Garuda Wisnu Kencana

Garuda Wisnu Kencana
Warisan bagi Generasi Mendatang

Pada abad VIII Masehi, nenek moyang kita telah menggetarkan dunia dengan membangun Candi Borobudur di Jawa Tengah. Hingga kini, Candi Borobudur tetap merupakan candi Buddha terbesar di dunia. Namun, setelah sekian abad berlalu, warisan apa lagi yang ditinggalkan oleh bangsa ini bagi anak-cucu dan bagi dunia?

”Katanya kita mampu, kita bisa, dan kita pintar. Kenapa kita tidak bisa membuat sesuatu yang dapat menjadi warisan bagi masa depan?” kata Nyoman Nuarta, seniman patung Garuda Wisnu Kencana, ketika ditemuiKompasdi lokasi produksi patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Ungasan, Kuta Selatan, Badung, Bali, Minggu (15/7/2018).

Ternyata, tidak mudah meninggalkan warisan. Nuarta dan segenap pendukung GWK harus jatuh-bangun, mengalami suka-duka selama puluhan tahun. Ibaratnya, GWK sudah menghadapi tantangan sejak proyek ini baru dimimpikan di awal 1990-an.

Salah satu tantangan adalah adanya Peraturan Daerah Tata Ruang di Bali yang menetapkan tinggi bangunan tidak melebihi pohon kelapa (15 meter). Ada pula tudingan pembangunan patung memperlihatkan ketidakpekaan terhadap kemiskinan. Tantangan lainnya adalah adanya kekhawatirkan bila ada kalangan yang justru akan mendewakan patung Garuda dan Wisnu itu (Kompas, 9/7/1993).

Garuda dan Wisnu memang simbol agung dalam mitologi Hindu. Garuda adalah tunggangan Wisnu. Sementara Wisnu, menurut kepercayaan Hindu, adalah dewa pemelihara semesta.

Dalam kesenian tradisi dan modern di Bali, Garuda kerap dimunculkan, baik dalam seni lukis, seni patung, maupun ragam seni lainnya. ”Garuda adalah simbol purba yang melambangkan kejayaan. Sementara Wisnu adalah simbol pemelihara kehidupan,” kata Nuarta. Bahkan, kemudian, Garuda dengan perisai Pancasila dijadikan lambang Indonesia.

Penanaman batu pertama akhirnya digelar hari Minggu (8/6/1997) oleh Menteri Pertambangan dan Energi IB Sudjana didampingi Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Joop Ave. Kebutuhan dana waktu itu diprediksi mencapai Rp 81 miliar untuk fisik patung dan Rp 60 miliar untuk pembebasan lahan seluas 200 hektar.

Joop Ave, saat seremoni penanaman batu pertama, pun berharap supaya GWK menjadi karya monumental estetik setara dengan tujuh keajaiban dunia yang telah ada sebelumnya.

Terbangunnya GWK, juga diharapkan tidak akan sekadar mewujud dalam sebuah patung raksasa setinggi 140 meter, tetapi juga menyulap Bukit Ungasan.

Bila tadinya, bukit itu hanya semak belukar diproyeksikan menjadi kawasan wisata kelas dunia. Di antaranya, akan dibangun galeri dan museum seni, ruang pertemuan berkapasitas 700 orang, danau buatan, serta pentas ruang pertunjukan.

Dihantam Krisis

Targetnya, kawasan GWK akan terbangun dalam 3-5 tahun. Meski, target itu pun meleset. Tidak sekadar meleset 1-2 tahun, tetapi hingga puluhan tahun. Salah satu tantangan dihadirkan dengan adanya krisis moneter pada akhir tahun 1990-an.

Ketika krisis perlahan berakhir, proyek GWK tak juga dimulai. Akibatnya, harga lahan terus melambung tanpa tertahankan. Pada akhirnya, nilai proyek tidak lagi berkisar di angka ratusan miliar rupiah, tetapi sudah mencapai angka triliunan rupiah.

Di tengah upaya untuk terus membangun GWK, tiba-tiba Bali dihantam peristiwa peledakan bom, 12 Oktober 2002. Sejumlah calon investor pun ikut hengkang.

”Padahal, yang paling ditunggu adalah pembangunan pedestal atau tapak patung. Hingga sekarang, pembangunannya belum dimulai karena dibutuhkan biaya tidak sedikit, lebih kurang Rp 1 triliun,” ujar Manajer Humas GWK di Ungasan AA Ngurah Rai Riauadi (Kompas, 20/9/2003).

Ketika masih jauh dari sempurna, keindahan Garuda Wisnu Kencana sudah memesona. Dalam rangka ulang tahun ke-40, harian Kompas pun menggelar konser Megalitikum Kuantum di GWK. Tidak tepat pada hari ulang tahun Kompas tetapi digelar pada Sabtu, 3 September 2005.

Harian Kompas, ketika itu, melibatkan seniman-seniman top, di antaranya sutradara musik Rizaldi Siagian, penata artistik Jay Subyakto, pemusik Rahayu Supanggah, produser Wawan Juanda, hingga penari kecak I Ketut Rina.

Mimpi Tak Pernah Henti

Konser itu sukses besar. Namun, mimpi untuk menuntaskan pembangunan GWK tidak pernah terhenti.

Janji untuk membantu GWK sempat diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Yudhoyono bahkan berharap megaproyek senilai Rp 672 miliar itu akan selesai dan dapat diresmikan saat peringatan Seabad Hari Kebangkitan Nasional, 28 Mei 2008.

”Selesainya pembangunan proyek ini menjadi momentum kebangkitan bangsa Indonesia,” ujar Presiden Yudhoyono di halaman Lotus Pond, GWK, Sabtu (18/2/2006). Namun, hingga masa jabatan Presiden Yudhoyono berakhir, GWK tak juga selesai dibangun.

Pada 2012, saham GWK kemudian diakuisisi oleh PT Alam Sutera Realty Tbk. Pemindahtanganan saham dilakukan supaya GWK dapat terselesaikan. Megaproyek sebesar GWK jelas tidak hanya butuh semangat dan doa saja, tetapi juga dukungan konkret.

Beberapa tahun terakhir, kita pun tahu ada geliat pembangunan di GWK meski tidak tiap hari ada warta dari Bukit Ungasan.

Dan, beberapa bulan lalu, tepatnya Minggu (20/5/2018), terdengar kabar pemasangan mahkota Dewa Wisnu pada patung tembaga Garuda Wisnu Kencana. Minggu siang itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan sekitar 300 orang tamu hadir di GWK menyaksikan peristiwa itu.

Dimulai dari pemercikan air suci oleh pemimpin upacara Ida Rsi Agung Dawan Pemecutan, mahkota itu kemudian dipasang pada kepala Wisnu di ketinggian sekitar 100 meter dengan bantuan crane. ”Saya terharu, sangat terharu. Bertahun-tahun saya dan banyak sahabat menantikan pemasangan ini,” ujar Pastika.

Selain Pastika, rasa haru tentu menyergap Nuarta. Entah sudah berapa purnama Nuarta menantikannya.

Ketika akhirnya ”Syukuran Penyelesaian Patung Garuda Wisnu Kencana” digelar Sabtu (4/8/2018), kiranya tak hanya Nuarta yang patut terharu plus bahagia. Namun, kita juga boleh merasakan emosi serupa. Betapa tidak, kita baru saja meninggalkan warisan bagi generasi mendatang.

Para penari beristirahat usai mennggelar pentas di Plaza Wisnu di Kawasan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Ungasan, Bali, Kamis (22/8/2013)
Kompas/Wawan H Prabowo
Penari sekaligus koreografer Ketut Rina, bersama 500 penari kecak, membawakan kecak sebagai lanjutan dari Ketawang Puspawarna, menutup pergelaran Megalitikum Kuantum di Garuda Wisnu Kencana, Bali, Sabtu (3/9/2005).
Kompas/Julian Sihombing
Pementasan repertoar Garuda Wisnu Kencana di Lotus Pond di kawasan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bukit Ungasan, Bali, Jumat (23/8/2013).
KOMPAS/Wawan H Prabowo

Kerabat Kerja

Penulis: Cokorda Yudistira | Videografer: Eddy Hasby | Fotografer: Wawan H Prabowo, Julian Sihombing | Infografik: Novan Nugrahadi | Desainer & Pengembang: Rafni Amanda, Elga Pranata | Video Editor: Antonius Sunardi, Vincentzo Calviny Joski | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.