Warisan Budaya dan Wisata Pasar Terapung

Mempertahankan Pasar Terapung, Memajukan Banjarmasin

Di tengah gairah perdagangan dan kehidupan sungai yang menyurut, pasar terapung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan mencoba bertahan. Tradisi berusia ratusan tahun itu sudah selayaknya dilestarikan.

Tanpa regenerasi

Rabu (31/1/2018), Pasar Terapung Kuin, Banjarmasin, sudah sepi meski waktu baru menunjukkan pukul 07.00 Wita. Hanya tersisa beberapa jukung atau perahu yang masih bertahan di muara Sungai Alalak menanti pembeli. Gairah perdagangan, apalagi kehidupan di sungai itu, pun surut.

Lambat laun, jumlah pedagang berperahu yang tersisa hanya sebanyak jari tangan. Ada yang menjajakan buah-buahan, makanan khas seperti soto banjar, serta aneka kue (wadai) dan minuman hangat.

Ketika ada kelotok (perahu bermotor) melaju membelah arus sungai, para pedagang itu menengok. Begitu terlihat rombongan wisatawan, mereka langsung mencoba merapat sedekat mungkin dengan kelotok.

Persoalannya, penjualan di pasar terapung tidak lagi menentu. Pola perdagangan telah bergeser ke darat.

Para pedagang, yang mayoritas ibu yang tidak lagi muda, itu tampak perkasa mengayuh perahu di tengah derasnya arus sungai untuk mencapai kelotok wisatawan. Ini tidak mudah. Terkadang, mereka terbawa arus, dan kembali harus mengayuh. Bila kayuhan terlalu cepat juga meleset saat mendekati kelotok. Maklum saja, jukung tidak mempunyai rem.

Setelah jaraknya cukup dekat, mereka berlomba menawarkan dagangannya. Komoditas yang diletakkan begitu saja di dalam perahu kemudian beralih tangan begitu transaksi dituntaskan.

Kompas/Jumarto Yulianus

Warga memadati pasar terapung mingguan di Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (12/1). Beragam aktivitas warga di siring (tepian) Sungai Martapura, tepat di sisi Jalan Pierre Tendean, Kota Banjarmasin ini, berperan menghidupkan pasar terapung yang jumlahnya semakin berkurang.

Ulun (saya) setiap hari berjualan di sini, dari habis shalat Subuh sampai sekitar jam 9 (pukul 09.00 Wita). Yang membeli biasanya tamu dari luar (wisatawan),” kata Nurainah (55), pedagang buah. Dia lalu menawarkan satu bakul rambutan seharga Rp 20.000, dengan jaminan rasa manis.

Saat Nurainah menawarkan rambutan, Wahidah (47) mendekat. Dia menawarkan jeruk bahkan langsung mengupas satu butir jeruk untuk dicicipi. ”Ini manis. Dua puluh ribu,” kata Wahidah, sambil menunjuk satu kantong keresek jeruk.

Wahidah generasi kedua pedagang pasar terapung. ”Dari kekanakan (kecil), ulun sudah umpat (ikut) mama berjualan. Sekarang meneruskan haja (saja). Daripada kada ada gawian (tidak ada pekerjaan), lebih baik berjualan,” tuturnya.

Persoalannya, penjualan di pasar terapung tidak lagi menentu. Pola perdagangan telah bergeser ke darat. Akibatnya, pedagang pasar terapung kini hanya berharap dari wisatawan yang ramai pada akhir pekan.

”Kalau hari biasa, hasilnya kada menentu. Bisa dapat, bisa juga kada. Kalau Sabtu-Minggu masih bisa dapat Rp 150.000 sampai Rp 200.000,” ujar Wahidah.

Pasar Terapung Kuin memang makin sepi. Sepi dari pembeli, sepi dari pedagang. Abdusani (53), yang telah berdagang sekitar 30 tahun, menjelaskan, Pasar Terapung Kuin pada 2000-an masih cukup ramai. ”Lima tahun terakhir inilah yang sepi,” kata bapak empat anak itu.

”Kalau dulu, orang kampung pun belanja di pasar terapung. Sekarang sudah hampir kada ada lagi. Kalau kada ada tamu (wisatawan), susah juga berusaha macam ini,” kata Arbain (56), yang berjualan kue dan minuman hangat sejak 1978.

KOMPAS/Muhammad Sudarto

Tidak kalah dengan Thailand, di Indonesia pun mempunyai pasar terapung (floating market) yang jauh lebih ramai. Setiap pagi hari pukul 05.00-08.00, ratusan perahu berkumpul di tepian Sungai Barito di Desa Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Banjarmasin, 1990. Mereka menjajakan dangan seperti hasil bumi, ikan segar, ikan asin, makanan dan minuman, maupun barang-barang kelontong. Ini merupakan obyek wisata yang potensial untuk "Visit Indonesia Year 1991".

Tanpa regenerasi

Kini nyaris tidak ada regenerasi pedagang. ”Enam anak ulun kada ada lagi yang mau berjualan seperti ini. Yang sudah lulus SMP dan SMA lebih memilih kerja lain. Yang bungsu malah mau lanjut kuliah. Katanya uyuh (lelah) begawi (bekerja) kayak mama,” kata Rusniah (54), yang sudah 30 tahun berjualan buah-buahan.

Kompas/Muhammad Sudarto

Tidak kalah dengan Thailand, di Indonesia pun mempunyai pasar terapung (floating market) yang jauh lebih ramai. Setiap pagi hari pukul 05.00-08.00, ratusan perahu berkumpul di tepian Sungai Barito di Desa Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Banjarmasin. Mereka menjajakan dangan seperti hasil bumi, ikan segar, ikan asin, makanan dan minuman, maupun barang-barang kelontong. Ini merupakan obyek wisata yang potensial untuk "Visit Indonesia Year 1991".

Menurut Arbain, pedagang di Pasar Terapung Kuin kini dari generasi tua semua. Usianya rata-rata di atas 45 tahun. ”Kalau kami sudah tidak ada lagi, bisa habis pasar terapung ini. Anak-anak zaman sekarang kada mau lagi berjualan seperti ini,” ujarnya.

Ketika anak pedagang pasar terapung sudah lulus SMP atau SMA, mereka enggan berjualan sambil mengayuh perahu. Meski sekadar menjadi orang upahan, mereka lebih suka menjadi pelayan toko atau pelayan restoran cepat saji. Mereka tidak harus berdagang di bawah terik matahari, tetapi bisa bekerja di toko dengan pendingin udara serta berseragam.

Kondisi ini sudah diamati Kompas setidaknya sejak 14 tahun lalu. Bahkan, selama puluhan tahun terakhir ada belasan artikel terkait pasar terapung. Teras berita pada salah satu artikel pasar terapung yang berjudul ”Pasar Terapung Kalah Gengsi dari TKW”, edisi Jumat, 20 Juni 2003, pun menohok.

Begini kutipannya: ”Jangan berharap menemukan gadis cantik di pasar terapung, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Berperahu seharian mengelilingi pasar terapung pun sangat sulit menjumpai gadis berparas ayu. Yang kerap dijumpai hanyalah wajah-wajah wanita setengah baya dan bahkan beberapa di antaranya sudah keriput dimakan usia”.

Kompas/Muhammad Sudarto

Tidak kalah dengan Thailand, di Indonesia pun mempunyai pasar terapung (floating market) yang jauh lebih ramai. Setiap pagi hari pukul 05.00-08.00, ratusan perahu berkumpul di tepian Sungai Barito di Desa Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Banjarmasin. Mereka menjajakan dangan seperti hasil bumi, ikan segar, ikan asin, makanan dan minuman, maupun barang-barang kelontong. Ini merupakan obyek wisata yang potensial untuk "Visit Indonesia Year 1991".

Pasar Terapung Kuin bahkan kini tidak lagi persis di muara Sungai Kuin. Para pedagang memilih berdagang di muara Sungai Alalak, sekitar 10 menit perjalanan naik kelotok dari dermaga Pasar Terapung Kuin di Kelurahan Alalak Selatan, Banjarmasin Utara.

Mengapa? Ternyata, para pedagang memilih berada di jalur kelotok wisata dari Kota Banjarmasin ke Pulau Kembang. Artinya, pedagang berperahu sungguh menggantungkan hidup dari wisatawan.

Para pedagang ternyata pula telah meninggalkan dermaga Pasar Terapung Kuin sejak 2005. Ketika Kompas singgah di dermaga itu Rabu (31/1/2018), dermaga yang terbuat dari kayu ulin itu tampak usang dan tidak lagi terawat.

Kompas/Arbain Rambey

Seorang pedagang di pasar terapung Lok Baintan, Kalsel, tengah menghitung uang, 8 Mei 2007.

Sungai ditinggalkan

Kepala Bidang Pengembangan Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin Khuzaimi mengakui makin sepinya Pasar Terapung Muara Kuin. Hasil pendataan terakhir oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin pada November 2017 menyatakan, jumlah pedagang di Muara Kuin kini 63 orang, padahal 10 tahun lalu masih lebih dari 100 pedagang.

Zaman memang berubah makin cepat. Ketika kita berbicara tentang pasar terapung, misalnya, sebenarnya kita sedang membicarakan tradisi sepanjang 500 tahun karena Pasar Terapung Muara Kuin di aliran Sungai Kuin (Banjarmasin) sudah ada sejak abad ke-16. Adapun Pasar Terapung Lok Baintan di aliran Sungai Martapura (Kabupaten Banjar) sudah ada sejak abad ke-17.

Akankah pasar terapung ini tetap ada 500 tahun lagi? Entah. Namun, diakui Yusliani Noor, pemerhati budaya yang juga dosen FKIP Universitas Lambung Mangkurat, upaya pelestarian dan promosi budaya pasar terapung belum optimal.

Budaya sungai di Banjar, seperti halnya budaya sungai bagi sebagian orang Kalimantan lainnya, sayangnya sudah terlalu jauh ditinggalkan.

Selanjutnya, dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalsel Nomor 11 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Kalsel, pasar terapung ditetapkan sebagai destinasi unggulan. Pada 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menetapkan pasar terapung sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.

Akan tetapi, bagi Yusliani, untuk menghidupkan sebuah budaya dibutuhkan partisipasi semua pemangku kepentingan. Penambahan fasilitas, seperti jukung besar atau kapal kuliner keliling Banjarmasin, museum terapung, panggung hiburan terapung, perpustakaan terapung, dan studio terapung, masih diperlukan.

Budaya sungai di Banjar, seperti halnya budaya sungai bagi sebagian orang Kalimantan lainnya, sayangnya sudah terlalu jauh ditinggalkan. Dengan demikian, butuh upaya ekstra untuk menghidupkannya kembali.

Beberapa dekade lalu, misalnya, perjalanan dari Banjarmasin ke Palangkaraya yang masih mengandalkan transportasi sungai kini beralih ke transportasi darat. Padahal, teorinya, perjalanan dengan memanfaatkan jalur sungai lebih efisien daripada perjalanan melalui jalan raya.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sungai bahkan makin tidak dinilai penting oleh sebagian masyarakat. Tidak sedikit anak sungai atau parit yang malah justru diuruk. Ada beberapa hotel di Banjarmasin yang justru dibangun memunggungi sungai. Padahal, wisatawan justru mencari hotel yang menghadap ke sungai untuk melihat kehidupan sungai.

Yusliani pun mengingatkan, ”Sebaiknya, kebijakan pemerintah daerah berorientasi sungai dan menggiring masyarakat untuk ikut berpartisipasi karena terkadang sebuah budaya bergantung pada kebijakan pemerintah daerah.”

Kompas/Alif Ichwan

Bank Indonesia melakukan kegiatan kas keliling di pasar terapung Lok Baintan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Kamis (12/5/2016). Kegiatan ini untuk mendistribusikan uang rupiah layak edar.

Upaya pelestarian

Daripada merestorasi pasar terapung di lokasi aslinya, pemerintah daerah justru memilih merekayasa pasar terapung di Sungai Martapura di sepanjang Jalan Pierre Tendean. Dari sisi lokasi, pasar terapung ini memang sungguh di jantung Kota Banjarmasin.

Namun, bila Pasar Terapung Muara Kuin dan Lok Baintan aktif setiap hari dari subuh sekitar pukul 05.00 Wita hingga pukul 10.00 Wita, Pasar Terapung Siring Tendean hanya buka setiap akhir pekan. Jam buka pasar itu pun terbatas, yakni pada Sabtu pukul 15.00-24.00 Wita, dan pada Minggu pukul 06.00-12.00 Wita.

Aktivitas perdagangan pasar terapung asli dan rekayasa juga berbeda. Di pasar terapung asli, jual beli dilakukan di atas perahu. Adapun di pasar terapung rekayasa, transaksi perdagangan dilakukan di atas lanting atau dermaga apung.

”Pasar terapung (Siring Tendean) ini adalah upaya Pemkot untuk melestarikan pasar terapung,” ujar Khuzaimi. Dia bersikeras, pasar rekayasa itu tak akan meningkatkan persaingan dengan pasar terapung asli karena pedagangnya berasal dari Lok Baintan.

Untuk memfasilitasi pedagang datang ke Banjarmasin, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin menyediakan tiga kelotok untuk menarik jukung para pedagang. Dengan ditarik kelotok, pedagang tentu tidak lagi harus mengayuh belasan kilometer menyusuri Sungai Martapura.

”Jadi, pasar terapung yang ditampilkan di tengah kota, semuanya asli. Gayanya asli dan jualannya juga asli. Hanya saja, transaksi jual beli tidak di tengah sungai, tetapi di dermaga untuk memudahkan transaksi pedagang dan pembeli,” kata Khuzaimi

Rekayasa pasar terapung di tengah kota telah dilakukan sejak 2013. ”(Namun) jumlah pedagang di pasar terapung tengah kota dibatasi maksimal 65 orang. Tujuannya agar tidak terlalu banyak persaingan antarpedagang dan dagangan mereka tetap laku. Apalagi, mereka datang jauh-jauh dari Lok Baintan,” ujar Khuzaimi.

Kompas/Jumarto Yulianus

Para pedagang Pasar Terapung Lok Baintan di Sungai Martapura mengikuti kontes jukung atau perahu hias yang digelar Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Banjar di sekitar Dermaga Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, (26/11). Kontes bertajuk Pesona Festival Banjar 2016 tersebut melibatkan 1.000 jukung pedagang pasar terapung.

Bergantung pada wisatawan

Sejauh ini, pasar terapung tengah kota mampu menyedot perhatian wisatawan. Jumlah wisatawan yang menikmati pasar terapung dan susur sungai pun terus meningkat. Pada tahun 2015, jumlah wisatawan tercatat 100.000 orang, kemudian meningkat menjadi 340.000 orang pada tahun 2016, dan menjadi 590.000 orang pada tahun 2017.

Sayangnya, kunjungan ke pasar terapung masih didominasi wisatawan nusantara. Walau dalam dua atau tiga hari sekali pasti ada 3-5 wisatawan mancanegara datang ke Banjarmasin untuk menikmati wisata susur sungai dan pasar terapung, jumlahnya tidak signifikan.

Ketika masyarakat sudah enggan jual beli di sungai, satu-satunya harapan bagi pedagang pasar terapung adalah, menggantungkan hidup dari kunjungan wisatawan. Walau harus disadari, potensinya sangat besar. Apalagi, di era sekarang saat generasi milenial punya kecenderungan kuat untuk jalan-jalan.

Persoalannya, bagaimana potensi itu dapat digaet oleh Banjarmasin? Harus dipahami, obyek wisata pasar terapung di regional ini juga ada di Bangkok, misalnya.

Ketika tahun lalu ada lebih dari 30 juta turis ke Thailand, salah satu daya pikatnya justru pasar terapung di Bangkok itu. Pertanyaannya, masak Banjarmasin kalah? Sulitkah untuk merebut kue sebesar 10 persen saja dari Thailand?

Kompas/Jumarto Yulianus

Para pedagang tradisional di Pasar Terapung Lok Baintan mengikuti kontes jukung atau perahu hias di Sungai Martapura, Dermaga Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Sabtu (24/10). Kontes yang diikuti lebih dari 300 pedagang pasar terapung tersebut bertujuan untuk melestarikan budaya sungai, sekaligus menjadi ajang promosi obyek wisata Pasar Terapung Lok Baintan di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.

Rute perjalanan menuju Pasar Terapung

Jalur menuju sungai Alalak

Waktu tempuh 30 menit

Biaya per kapal klotok Rp 350.000,00

Daya tampung kapal 10 - 15 orang

Jalur menuju Lok Baintan

Waktu tempuh 60 menit

Biaya per kapal klotok Rp 400.000,00

Daya tampung kapal 10 - 15 orang

Pilih salah satu rute dari Banjarmasin

Kerabat Kerja

Penulis: Jumarto Yulianus | fotografer: Jumarto Yulianus, Muhammad Sudarto, Arbain Rambey, Alif Ichwan | infografik: Dimas Tri Adiyanto | Ilustrator: Toto Sihono | Video Editor: Anto Nius Sunardi | designer & pengembang: Vandy Vicario, Elga Yuda Pranata | penyelaras bahasa: Yohanes Adi Wiyanto | produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.