KompasGamelan di Nusantara

Beragam Wajah Gamelan
di Nusantara

GESER

Ratusan tahun, gamelan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Perkembangan alat musik ini sangat dipengaruhi warna penguasa menghargai seni. Gamelan juga terus berevolusi, menghadirkan beragam wajah.

Selama lebih dari 10 abad, gamelan menjadi bagian penting dari dinamika masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Perkembangan gamelan sangat dipengaruhi warna penguasa menghargai seni. Begitu juga sebarannya.

Di Jawa-Bali saja, ragam gamelan ini setidaknya berdiaspora menjadi empat corak sebagaimana catatan Jennifer Lindsay (1979). Di Bandung, Jakarta, dan Cirebon, masuk corak Sunda. Adapun di Solo, Yogya, dan Madiun bercorak Jawa Tengah. Ada juga corak Bali di Bali. Di Surabaya dan Madura, bercorak campuran antara Jawa Tengah dan Bali.

Pernah suatu masa, corak Hindu mendominasi cara ungkap orang Jawa dalam berkesenian. Lalu, masuk Islam yang meskipun tidak meruntuhkan seluruh bangunan kebudayaan Jawa, membawa pengaruh signifikan.

Mistisisme Islam membantu kebudayaan Jawa bertahan, misalnya zikir, dan terbangan menjadi jenis musik yang berkembang di Mangkunegaran. Lalu, terjadi sinkretisme Islam dan Hindu di Jawa yang antara lain termanifestasi dalam permainan dan gending gamelan. Juga dalam sikap masyarakat terhadap gamelan.

Bagi mereka, gamelan merupakan sarana untuk menyampaikan doa kepada Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, gamelan harus dihormati.

Dilarang melangkahi instrumen gamelan. Juga dilarang berjalan dengan berdiri tegak di depan gamelan, harus jongkok. ”Lutut kita tidak boleh lebih tinggi daripada gamelan. Nanti kualat,” kata Cermo Taksoko (62), abdi dalem yang juga dalang di Keraton Yogyakarta.

GESER

”Lutut kita tidak boleh lebih tinggi daripada gamelan. Nanti kualat”

GESER

Pentas Wayang

Gamelan mengiringi pentas wayang kulit di Keraton Yogyakarta, Sabtu (3/2/2018). Selama ratusan tahun, gamelan menjadi bagian penting dari dinamika masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Kompas/Yuniadhi Agung
GESER

Gamelan Pusaka

Perangkat gamelan pusaka di Keraton Yogyakarta, Minggu (4/2/2018). Perkembangan gamelan sangat dipengaruhi warna penguasa menghargai seni.
Kompas/Yuniadhi Agung

Gamelan diperlakukan sebagai perantara doa. Ini setidaknya dilakukan para abdi dalem di Keraton Solo. Mereka setiap Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon melakukan meditasi. Bermain gamelan dalam kegelapan sambil merapal doa-doa demi kebaikan dan keberkahan hidup.

Selain itu, bisanya sebelum gelaran karawitan atau permainan gamelan dimulai, para pengrawit membakar menyan berikut beragam bunga. Mereka juga merapatkan dua tangan di dada seperti sikap menyembah sembari mengucap salam. Ini sebagai bentuk izin kepada makhluk lain, juga meminta restu kepada Yang Mahakuasa.

Mereka percaya, selain gamelan itu suci dan sakral, juga ada kekuatan lain yang tinggal di sana. Barang siapa bertingkah tidak sopan terhadap gamelan biasanya akan mendapat celaka.

”Pernah suatu hari ada pengunjung yang seenaknya berjalan di depan gamelan. Tak lama kemudian, dia jungkir. Terangkat. Kaki di atas kepala di bawah. Anehnya, rok orang itu tetap mengarah ke lutut, tidak terbuka,” kata seorang abdi dalem. Cerita ini senada dengan paparan KRT Purwaningrat dari KHP Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.

GESER

”Perilaku keseharian masyarakat disandarkan pada falsafah gamelan.”

GESER

Gamelan di Sekaten

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta membunyikan perangkat gamelan pusaka Kyai Guntur Madu di kompleks Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, dalam perayaan Sekaten, Minggu (26/11/2017).
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
GESER

Mainkan Bonang

Seorang pengrawit memainkan bonang yang menandai dimulainya Gending Rambu dan Rangkung dengan gamelan Kyai Guntur Madu bergantian, dengan Kyai Guntur Sari di Bangsal Pradonggo yang terletak di halaman Masjid Agung Surakarta sebelah utara dan selatan, Rabu (8/1/2014).
Kompas/Sri Rejeki

Masyarakat Jawa, terutama orang-orang keraton, memperlakukan gamelan sebagai sumber nilai hidup. Perilaku keseharian masyarakat disandarkan pada falsafah gamelan.

Misalnya, dalam memukul saron, pengrawit segera memites (memegang) bilah saron yang baru saja dipukul sebelum memukul bilah saron lainnya. Tujuannya agar gaung dari bilah saron pertama tidak mengganggu bunyi saron kedua.

Ini bermakna bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seseorang harus tahu kapan waktu berbicara dan kapan waktu untuk diam atau menyimak orang lain berbicara. Dengan demikian, terbangun toleransi dan saling pengertian sehingga kehidupan tidak semrawut.

”Permainan gamelan disebut juga karawitan, yang bisa diartikan sebagai kesemrawutan. Tujuan manusia adalah menyelaraskan. Keselarasan bunyi dalam karawitan itulah yang harus ditiru manusia. Saling memahami satu sama lain seperti dalam kasus saron itu,” ujar pembuat gamelan, Budiyono (37), di Desa Wirun, Jawa Tengah.

GESER

”Keselarasan bunyi dalam karawitan itulah yang harus ditiru manusia.”

Memainkan Gamelan

Gamelan memiliki instrumen seperti saron, bonang, dan gender, dengan beragam bunyi. Klik pada gambar saron untuk memainkan sejumlah lagu daerah berikut ini!

MULAI

Revolusi Gamelan

Cara pandang yang menilai gamelan sebagai sumber nilai hidup itu lantas menjadikan gamelan sebagai barang sakral. Dengan kata lain, kelompok ini tidak setuju atau tidak sepenuhnya setuju dengan gerakan-gerakan desakralisasi gamelan.

Sementara pada saat yang sama, muncul budayawan, musisi, dan akademisi yang memperlakukan gamelan sebagai alat musik. Mereka mencoba melepaskan gamelan dari beban kultural ataupun beban sakralnya.

Ini bisa dibaca sebagai bentuk desakralisasi. Desakralisasi ini antara lain berpegang pada satu keyakinan bahwa sejak nenek moyang mereka, gamelan tidak pernah stagnan.

Dia terus tumbuh sesuai zaman sehingga membentuk orkestrasi seperti yang dikenal di kalangan keraton sekarang. Banyak pengaruh budaya dari luar yang masuk ke dalam gamelan.

GESER

”Mereka mencoba melepaskan gamelan dari beban kultural ataupun beban sakralnya.”

GESER

Perpaduan Gamelan

Pemusik Yoesbar Jaelani dan ASKI Padang Panjang tampil dalam Festival Gamelan Yogyakarta, 2-4 Juli 1995. Sejumlah musisi memadukan gamelan dengan perangkat musim modern.
Kompas/Efix Mulyadi
GESER

Tradisional dan Kontemporer

Gamelan dengan talaan mendekati diatonis merupakan cara Djaduk Ferianto berkomunikasi dengan masyarakat. Ia menampilkannya di Festival Gamelan Yogyakarta, 2-4 Juli 1995, bersama bas gitar, biola, dan seperangkat alat tiup Barat.
Kompas/Efix Mulyadi
GESER

Belajar Gamelan

Musisi Pardiman Djoyonegoro (tengah) memandu sejumlah muridnya memainkan gamelan, Jumat (22/7/2016), di Taman Budaya Yogyakarta. Pardiman dan muridnya tampil dengan menghadirkan pertunjukan akapela, gamelan, dan tari.
Kompas/Haris Firdaus

Mereka antara lain Djaduk Ferianto yang mendesakralisasi gamelan lewat Kua Etnika-nya. Ada juga Dedek Wahyudi, dosen ISI Solo yang bergerak lewat Dedek Gamelan Orchestra. Tentu saja Rahayu Supanggah dan mendiang I Wayan Sadra termasuk di dalamnya.

Djaduk pernah menampilkan gamelan dalam bentuk yang benar-benar berbeda. ”Ketukan-ketukan dalam gamelan saya terapkan dengan menggunakan meja sebagai alat musiknya,” ujar Djaduk tentang penampilannya pada masa awal reformasi bertajuk ”Meja Agak Hijau”.

Sadra pernah menampilkan tetabuhan dan bunyi-bunyian sebagaimana pandai besi membuat gong. Bunyi repetitif, yang bagi sebagian orang memekakkan telinga itu, ditampilkan Sadra sebagai bentuk perlawanan bahwa gong yang suaranya dianggap agung itu lahir dari bunyi-bunyi liar, keras, dan kasar. Dia ingin mengatakan bahwa yang sakral itu pernah sangat profan.

Bengkel Gamelan
GESER
GESER

Gamelan Bali

Sejumlah bocah berlatih menabuh gamelan Bali di Sanggar Tari Warini di Desa Sumerta Kaja, Denpasar Timur, Kota Denpasar, Bali, Minggu (28/1/2018).
Kompas/Riza Fathoni
GESER

Menghibur Tamu

Para pesinden diiringi gamelan menghibur tamu dalam sebuah acara perkawinan di Kota Yogyakarta, Minggu (4/2/2018).
Kompas/Yuniadhi Agung
Tradisional dan Kontemporer
GESER

Dewasa ini, gamelan muncul dengan beragam wajah. Kelompok tradisi bertahan dengan bentuk yang dianggapnya final. Adapun kelompok kontemporer terus mengelaborasi gamelan untuk menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baru.

Maka munculah gamelan genta atau gamelan dengan resonator tabung seperti hasil kreasi Al Suwardi, dosen ISI Solo, yang baru saja tampil di ajang dunia, Europalia. Gamelan terus berevolusi dan berevolusi menghadirkan beragam wajah.

Instrumen Gamelan

Gamelan adalah orkestrasi sejumlah instrumen musik pukul, gesek, petik, dan tiup yang disusun sedemikian rupa.

GESER

Perawit London

Kelompok gamelan asal London, Siswa Sukra, bermain gamelan bersama para pelajar sekolah dasar di Pendapa Perguruan Tamansiswa, Kota Yogyakarta, Kamis (10/8/2017).
Kompas/Haris Firdaus
GESER

Berlatih Gamelan

Peter Szylagi dari Hongaria berlatih gamelan bersama Wisnu Katiran (69), seniman di Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung, Kamis (21/12/2017). Wisnu berusaha melestarikan kesenian tradisional jawa karawitan sejak tahun 1980-an.
Kompas/Vina Oktavia
Gamelan Keraton
GESER

Kerabat Kerja

Penulis: Mohammad Hilmi Faiq | Fotografer: Yuniadhi Agung, Sri Rejeki, Ferganata Indra Riatmoko, Efix Mulyadi, Riza Fathoni, Haris Firdaus, Vina Oktavia, Rony Ariyanto Nugroho | Videografer: Yuniadhi Agung | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Infografik: Novan Nugrahadi, Andri Reno | Desainer dan Pengembang: Elga Yuda Pranata, Yulius Giann | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.