Kalau hanya mengandalkan negara, tidak ada jaminan bisa sejahtera,” ujar lulusan STIE Perbanas Jakarta tahun 1998 itu.

Jadi atlet ada batas waktunya. Harus ada pijakan bila nanti badan sudah tak kuat lagi. Kalau hanya mengandalkan negara, tidak ada jaminan bisa sejahtera

Pemikiran Ernawan jelas luar biasa. Langkahnya menata hidup sama panjang saat sukses jadi atlet kebanggaan negeri ini. Dia adalah satu dari kuartet pelari 4 x 100 meter di Olimpiade Los Angeles 1984 yang melaju hingga semifinal. Saat itu, usianya baru 18 tahun. Dia jadi yang termuda dibandingkan tiga pelari lainnya, yaitu Purnomo, Christian Nenepath, dan Johannes Kardiono.

Menjalani dua dunia

Purnomo menjalani hidup yang mirip dengan Ernawan, bahkan di era sebelum Ernawan. ”Hari-hari menjadi atlet, era 1980-an, ibarat saya menjalani dua dunia. Yang satu, hari-hari latihan keras hampir setiap hari, pagi dan sore. Satunya lagi, kuliah di STIE Perbanas di sela-sela jadwal latihan,” kata Purnomo, awal Mei lalu, di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten.

Ia mengungkapkan, bukan perkara gampang menjalani hari-hari dengan berlatih sekaligus kuliah. Latihan pada pagi hari selalu membuatnya letih, apalagi standar latihan pelari nasional seperti dia. Belum sempat beristirahat cukup, ia harus mandi dan bersiap menuju kampus. Siang sepulang dari kampus, ketika lelah juga belum sirna, Purnomo muda mesti menyiapkan diri menghadapi sesi latihan sore.

KOMPAS/Kartono Ryadi

Dalam pertandingan atletik nomor lari estafet 4 x 200 meter hari Rabu (23/9/1987) di stadion Madya, hingga penyerahan tongkat estafet terakhir dari Ernawan Witarsa kepada M. Fachry, kuartet Indonesia masih memimpin. Namun akhirnya regu Muangthai dengan pelari jangkarnya, Sumet Promna, mampu memenangkan pertandingan itu.

”Jangan dibayangkan saya ke kampus naik sepeda motor, bahkan mobil. Coba tebak, saya naik apa? Naik metro mini, ha-ha-ha.... Sampai-sampai, sering saya dengar, ada penumpang lain yang nyeletuk, ’Itu kan Purnomo yang pelari itu’. Saya sih diam saja. Positifnya, jelek-jelek begini, banyak juga yang kenal, mungkin karena wajah ada di koran atau televisi,” kata sprinter asal Ajibarang, Jawa Tengah, itu.

Keputusannya untuk kuliah di sela-sela menjadi atlet ditetapkan dengan penuh kesadaran. Ia berpikir, usia emas menjadi atlet sangat terbatas. Ketika harus menyerahkan tongkat estafet kepada yang lebih muda, saat itulah ia tak bisa lagi bersandar pada dunia atletik yang membesarkannya.

Dimulai dari nol

Suami dari RA Endang Irmastiwi dan ayah 4 anak yang semua laki-laki itu mengharumkan nama Indonesia lewat sejumlah prestasi. Sebut saja medali emas 200 meter SEA Games Bangkok 1985 serta medali perak 100 meter dan 200 meter Kejuaraan Asia Jakarta 1985.

Kompas/Muzni Muis

Tujuh atlet atletik 'top' saat ini, semalam mendapat penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olahraga. Salah satu di antaranya Purnomo Mohammad Yudi. Purnomo telah memecahkan rekor nasional lari 100 meter yang bertahan selama 21 tahun atas nama Y.A. Gozal dan Sarengat di kejuaran atletik 27 Maret di Yogya. Dalam gambar dari kiri Menpen Harmoko, Purnomo, Menpora Abdul Gafur dan Ketua PB PASI Bob Hassan.

Namun, prestasi yang menurut dia paling membanggakan tetaplah penampilan di Olimpiade Los Angeles 1984 tatkala ia menembus babak semifinal. Hingga kini, baru Purnomo satu-satunya sprinter Indonesia yang melaju hingga semifinal Olimpiade.

”Tetapi, semua itu saya tinggalkan tahun 1989, ketika saya mengundurkan diri dari dunia atletik yang membesarkan saya, mengubah kehidupan saya menjadi lebih baik, dan telah membuat saya dihargai masyarakat luas. Sejak itu, mulailah saya dengan dunia yang sama sekali baru sehingga semua harus dimulai dari nol,” tuturnya.

Berbagai karier dia jalani, mulai dari pegawai Bank Dagang Negara, kemudian hijrah ke salah satu perusahaan produsen peralatan olahraga dari AS, bertahan 15 tahun. ”Awal 2000-an, bersama seorang teman, saya mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang iklan luar ruangan (outdoor advertising). Mulai dari situlah kehidupan terang sampai 2013,” ujar Purnomo.

Kompas/Julian Sihombing

Ir Christian Nenepath mengangkat tangannya menyatakan kegembiraannya setelah mengungguli saingan terberatnya, Purnomo dari Jawa Tengah, di nomor lari 100 meter putra hari kedua Kejurnas Atletik sekaligus babak kualifikasi PON XII, hari Jumat (16/9/1988). Keberhasilan Christian itu sekaligus merupakan emas pertama bagi Sulawesi Utara.

Setelah vakum selama dua tahun, ia harus rela menerima musibah sakit kanker limfoma atau kelenjar getah bening di perut. ”Mulai saat itu, perjuangan panjang harus saya jalani karena selama beberapa bulan saya menjalani kemoterapi,” ujarnya.

”Vonis” sakit kanker limfoma itu bagai petir di siang bolong. Ini mengingat selama berkiprah sebagai atlet, ia menerapkan pola hidup sehat, misalnya tidur pukul 22.00 atau maksimal pukul 23.00. Menu makan juga disesuaikan dengan standar atlet. Ia juga sama sekali tidak merokok dan minum alkohol. Sehari-hari minum teh dan kopi jarang, ia lebih sering minum air putih.

”Jujur, awal-awal saya menerima kepastian sakit kanker, shock berat. Yang saya pikirkan, bagaimana bisa saya yang bertahun-tahun menjadi atlet dan hidup sehat bisa sakit kanker,” ucap mantan sprinter yang memprakarsai pendirian Asosiasi Olimpian Indonesia (IOA) bersama perenang yang juga olimpian, Lukman Niode.

KOMPAS/Kartono Ryadi

Menteri Penerangan Harmoko, Sabtu malam (9/2/1984) di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta Pusat, menyerahkan piagam dan penghargaan pembina dan olahragawan terbaik 1984 pilihan Siwo/PWI Jakarta. Acara ini merupakan rangkaian dari puncak kegiatan Hari Pers Nasional. Menteri Harmoko tengah menyerahkan plakat dan piagam kepada pembina terbaik Bob Hasan. Di belakang nampak deretan atlet dan pelatih terbaik. Dari kanan Purnomo (Atletik), Ellyas Pical (tinju) Nanda (angkat besi, kelihatan tangan), wakil Elfira Rosa Nasution (renang), Emma Tahapari (atletik), Darmayanti Tamin (catur), Baiq Herawaty Aisyah (ski air), dan Tan Joe Hok, pelatih terbaik.

Kini, untuk ketiga kali ia harus bertarung melawan penyakit kanker limfoma sejak awal Maret 2018. ”Ini ketiga kali saya menderita kanker limfoma. Setelah dua kali sakit yang sama, dua kali pula dinyatakan sembuh,” ujar Purnomo lagi. Ia meyakini, sakit kanker kambuhan ini pasti berujung hikmah. Oleh karena itu, ia tak mau kalah meski biaya berobat sangat mahal dan kas pribadinya terus menipis.

Urgensi pendidikan bagi atlet

Kisah Ernawan dan Purnomo melukiskan betapa pentingnya pendidikan bagi para atlet. Celakanya, meski penting, karena bisa menjadi ”modal” untuk mendapatkan pekerjaan, banyak atlet kerap melupakan pendidikan. Semangat untuk terus menempuh pendidikan, di sela-sela keseharian menjadi atlet, itu pula yang masih digelorakan Ernawan, juga Purnomo.

Buah tak jauh dari pohonnya. Anak sulungnya, Arasy Akbar Witarsa (22), juga meniti jalur yang sama. Meski prestasinya sebagai atlet lari yunior tergolong menjanjikan, dia fokus mengambil pendidikan strata 2 di Fakultas Pendidikan dan Olahraga Universitas Pendidikan Indonesia. Dia kelak ingin menjadi dosen.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Ernawan Witarsa, Atlet Atletik Indonesia

Anaknya yang lain, Akmal Fajar Witarsa (16), juga serupa. Meski beberapa kali juara lari nasional tingkat yunior, ia mantap sekolah. ”Atletik bisa menjadi jembatan untuk meraih sejahtera. Namun, pendidikan juga tak boleh dilupakan,” katanya, mengingat pesan ayahnya. Dia berencana jadi pegawai negeri sipil di bidang olahraga.

Tak hanya di lingkungan keluarga, semangat itu juga ditawarkan Ernawan di sekitar kediamannya di Lembang, Bandung Barat. Lewat lomba atletik amatir yang digelar setahun sekali di sana, ia menjaring bakat muda. Tahun ini, kejuaraan itu sudah menginjak tahun ke-11.

KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Ernawan Witarsa, Mantan Atlet Olimpiade 1984 Los Angeles

Muhamamad Efrilla (18) asal Kayu Ambon, Lembang, menjadi buktinya. Setelah meraih juara kedua dalam lomba lari buatan Ernawan pada tahun 2011, kini ia di ambang mewujudkan mimpi. Pernah menjadi juara di beberapa kejuaraan nasional tingkat yunior, ia ingin masuk TNI Angkatan Darat. ”Sudah beberapa senior masuk TNI dijembatani jalur prestasi olahraga. Atletik membantu saya meraih mimpi,” katanya.

Mendengar bakat muda tak lupa menyiapkan masa depan, Ernawan lega sekaligus bangga. Namun, hal itu tak membuatnya tenang. Di tengah zaman yang semakin pesat, masih berusaha keras membuka pintu sejahtera lainnya. ”Sekarang saya sedang mencari cara bagaimana atlet lari estafet 4 x 100 meter atau 100 meter asal Indonesia juga dikenal khalayak dan bisa mendapat sponsor,” ujarnya.

Kompas/Kartono Ryadi

Sprinter Christian Nenepath akhirnya dinyatakan sebagai juara 100 meter putra SEA GAMES 1985 di Bangkok, Thailand. Foto kiri adalah foto finish kemenangan Christian dan kanan ketika Christian (302) menyentuh garis finish. Pada foto kiri nampak Christian (302) menyentuh garis finish lebih dulu dengan dadanya sedangkan Sumet Promna baru memasukkan tengkuknya.

Dia tak asal bicara. Di luar negeri, hal itu lazim terjadi. Prestasi atlet atletik dilirik sponsor dan membantu mereka menjalani hidup layak. Hal itu, kata Ernawan, mampu membuat atlet tetap fokus pada prestasinya.

Ia melihat, di Indonesia, baru segelintir yang bisa mewujudkannya, seperti atlet maraton atau jarak jauh lainnya. ”Semoga pintu itu bisa dibuka sehingga semakin banyak atlet bisa sejahtera dengan beragam pilihan dan cara terbaiknya,” katanya.

Kerabat Kerja

Penulis: Cornelius Helmy, Ady Prinantyo | penyelaras bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Fotografer: Rony Ariyanto Nugroho, Muzni Muis, Kartono Ryadi, Didit Putra Erlangga Rahardjo | Infografik: Novan Nugrahad | Desainer & Pengembang: Yulius Giann, Miftahul Awali Rizkina, Annisa Octaviana | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.