Sepenggal Kisah Reformasi

Sepenggal Kisah
Reformasi

Dua puluh tahun telah berlalu sejak Orde Reformasi menggantikan Orde Baru. Tentu saja, 20 tahun bukan waktu yang singkat. Selama dua dekade, misalnya, sudah enam kali pemerintahan berganti. Namun, barangkali ada yang lupa dengan apa yang terjadi pada masa Reformasi.

Scroll

Barangkali, ada pula yang lupa betapa peralihan antara Orde Reformasi dan Orde Baru tidaklah mulus. Peralihan era menjadi Orde Reformasi ketika itu harus diperjuangkan. Perjuangan itu tidak hanya berupa pemikiran atau materi belaka, tetapi juga mengorbankan nyawa.

Beberapa kota besar di Indonesia ketika itu juga dibakar massa. Pusat bisnis dan perdagangan hancur berantakan. Kekerasan fisik terjadi pada sejumlah anak bangsa. Timbul pula gesekan-gesekan horizontal antarwarga.

Saksi-saksi Gerakan
Reformasi
Arbain
Rambey
Ulung
Rusman
Azmi
Abubakar

Beberapa kisah pada masa peralihan menjadi masa reformasi pun diungkap kembali. Harapannya, kisah-kisah itu dapat menyegarkan ingatan kita. Harapannya lagi, dengan mengenang kembali era itu, kita dapat dengan sungguh-sungguh mengisi Orde Reformasi ini.

Kisah dari fotografer harian Kompas, Arbain Rambey, serta aktivis Azmi Abubakar dan Ulung Rusman; yang kali ini akan mewakili apa yang terjadi pada 20 tahun silam.

Arbain Rambey
Di Garis Depan demi Melaporkan Informasi kepada Publik

Tertembak. Rasa sakit teramat sangat tiba-tiba dirasakan fotografer Kompas, Arbain Rambey, di betis kakinya. Sakitnya nyaris tak tertahankan. Langkahnya membeku. Padahal, dia sedang meliput pembakaran SPBU di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat.

Sebelum sempat menengok ke arah betisnya, tiba-tiba dia melihat sesama rekan fotografer Kemal Jufri tertembak di punggung. ”Saya langsung membantu Kemal. Padahal, lari saja saya juga susah. Ternyata, kami sama-sama tertembak aparat saat memotret kerusuhan 98,” ujar Arbain. Beruntung, mereka berdua tertembak peluru karet.

Beberapa hari kemudian, saat meliput kerusuhan di daerah lain, Arbain pingsan terkena gas air mata. Ketika terbangun, Arbain sudah berada di sebuah rumah sakit. ”Saya bangun eh ada Budiman (Tanuredjo, sekarang Pemimpin Redaksi Kompas). Ternyata, Budiman di belakang saya saat aparat menembakkan gas air mata,” katanya.

Selama kerusuhan Mei 1998, yang kemudian melahirkan era reformasi, Arbain serta segenap wartawan dan fotografer Kompas nyaris tidak tidur. Mereka selama mungkin berada di lapangan untuk melaporkan perkembangan di lapangan. Demo mahasiswa, kerusuhan, dan reaksi pemerintah menjadi target liputan.

”Saya keliling kota, bahkan masuk Jalan Tol Dalam Kota, naik Vespa. Situasi kacau. Saya juga sempat dicegat oleh pemuda-pemuda. Biasanya, mereka mau membakar motor atau mobil, tapi saya teriak saja keras-keras, ’Merdeka. Merdeka’. Eh, mereka juga teriak, ’Merdeka!’ Lalu, saya boleh lewat,” kata Arbain.

Dengan motor Vespa-nya, Arbain bahkan melaju lewat Jalan Tol Sedyatmo sampai Bandara Cengkareng untuk meliput eksodus warga. ”Kacau banget. Mobil-mobil ditinggal gitu saja. Saya di-tawarin orang, ’Pak, pakai mobil saya saja. Saya kasih gratis, Pak’,” ujarnya.

Arbain juga meliput kerusuhan mulai dari kawasan Roxy, Pasar Baru, hingga Glodok. ”Heran juga saya, kenapa waktu itu tak ada rasa takut, bahkan seolah menyatu dengan massa,” katanya.

Arbain sempat mampir ke toko kamera milik temannya. ”Dagangan kamera dia ikut dijarah. Tiga atau empat kamera milik Kompas yang sedang dibersihkan ikut dijarah. Toko itu habis. Wastafel pun dicopot!” kenangnya.

Nyaris tiap hari Arbain di garis terdepan. ”Saya, Eddy (Hasby), Julian (Sihombing), misalnya, tiap hari tidak tidur. Suatu hari, pas pulang ke kantor, komputer saya lambat. Lalu, saya banting begitu saja. Seorang wartawan senior lalu memerintahkan saya untuk tidur. ”Tidur sana,” tiru Arbain.

Arbain lalu tidur ibarat orang mati. Dia tidur berjam-jam sampai melewatkan peristiwa pengunduran diri Presiden Soeharto. ”Peristiwa sesudahnya seperti antiklimaks,” katanya.

Karena kerusuhan 1998 terjadi masih di era Orba, editor foto Kompas, Kartono Ryadi, memerintahkan agar film-film negatif disembunyikan. Kartono takut kantor Kompas diserang tentara untuk melenyapkan barang bukti penembakan atau kerusuhan.

”Saya memilih menyembunyikan film-film negatif di sela-sela halaman buku. Eh, waktu pindahan tempat duduk, buku-buku saya terbuang. Hilang sudah foto-foto saya,” sesal Arbain.

Suatu hari pada tahun 2008, Arbain makan mi di pantry kantor Kompas. ”Saya lihat sebuah buku tergeletak di pantry. Sambil pegang sumpit, saya bolak-balik buku itu, eh ada film negatif penembakan mahasiswa Trisakti. Setelah 10 tahun, ada juga sebagian film negatif yang tak sengaja ketemu,” ujar Arbain, menutup kenangannya.

Ulung Rusman
Bertahan di Jakarta demi Terwujudnya Reformasi

Ketika situasi mulai tidak terkendali, Ulung Rusman, yang ketika itu kuliah di Universitas Tarumanegara, diminta ibunya menyingkir dari Jakarta. Jakarta dinilai tidak lagi aman. Apalagi, Ulung kebetulan lahir dengan darah Tionghoa, yang membuatnya rentan sebagai sasaran kerusuhan.

Namun, Ulung bersikeras tetap bertahan di Jakarta. Ulung ingin tetap bertahan di Jakarta karena tuntutannya belum terpenuhi. Dia menginginkan ada perubahan di Indonesia, yang dimulai dari terbentuknya pemerintahan yang baru.

Untuk menggapai tuntutan itu, Ulung pun rajin mengorganisasi gerakan mahasiswa. Bahkan, gerakan mahasiswa di Kampus Universitas Tarumanegara berhasil digelorakannya. Suatu sejarah gerakan baru bagi Kampus Untar yang sebelumnya tak punya sejarah pergerakan.

Sebelum pecah kerusuhan pada Mei 1998, Ulung dan teman-teman aktivis di Kampus Untar bahkan bergabung dengan Forum Kota (Forkot). Mereka ikut menuntut agar Presiden Soeharto turun dari jabatan dan pemberantasan KKN yang membuat Indonesia terjun bebas ke jurang kebangkrutan dalam krisis keuangan tahun 1997.

”Ketika itu, para aktivis bergerak di luar organisasi resmi, yakni Senat Mahasiwa. Dalam Forkot, para aktivis bergabung dan membentuk posko-posko di kampus masing-masing. Meski sebagian aktivis Forkot, termasuk saya, bergabung ke Famred, Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi, karena agenda perjuangan kami tanpa kekerasan,” kata Ulung.

Belakangan, Ulung menyaksikan sendiri kekerasan dan kerusuhan. Tanggal 13 Mei pagi, saat bersama para aktivis mahasiswa melayat empat pahlawan reformasi di Kampus Trisakti, dia melihat awal mula kerusuhan.

”Tiba-tiba, pukul 08.00-09.00 muncul kelompok-kelompok orang tidak dikenal yang bukan bagian dari massa aksi membuat keributan di perempatan Grogol,” kata Ulung. Massa itu mulai membakar ban di jalan, memukuli tiang listrik, dan berteriak-teriak memprovokasi.

Lokasi awal provokasi tersebut di Jalan Kyai Tapa dekat Terminal Grogol dan Kampus Trisakti. Konsentrasi massa, yang bukan elemen mahasiswa, mulai muncul dan berkumpul di dekat rel kereta api Roxy dan perempatan Grogol dekat Mal Ciputra.

Tidak sampai siang, pembakaran ban dan provokasi tersebut berhasil memancing kehadiran massa yang lebih besar. Ulung ingat, belum sampai tengah hari, sudah pecah kerusuhan dan penjarahan di sekitar Grogol, arah Roxy, serta wilayah sekitarnya.

Ulung, yang kini aktif sebagai Sekjen Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti), mengisahkan, posko aktivis di Kampus Untar akhirnya menampung siapa saja yang terimbas kerusuhan. Di sisi lain, saat itu, aktivis Untar di bawah koordinasi dokter Indra Suryawinata membuat Unit Medis Reaksi Cepat (UMRC) untuk tugas-tugas kemanusiaan.

Tahun 1999, Ulung akhirnya menjadi juru bicara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode pertama. Tugasnya adalah mengoordinasikan pergerakan mahasiswa lintas kampus. Ulung dan kawan-kawan pun kerap berpindah lokasi hanya untuk menghindari kejaran aparat di era itu.

Walau dia kerap kucing-kucingan dengan aparat, mengabaikan pula permintaan ibundanya, Ulung tidak merasa tindakannya sia-sia. Akhirnya, era berubah menjadi era reformasi. Orba pun tergantikan.

Azmi Abubakar
Menjaga Wilayah, Mengembalikan Jarahan

Turun ke jalan. Sebagaimana mahasiswa lain, Azmi Abubakar, pada Mei 1998 juga turun ke jalan. ”Waktu itu, kami demo untuk menuntut Soeharto lengser dari jabatan. Tidak hanya itu, kami juga menuntut agar korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) diberantas,” kenang Azmi.

Azmi Abubakar, yang kini mengelola Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong, lalu mengisahkan hari-hari seputar Mei 1998 yang penuh ketegangan. Hari-hari yang mengawali perubahan era dari Orba menjadi era Reformasi.

”Kami aktif sekali waktu itu. Ikut diskusi hingga turun ke jalan,” ujar Azmi, yang masuk Laskar ITI, Institut Teknologi Indonesia, di Serpong. Selain bergabung dengan ITI, Azmi dan teman-teman aktivis juga tergabung dalam Forkot.

Karena tergabung dalam Forkot, Azmi dan teman-temannya kerap ikut rapat Forkot di beberapa tempat di Jakarta. Mereka juga kerap ikut aksi di antaranya di sekitar Slipi hingga perempatan Grogol dekat Kampus Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara.

Namun, ketika 13 Mei pecah kerusuhan, Azmi dan teman-teman menarik diri dari Jakarta. ”Kami memilih meronda lingkungan kami di Serpong-Pamulang dan BSD (Bumi Serpong Damai),” ujarnya.

Ketika kembali ke Tangerang, mereka melihat penjarahan Pusat Grosir Makro di Ciputat. Namun kemudian, dia melihat penjarahan pun mulai menyebar. Azmi dan kawan-kawan kemudian bergerak cepat mencegat para penjarah.

Mereka, para mahasiswa, bahkan sempat mengambil kembali barang-barang yang dijarah dan mereka serahkan ke pos polisi terdekat. Berbagai barang elektronik, seperti televisi dan kulkas, dikembalikan para mahasiswa.

Selain menjaga daerah Pamulang dan Ciputat, Azmi dan teman-teman juga meronda daerah Serpong, termasuk perumahan BSD. ”BSD belum seramai sekarang. Kami tidak tahu apakah warga yang etnis Tionghoa mengungsi atau tidak. Tetapi, kami ikut menjaga kompleks tersebut dari upaya penjarahan dan gangguan keamanan,” ujarnya.

”Karena ribuan mahasiswa menjaga daerah Pamulang, Ciputat, dan Serpong, maka di daerah itu relatif tidak terjadi kehancuran dan kerusakan seperti yang di dalam kota Jakarta,” kata Azmi.

Menurut dia, ketika itu, mahasiswa sangat dipercaya masyarakat. Bahkan, selepas pergolakan pada Mei 1998, posko mahasiswa yang mereka buat akhirnya kerap didatangi masyarakat. Masyarakat pun mengadu dan meminta pendapat, mulai dari urusan sengketa tanah hingga kawin-cerai!

Mengoreksi Orde Baru

Arbain Rambey, Azmi Abubakar, dan Ulung Rusman hanyalah tiga dari jutaan orang yang mengalami peralihan zaman dari Orba menjadi Orde Reformasi. Ada begitu banyak kisah di peralihan zaman itu. Ada begitu banyak upaya dari sekadar berbagi pemikiran hingga tetesan darah untuk membalikkan situasi saat itu.

Apalagi, ketika itu Orba begitu kuatnya. Bahkan, sampai ada lawakan khas grup Prambors pada akhir 1970-an untuk menggambarkan begitu kuatnya kendali rezim Orba. Lawakan tersebut adalah: ”Angin Lewat Kompleks ABRI: 5 Kilometer Per Jam”.

Presiden Soeharto dapat bertahan lebih dari tiga dekade salah satunya atas dukungan ABRI. Jaringan ABRI bahkan mengakar ke segala sendi kehidupan dengan konsep dwifungsi, yakni menjalankan peran sosial politik. Dulu, pengurus RT dan RW pun didominasi mantan atau anggota ABRI aktif.

Dalam kajian Joseph Daves berjudul, ”Colonel Suwarto and The Indonesian Socialist Party” disebutkan, kunjungan Kolonel Suwarto—kelak pensiun dengan pangkat letnan jenderal—ke Rand Corporation, Amerika Serikat, tahun 1962, menghasilkan konsep Dwifungsi. Konsep ini kemudian diterapkan rezim Orba di bawah Soeharto setelah dibahas dalam Seminar Angkatan Darat Tahun 1965 dan 1966.

Pada era Orba, jangankan bicara ganti presiden Indonesia, mengkritik ketua RT, RW, bupati, dan wali kota pun dapat bermasalah. Terlebih lagi, pemerintah masih represif, mulai dari membungkam aksi mahasiswa hingga penghilangan nyawa manusia tanpa pertanggungjawaban.

Suatu hari, Kompas pernah bertanya kepada Komandan Korem Suryakancana, Bogor, menjelang Pemilu 1992 terkait prospek suksesi kepemimpinan nasional. Danrem yang kemudian pensiun sebagai seorang letnan jenderal itu menuding-nuding Kompas dan menyatakan hal itu tidak pantas untuk ditanyakan.

Ikrar Nusa Bhakti dan kawan-kawan dalam buku Tentara yang Gelisah menyatakan, dwifungsi ABRI sebagai ”sumber bencana nasional”. Krisis yang memicu Reformasi Mei 1998 juga dipicu terlalu besarnya kekuasaan eksekutif di Orba.

Besarnya kekuasaan eksekutif ini juga sudah terjadi pada era Orde Lama (Orla). Namun, berbeda dengan masa Orla, pada masa Orba, ABRI selalu mendukung pemerintah.

Tentu saja, ada berbagai aksi untuk mencoba mengoreksi Orba dari waktu ke waktu. Pada dekade 1970-an, misalnya, ada beberapa aksi, seperti Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada 28 Mei 1971, Peristiwa Malari 15 Januari 1974, dan aksi demo di depan Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa Barat, pada 28 Oktober 1977.

Namun, upaya-upaya itu gagal. Tiga tahun setelah kegagalan Malari, mahasiswa semakin bosan dengan segala macam kebobrokan. Padahal, kedua orde itu sama-sama punya kredo, mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Kekecewaan mahasiswa memang beralasan. Periode awal pemerintahan Soeharto diwarnai megakorupsi Pertamina. Nilai korupsi Pertamina membuat semua orang menganga. Nilai korupsi Rp 90 miliar uang negara saat nilai tukar 1 dollar AS masih Rp 400. Pertamina pun nyaris bangkrut seketika dengan utang 10 miliar dollar AS.

Gelombang aksi pun terus terjadi. Di Surabaya, peringatan Hari Pahlawan tahun 1977 disemarakkan oleh mahasiswa. Di Jakarta, 6.000 mahasiswa berjalan kaki sejauh 5 kilometer dari Rawamangun (Kampus IKIP Jakarta) menuju Salemba (Kampus Universitas Indonesia), membentangkan spanduk bertuliskan ”Padamu Pahlawan Kami Mengadu”.

Semua aksi ini dikawal tentara. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat kepada rakyat.

Ketika itu dicanangkan Ikrar Mahasiswa 1977, yakni ”Kembali pada Pancasila dan UUD ’45, meminta pertanggungjawaban presiden, dan bersumpah setia bersama rakyat menegakkan kebenaran dan keadilan”.

Tahun berikutnya, tepatnya pada momen peringatan 12 tahun Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), 10 Januari 1978, kembali digelar aksi unjuk rasa. Peringatan 12 tahun Tritura itu menjadi semacam penanda akhir gerakan mahasiswa tahun 1970-an.

Ketika itu, penguasa menganggap mahasiswa sudah melampaui batas. Masa teror dan pengekangan dimulai. Beberapa media massa pun diberedel penguasa Orba, termasuk harian Kompas.

Menurut aktivis mahasiswa Jimmy Siahaan, pada awal 1978, lebih dari 500 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Mereka ditahan dan diintimidasi dalam interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara (subversif), lalu ada pula yang didorong bersekolah di luar negeri.

”Saya ditahan selama 3 bulan tanpa sidang. Di Jakarta para aktivis ditahan di tahanan Polisi Militer di (Jalan) Guntur, Manggarai. Nasib sedikit lebih baik dirasakan aktivis mahasiswa di Bandung yang ditahan Kodam Siliwangi di dalam Kota Bandung,” kata Jimmy.

Para aktivis dibui tanpa proses persidangan. Mereka diisolasi dari pergaulan dan kunjungan keluarga. Jimmy menambahkan, para pentolan aktivis pun dipecat dari kampus. Perlahan tapi pasti, kekuasaan dan bedil menjadi bahasa komunikasi penguasa Orba terhadap rakyatnya.

Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria berseragam loreng bersenjata. Rumah rektor secara misterius ditembak orang tak dikenal. Sementara di Kampus UI Salemba, panser juga masuk kampus.

Dua rektor kampus besar itu secara sewenang-wenang dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.

Pembunuhan Misterius

Pada awal tahun 1980-an, terutama sejak akhir 1982, rezim Orba mencanangkan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat. Itu dimaknai dengan penculikan, penembakan, dan pembunuhan orang-orang yang dianggap sebagai preman dan kriminal.

Operasi yang disebut penembakan misterius atau disingkat petrus itu pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang oleh M Hasbi yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).

Tahun 1983, tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembak. Pada Tahun 1984, ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985, tercatat 74 orang tewas, 28 orang di antaranya tewas ditembak.

Umumnya, korban petrus ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, serta dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.

Akhir era Orde Baru

Setelah intimidasi terhadap gerakan mahasiswa, media massa, pembunuhan, dan penculikan, situasi semakin represif pada tahun 1990-an. Pengaturan aktivitas mahasiswa dilakukan melalui Senat Mahasiswa di tingkat perguruan tinggi, fakultas, dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) di kampus-kampus.

Demonstrasi mulai terjadi, tetapi hanya di lingkungan kampus pada tahun 1990-an. Unjuk rasa di jalan raya masih tidak terbayangkan. Masih lekat dalam kenangan suasana dunia kampus tahun 1992-1997 saat para aktivis, seperti dari Partai Rakyat Demokratik dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), menjadi bulan-bulanan aparat.

Pada masa itu, penculikan terhadap aktivis juga terjadi. Menurut catatan Kontras, dalam kurun 1997-1998, sebanyak 23 orang dihilangkan paksa. Dari jumlah tersebut, 13 orang hingga kini masih hilang.

Krisis ekonomi kemudian memperburuk keadaan politik. Rezim Orba bergeming. Hancurnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengembalikan Soeharto pada situasi krisis ekonomi dan politik seperti yang dihadapi rezim Soekarno ketika kekuasaan diambil Soeharto pada tahun 1965-1966.

Rangkaian unjuk rasa yang dihadapi dengan kekerasan oleh aparat pun merebak di Jakarta dan kota-kota besar Indonesia. Akhirnya unjuk rasa di Kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 diwarnai penembakan para mahasiswa. Empat mahasiswa ditembak mati aparat rezim Soeharto.

Sehari kemudian kerusuhan pecah di Jakarta, Surabaya, Medan, serta beberapa kota besar lain. Pembakaran tempat usaha dan penjarah terjadi. Bahkan, isu SARA pun mengemuka dengan menjadikan komunitas Tionghoa sebagai sasaran.

Selama beberapa hari, situasi di berbagai kota mencekam. Asap yang membubung dari bangunan yang terbakar pun masih terlihat hingga beberapa hari. Setelah Jakarta dan kota-kota kita luluh lantak, pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan.

Orde Reformasi pun telah hadir. Dan kini, sudah 20 tahun kita mengarungi zaman dalam bahtera Orde Reformasi.

Galeri Foto
Peristiwa Reformasi

Kerabat Kerja

Penulis: Iwan Santosa, Haryo Damardono | Editor: Haryo Damardono | Penyelaras Bahasa: Lucia Dwi Puspita Sari | Fotografer: Julian Sihombing, Johnny TG, Agus Susanto, Wawan H Prabowo, Arbain Rambey, M Sjafei H, Eddy Hasby | ilustrator: Dimas Tri Adiyanto | Desainer & Pengembang: Deny Ramanda, Elga Yuda Pranata | Produser: Dahono Fitrianto, Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.