Dibutuhkan setidaknya lima jam penerbangan langsung dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Banten menuju Bandara Moses Kilangin di Timika, dilanjutkan 45 menit penerbangan dengan menggunakan pesawat ringan dari Moses Kilangin menuju Ewer. Setelah itu, diperlukan waktu sekitar 20 menit perjalanan laut dengan menggunakan perahu cepat (speedboat) untuk mencapai Agats.
Biaya yang dibutuhkan pun besar, setidaknya Rp 8 juta per orang untuk sekali jalan. Meskipun Asmat memiliki banyak kekayaan seni dan alam yang elok, dengan jumlah waktu dan biaya yang sama dan waktu yang dibutuhkan, banyak orang tentu lebih memilih terbang menuju Tokyo di Jepang atau Melbourne di Australia.
Bagi mereka yang akrab dengan gemerlapnya dunia, dibutuhkan daya dorong yang lebih untuk benar-benar memilih Asmat sebagai tujuan. Apalagi, Agats yang menjadi ibu kota Asmat adalah kota di atas rawa dan belakangan ini tengah dirundung nestapa.
Saat Kompas tiba di sana, sedikitnya 70 anak balita di daerah itu meninggal karena terserang campak dan gizi buruk. Saat itu, hingga 24 Januari 2018, tercatat sebanyak 41 anak dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Agats dan 52 lainnya dirawat di aula Gereja GPI Agats. Di antara mereka, sebanyak 8 orang positif terserang campak dan 75 lainnya mengalami gizi buruk.
Komandan Satgas Kesehatan TNI untuk Kejadian Luar Biasa Asmat Brigadir Jenderal Asep Setia Gunawan mengatakan, dalam masa tanggap darurat, tim kesehatan terpadu telah mendatangi 117 kampung dan memeriksa 12.398 anak. Ditemukan 646 anak terkena campak dan 144 anak penderita gizi buruk.