Pilkada Serentak:
Evolusi Sirkulasi Elite Daerah

Pilkada SerentakEvolusi Sirkulasi Elite Daerah

Pilkada terus berubah untuk mencari bentuk yang paling sesuai dengan tantangan zaman. Pilkada 2018 di 171 daerah menandai gelombang terakhir dari tiga ”kelompok” pilkada serentak, yakni 2015 di 269 daerah dan 2017 di 101 daerah.

Hiruk-pikuk pilkada serentak 2018 sudah dimulai. Tidak selalu, pemilihan kepala daerah yang dikenal saat ini punya ”wajah” yang sama. Di satu titik waktu, pemilih tak punya kuasa atas sosok yang memimpin daerahnya, tetapi di titik waktu yang lain, suara pemilih menjadi penentu. Tata cara sirkulasi elite di daerah terus berevolusi.

Pada akhirnya diharapkan pilkada sebagai sebuah tata cara sirkulasi elite bisa mencapai bentuk yang paling cocok guna mewujudkan negara kesejahteraan yang dibangun dari daerah (bottom-up). Sebab, pada era desentralisasi, kepala daerah dan pemerintahan daerah punya peranan sentral.

Pilkada terus berubah dan memang akan terus berubah untuk mencari bentuk yang paling sesuai dengan tantangan zaman.

Para kepala daerah, terutama bupati dan wali kota, berada paling dekat dengan rakyat sehingga diharapkan bisa menyerap aspirasi, potensi, dan kebutuhan warga, lalu menggunakan informasi itu sebagai bahan dasar untuk memformulasikan kebijakan publik dan pelayanan publik.

Kepala daerah bukan raja-raja kecil seperti masa feodal dulu, kendati toh juga masih ada yang berperilaku semacam itu: menjadikan daerah sebagai sumber untuk mengisi kocek pribadi dan keluarga sehingga pada akhirnya masuk bui karena korupsi.

Pilkada serentak 2018 yang akan berlangsung di 171 daerah menandai gelombang terakhir dari tiga ”kelompok” pilkada serentak, yakni tahun 2015 di 269 daerah dan tahun 2017 di 101 daerah. Jika dikelompokkan, model pilkada serentak ini menjadi satu babak evolusi yang terkini dari model sirkulasi elite lokal di Indonesia.

Ada kluster lain yang juga memberikan gambaran berbeda mengenai pemilihan kepala daerah dari masa ke masa: model kuasi-pemilihan di era Orde Baru, pemilihan tak langsung di awal era Reformasi, era pemilihan langsung, serta era pemilihan langsung serentak.

KOMPAS/JB SURATNO

Anggota DPRD DKI memasukan kertas suara ke dalam kotak pada pemilihan Gubenur DKI Jakarta periode 1992-1997 di Jakarta, Senin, 28 September 1992. Pada masa ini, pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung.

Era Penunjukan Kepala Daerah

Pada era Orde Baru, pemerintah berupaya menerapkan model pemerintahan desentralisasi setengah hati. Bisa disebut setengah hati karena kendati ada pelimpahan kewenangan ke daerah, tetap ada intervensi kuat dari pemerintah pusat. Ini juga berlaku dalam pemilihan kepala daerah.

Pemilihan kepala daerah pada masa Orde Baru mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam undang-undang itu, pemilihan kepala daerah di provinsi ataupun kabupaten dan kota dilakukan secara tidak langsung.

Gubernur dan bupati serta wali kota dipilih di DPRD setempat. Namun, kendali dari pemerintah pusat sangat kuat.

Pemilihan harus diikuti oleh minimal tiga calon dan maksimal lima calon. Nah, calon-calon itu harus mendapat persetujuan dari pemerintah satu tingkat di atasnya.

KOMPAS/JB SURATNO

Pemilihan gubenur DKI Jakarta periode 1992-1997 di aula DPRD DKI, Jakarta, Senin, 28 September 1992, oleh anggota DPRD. Mayjen TNI Suryadi Sudirja meraup 50 suara dari 74 suara anggota DPRD DKI Jakarta.

Untuk calon bupati/wali kota, harus ada persetujuan dari gubernur. Pemilihan juga tidak langsung mendapatkan pemenang, tetapi untuk mendapatkan minimal dua calon bupati atau wali kota yang akan diusulkan ke menteri dalam negeri melalui gubernur. Menteri dalam negeri akan memilih satu dari dua nama yang diusulkan untuk diangkat sebagai bupati/wali kota.

Begitu pula dengan pemilihan gubernur. Nama kandidat yang dipilih di DPRD harus disetujui Mendagri, sedangkan hasil pemilihan berupa minimal dua kandidat diusulkan ke pemerintah pusat. Presiden yang akan memilih satu dari nama yang diusulkan. Jadi, di era itu, kendati disebut pemilihan, sejatinya proses itu hanya berupa ”penjaringan”. Pengambil keputusan akhir berada di pemerintah pusat.

Sementara pemilihan untuk wakil gubernur, wakil bupati, atau wakil wali kota tidak menggunakan mekanisme yang sama. Wakil gubernur langsung diangkat oleh presiden dari lingkungan pengawai negeri, sedangkan wakil bupati dan wali kota diangkat oleh mendagri, juga dari lingkungan pegawai negeri.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada berunjuk rasa untuk menolak pemilihan kepala daerah lewat DPRD di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (14/9/2014).

Awal Transisi, Menuju Pemilihan Langsung

Era Reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membawa banyak semangat perubahan. Salah satunya, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat serta penerapan desentralisasi lebih luas.

Di awal Reformasi itu kemudian lahir aturan hukum baru yang mengatur pemerintahan daerah, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di regulasi itu juga diatur perubahan terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah.

Kepala daerah dan wakilnya dipilih secara bersama-sama. Nama kepala daerah dan wakilnya dimunculkan oleh perwakilan parpol di fraksi-fraksi di DPRD.

Selain itu, pemilihan juga benar-benar menghasilkan calon terpilih, bukan sejumlah nama yang akan diusulkan untuk diangkat pemerintah pusat. Namun, kandidat gubernur dan wakil gubernur yang sudah ditetapkan oleh pimpinan DPRD tetap harus dikonsultasikan ke presiden.

Sementara itu, nama bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota yang akan dipilih dalam forum DPRD ditetapkan melalui keputusan pimpinan DPRD, tidak lagi perlu mendapat persetujuan dari mendagri seperti halnya di era Orde Baru.

Lebih kurang lima tahun kemudian, tata cara pemilihan kepala daerah kembali berevolusi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan pengaturan baru yang lebih progresif, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Regulasi yang baru ini memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada masyarakat untuk memilih siapa sosok yang mereka anggap layak jadi pemimpin di daerahnya.

Pasal 56 Ayat 1 UU No 32/2004 menyebutkan, ”kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Di Ayat 2 pada pasal yang sama juga disebutkan bahwa pasangan calon tersebut diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol.

Dengan adanya pengaturan tersebut, Indonesia mulai memasuki babak pemilihan kepala daerah langsung pada Juni 2005, mengikuti jejak pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang mulai diterapkan 2004.

Pemilihan kepala daerah juga diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada DPRD setempat. Pasangan calon yang bertarung dalam pilkada harus memenuhi ketentuan syarat dukungan minimal 15 persen kursi di DPRD setempat atau akumulasi dari 15 persen perolehan suara sah dalam pemilu.

Pada 2008 kembali terjadi perubahan pengaturan pilkada langsung seiring dengan disahkannya UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004. Di pengaturan baru itu, pasangan calon kepala daerah tidak hanya bisa melaju dengan menggunakan jalur parpol atau gabungan parpol, tetapi juga bisa mencalonkan diri melalui jalur perseorangan, dengan syarat memiliki dukungan masyarakat dengan jumlah antara 3 persen dan 6,5 persen dari jumlah penduduk.

Revisi UU ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang pada Juli 2007 menyatakan pengaturan UU No 32/2004 bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah bertentangan dengan UUD 1945. Uji materi ini diajukan oleh anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lalu Ranggalawe (Kompas, 24/7/2007).

Selain membuka kesempatan bagi majunya pasangan calon perseorangan, UU No 12/2008 juga sedikit mengubah ketentuan penetapan calon terpilih. Di pengaturan sebelumnya disebutkan bahwa pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara sah ditetapkan sebagi pasangan calon terpilih. Namun, apabila ketentuan itu tidak bisa terpenuhi, pasangan calon yang punya suara lebih dari 25 persen dari suara sah dan perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Jika ketentuan tersebut juga tidak terpenuhi, akan digelar pemungutan suara putaran kedua dengan mengikutsertakan dua pasangan calon dengan perolehan suara tertinggi. Sebagai contoh, apabila ada enam pasangan calon yang bertarung dalam satu pemilihan, sedangkan peraih suara terbesar hanya mendapat 22 persen suara sah sehingga tak mencapai batas minimal 25 persen suara, akan digelar pemilihan putaran kedua.

Dalam pengaturan UU No 12/2008, ketentuan itu sedikit diubah. Ketentuan ambang batas suara 25 persen suara sah ditingkatkan menjadi 30 persen suara sah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Rapat paripurna DPR untuk mengambil persetujuan RUU Pilkada di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (25/9/2014). UU itu mengubah pilkada langsung menjadi kembali ke pemilihan melalui DPRD.

Kembali ke Pemilihan Tak Langsung?

Menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, pada 26 September 2014, DPR mengesahkan UU No 22/2014 tentang Pilkada. Undang-undang itu disetujui melalui perdebatan dan proses politik panjang.

Sikap fraksi-fraksi di DPR juga terbelah karena UU itu mengubah pilkada yang sudah satu dekade bersifat langsung menjadi kembali ke pemilihan melalui DPRD. Dalam voting yang berlangsung hingga 26 September 2019 dini hari, koalisi partai yang menghendaki pemilihan melalui DPRD meraih suara terbanyak, yakni 226 suara melawan 135 suara.

Partai yang mendukung pilkada langsung ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura. Sementara partai yang mendukung pemilihan melalui DPRD ialah Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Gerindra.

Partai Demokrat yang punya 130 kursi di DPR justru menyatakan walk out. Namun, ada enam anggota Fraksi Partai Demokrat yang tetap mengikuti voting dan memilih pilkada langsung (Kompas, 27/9/2014).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Kamis (2/10/2014), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tengah), memberikan keterangan pers, menyatakan telah menandatangani dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Pilkada langsung atas UU Pilkada yang telah disahkan DPR.

Namun, tekanan yang keras dari masyarakat sipil serta dari masyarakat umum melalui media sosial membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di pengujung masa jabatannya, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yang isinya mempertahankan pilkada langsung.

Saat itu, alasan yang dijadikan dasar untuk mengubah model pilkada menjadi tidak langsung melalui DPRD ialah karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk mendanai pilkada langsung serta banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah yang terpilih melalui pilkada langsung. Namun, hal ini, oleh kelompok masyarakat sipil, juga ditentang karena pilkada tidak langsung melalui DPRD juga tidak menjamin kepala daerah tidak akan terlibat kasus korupsi. Selain itu, pilkada langsung juga dianggap sudah mulai memunculkan figur-figur kepala daerah yang inovatif.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dalam kata pengantar buku Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Penguatan Konsep dan Penerapannya (2015) mengatakan, dari sudut pandang hukum bahwa pilkada langsung ataupun tidak langsung sama-sama demokratis. Namun, dalam pelaksanaannya, dia menilai seharusnya terlebih dahulu ada evaluasi mendalam terhadap pelaksanaan pilkada.

Tidak langsung diubah secara dramatis. Salah satu usulan Jimly, pilkada di kabupaten dan kota tetap dipilih langsung, sedangkan pemilihan gubernur bisa melalui DPRD.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Spanduk tentang Pilkada 2018 terpasang di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Sabtu (17/6/2017). Pilkada serentak 27 Juni itu diselenggarakan di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

Menuju Pemilihan Serentak 2024

Dalam pengaturan di UU No 22/2014 yang hanya dalam waktu beberapa hari diganti dengan perppu, pilkada serentak juga sudah diatur bergelombang, yakni pada 2015, 2018, dan 2020. Di daerah yang kepala daerahnya habis masa jabatannya sebelum pemilihan berlangsung, posisi kepala daerah diisi oleh pejabat gubernur, bupati, atau wali kota.

Pengaturan pilkada serentak pada hari dan bulan yang sama ini kemudian dipertahankan dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada. Pasal 201 UU No 8/2015 mengatur pilkada serentak Desember 2015 diselenggarakan untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2015 serta Januari-Juni 2016.

Sementara pilkada serentak Februari 2017 untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir Juli-Desember 2016 serta berakhir pada 2017. Sementara itu, pilkada serentak Juni 2018 diperuntukkan bagi daerah yang kepala daerahnya mengakhiri masa jabatan pada 2018 dan 2019.

Pilkada 2018 Berdasar Jenis Pencalonan

Sumber: Litbang Kompas/YOG, dari laman KPU per 12 Januari 2018 pukul 10.00 WIB

Berdasarkan Jenis Kelamin
Calon Kepala Daerah

Sumber: Litbang Kompas/YOG, dari laman KPU per 12 Januari 2018 pukul 10.00 WIB

Berdasarkan Jenis Kelamin
Calon Wakil Kepala Daerah

Sumber: Litbang Kompas/YOG, dari laman KPU per 12 Januari 2018 pukul 10.00 WIB

Pikada serentak nasional di semua daerah dirancang berlangsung pada 2027. Namun, dalam perubahan UU Pilkada yang disahkan menjadi UU No 10/2016 tentang Pilkada, keserentakan pilkada di seluruh Nusantara itu dipercepat menjadi 2024.

Pilkada yang berlangsung serentak ini bertujuan, salah satunya, untuk mengefisienkan anggaran. Pemilihan gubernur yang digelar bersamaan dengan pemilihan bupati dan wali kota di provinsi yang sama berarti penyelenggara pemilu hanya perlu sekali membayar honor penyelenggara, begitu pula dengan pembuatan tempat pemungutan suara. Selama ini, komponen honorarium bisa mencapai 30-40 persen dari total anggaran pemilihan.

Tiga gelombang pilkada serentak memberikan dinamika yang begitu kompleks. Pilkada serentak 2015 di 269 daerah pada awalnya diwarnai perdebatan mengenai rencana penundaan pilkada. Ini terutama didorong oleh parpol yang tengah mengalami konflik internal kepengurusan yang bisa mengancam kepesertaan mereka dalam pilkada, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Kendati akhirnya pilkada serentak 2015 tetap dijalankan 9 Desember 2015, sesuai jadwal, imbas dari konflik internal partai juga memberi sumbangsih pada proses pencalonan yang diwarnai sengketa berlarut.

Pilkada 2018 Berdasarkan Jumlah Pasangan Calon

Sumber: Litbang Kompas/YOG, dari laman KPU per 12 Januari 2018 pukul 10.00 WIB

Berdasarkan Jumlah Pasangan Calon Tiap Partai

Sumber: Litbang Kompas/YOG, dari laman KPU per 12 Januari 2018 pukul 10.00 WIB

Akibatnya, hanya beberapa hari menjelang pemungutan suara, KPU memutuskan menunda pilkada di lima daerah karena proses sengketa pencalonan masih belum tuntas. Lima daerah itu, yakni Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak (Papua Barat), Kota Manado (Sulawesi Utara), Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara), akhirnya baru bisa menggelar pilkada pada 2016. Memang, perlu pula dicatat, tidak semua dari lima daerah itu mengalami penundaan karena konflik internal partai.

Pilkada serentak 2015 juga akan selalu dikenang sebagai titik antiklimaks upaya untuk mengatasi politik kekerabatan di daerah. Dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada, pada Pasal 7 Huruf r diatur bahwa kandidat tidak boleh punya konflik kepentingan dengan petahana. Harapan masyarakat sipil tumbuh. Pasal ini diharapkan bisa membatasi mengguritanya politik kekerabatan yang dalam kadar tertentu dinilai lekat dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Provinsi Banten termasuk yang paling kerap dijadikan contoh gurita politik kekerabatan, yakni keluarga Atut Chosiyah, mantan gubernur yang saat ini menjadi terpidana kasus korupsi. Saat Atut menjabat sebagai Gubernur Banten, Wali Kota Serang dijabat adik tirinya, Tubagus Haerul Jaman. Sementara itu, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adik ipar Atut, sedangkan Wakil Bupati Serang Tatu Chasanah, adik kandung Atut, dan Wakil Bupati Pandeglang Heryani merupakan ibu tiri Atut.

Namun, harapan untuk mengendalikan gurita politik kekerabatan itu kandas hanya dalam hitungan bulan. Sebelum pilkada berlangsung, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi dan menyatakan Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 bertentangan dengan konstitusi yang menjamin setiap orang bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun (Kompas, 9/7/2015).

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Poster dukungan terhadap kotak kosong di depan posko relawan pemenangan kotak kosong di Pati, Jawa Tengah, Jumat (13/1/2017). Pati merupakan satu dari sejumlah daerah penyelenggara Pilkada 2017 yang hanya memiliki satu pasangan calon.

Calon Tunggal, Solusi Jadi Masalah

Selain itu, pilkada serentak 2015 juga mencatat persoalan munculnya pasangan calon tunggal. Awalnya, calon tunggal muncul di daerah yang punya calon petahana yang dianggap kuat. Saat penutupan pendaftaran pasangan calon, KPU mencatat ada tujuh daerah yang hanya punya satu pasangan calon pendaftar, yakni tiga daerah di Jawa Timur, yakni Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, dan Blitar, serta Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Kota Samarinda (Kalimantan Timur), Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Kota Mataram (NTB).

Sesuai peraturan di UU No 8/2015, KPU membuka kembali pendaftaran di daerah tersebut. Namun, masih ada empat daerah yang tetap hanya punya satu pendaftar yang diterima KPU setempat, yakni Kota Mataram, Timor Tengah Utara, Blitar, dan Tasikmalaya.

Belakangan sengketa yang diajukan oleh salah satu pasangan calon yang pendaftarannya tidak diterima oleh KPU Kota Mataram dikabulkan sehingga Kota Mataram punya dua pasang calon. Untuk tiga daerah dengan calon tunggal, KPU akhirnya menyatakan pilkada di daerah itu ditunda untuk diikutsertakan dengan gelombang kedua pilkada serentak 2017.

Akan tetapi, putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi yang diajukan Effendi Gazali menyatakan, pilkada di daerah yang hanya punya satu pasang calon tetap bisa dilakukan setelah dilakukan upaya optimal untuk memenuhi syarat minimal dua pasang calon. Di tiga daerah tersebut akhirnya KPU tetap menggelar pemilihan di gelombang pertama pilkada serentak. Pasangan calon tunggal bertarung dengan kotak kosong.

Pada pilkada serentak 2015, putusan MK dijadikan solusi atas persoalan timbulnya calon tunggal di daerah dengan petahana kuat. Namun, fenomena pasangan calon tunggal kembali muncul, bahkan lebih banyak jumlahnya.

Dari 101 daerah yang menggelar pilkada pada 2017, ada sembilan daerah yang menggelar pilkada dengan satu pasangan calon. Daerah itu ialah Kota Tebing Tinggi (Sumut), Tulang Bawang Barat (Lampung), Pati (Jateng), Landak (Kalbar), Buton (Sultra), Maluku Tengah (Maluku), Kota Jayapura (Papua), serta Tambrau dan Kota Sorong (Papua Barat).

Kemunculan calon tunggal di daerah itu sebagian besar disebabkan adanya petahana yang ”memborong” kursi DPRD sehingga tidak membuka peluang bagi munculnya pasangan calon alternatif. Alhasil, pilkada calon tunggal yang semula dijadikan sebagai solusi justru dimanfaatkan petahana mengamankan kursi dan menjadi masalah bagi demokrasi lokal. Sesuai data KPU, tiap pasangan calon tunggal di sembilan daerah itu mendapat dukungan bervariasi, dari 7 hingga 10 partai politik.

Beberapa pemerhati politik menyoroti sejumlah hal yang menyebabkan munculnya pilkada dengan calon tunggal. Pertama, syarat bagi kandidat perseorangan begitu berat karena dinaikkan dari 3-6,5 persen menjadi 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan terdahulu.

Kedua, syarat dukungan dari jalur parpol juga terlalu tinggi, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Selain itu, ketiadaan batas atas persentase koalisi parpol juga disinyalir jadi penyebab terus munculnya pilkada dengan calon tunggal.

Kemunculan calon tunggal di daerah itu sebagian besar disebabkan adanya petahana yang ”memborong” kursi DPRD.

Selain fenomena calon tunggal yang semakin menguat, pilkada serentak 2017 didominasi oleh diskursus Pilkada DKI Jakarta. Pilkada daerah lain seolah-olah ”tertutup” dengan diskursus pilkada di ibu kota negara itu. Salah satu dampak negatif yang muncul pada Pilkada DKI Jakarta, menurut peneliti politik, ialah menguatnya kapitalisasi politik identitas yang memecah belah masyarakat.

Fenomena yang muncul pada Pilkada DKI Jakarta itu juga dikhawatirkan berdampak pada pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Pilkada 2018 akan berlangsung pada 27 Juni. Para pengamat politik mengaitkan perhelatan demokrasi lokal itu dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019.

Di tengah kondisi itu, muncul kekhawatiran strategi politik yang sama dan dinilai punya dampak terhadap perilaku pemilih, kemudian akan dicoba untuk ”diimpor” dalam konteks pemilihan di daerah lainnya. Pilkada serentak 2018 di 171 daerah kemudian juga masih punya karakteristik yang mirip dengan dua gelombang pilkada sebelumnya. Kekhawatiran terhadap pemanfaatan media sosial untuk ujaran kebencian dan hoaks dalam pemilihan masih tetap ada sehingga menyadarkan pemangku kepentingan untuk mengantisipasinya.

Selain itu, pilkada dengan calon tunggal pada 2018 juga bertambah dibandingkan pilkada serentak 2015 dan 2017. Hingga tahap pendaftaran pasangan calon, sudah ada 12 daerah yang hanya punya satu pasangan calon. Daerah tersebut ialah Padang Lawas Utara (Sumut), Kota Prabumulih (Sumsel), Pasuruan (Jatim), Lebak, Kota dan Kabupaten Tangerang (Banten), Tapin (Kalsel), Minahasa Tenggara (Sulut), Enrekang (Sulsel), Mamasa (Sulbar), serta Puncak dan Jayawijaya (Papua).

Jumlah pasangan calon tunggal ini bisa bertambah setelah penetapan pasangan calon oleh KPU pada 12 Februari. Ini karena dari 35 daerah yang hanya punya dua pasang calon, ada sejumlah daerah yang petahananya memborong kursi partai, sedangkan pasangan calon alternatif yang ”menantang” berasal dari jalur perseorangan. Jika berkas dukungan pasangan calon perseorangan ini setelah diverifikasi oleh KPU di daerah dinyatakan kurang atau tidak memenuhi syarat, pilkada dengan calon tunggal akan bertambah.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Petugas menghitung suara dalam Pilkada di Tlogo Ayu, Gabus, Pati, Jawa Tengah, Rabu (15/2/2017). Dalam pemilihan bupati ini, pasangan Hariyanto-Saiful Arifin menjadi calon tunggal melawan kotak kosong.

Selain persamaan karakteristik dengan dua gelombang pilkada terdahulu, pilkada serentak 2018 juga memunculkan ”fenomena” baru, yakni munculnya para jenderal-jenderal TNI dan Polri yang masih aktif dalam kancah pilkada. KPU mencatat, ada delapan anggota TNI dan delapan anggota Polri yang mendaftar sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Sebagian dari jumlah itu merupakan anggota TNI dan Polri yang masih aktif. Kondisi ini kemudian memunculkan diskursus publik soal netralitas TNI dan Polri serta diskursus mengenai solusi apa yang bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan untuk memastikan fenomena itu tetap bisa menjaga marwah kedua institusi itu.

Pilkada serentak 2018 baru memasuki tahap awal. Sudah tentu masih terbuka kemungkinan munculnya fenomena baru di gelombang ketiga pilkada serentak ini.

Sebagai sebuah proses evolusi, tata cara sirkulasi elite lokal ini masih akan terus berubah di masa mendatang. Salah satu yang paling dekat, tentu saja, desain baru dalam menyambut pilkada serentak nasional 2024. Seperti apa bentuknya? Kita tunggu saja.

Kerabat Kerja

Penulis: Anthony Lee | fotografer: JB Suratno, Wawan H Prabowo, Heru Sri Kumoro, Riza Fathoni, Wisnu Widiantoro, Aditya Putra Perdana, P Raditya Mahendra Yasa | infografik: Parlindungan Siregar | Ilustrator: Toto Sihono | designer & pengembang: Vandy Vicario, Deny Ramanda | penyelaras bahasa: Hibar Himawan | Produser: Prasetyo Eko Prihananto, Haryo Damardono, Dahono Fitriyanto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.