Cicilan Mingguan Membuat Nyaman

Jasuta (55) sedang berbaring di lantai ketika Suryanah (53), istri sekaligus mitra kerjanya, mendatangi gubuk tempatnya berada. Gubuk yang berlokasi di ujung jalan kampung itu sehari-hari digunakan untuk membuat tempe.

Abis pulang dari pasar, nganterin tempe,” Suryanah menjelaskan.

Di luar gubuk tampak sepeda motor yang dipasangi keranjang untuk membawa tempe ke pasar setiap harinya. Gubuk berjarak 50 meter dari rumah mereka di Kelurahan Curug Manis, Serang, Banten. ”Harus jauh dari rumah, bau soalnya limbah pembuatan tempe,” kata Suryanah.

Pasangan suami istri ini bahu-membahu menjalankan usaha. Diawali pada tahun 1980-an saat keduanya yang saat itu masih pasangan muda pergi merantau ke Palembang, Sumatera Selatan, kampung halaman Suryanah.

Keduanya belajar kepada orangtua Suryanah yang lebih dulu memiliki usaha pembuatan tempe. ”Saya ikut ke Palembang, kita belajar dulu,” kata Jasuta.

kompas/satrio pangarso wisanggeni
Suryanah mengembangkan usaha pembuatan tempe bersama sang suami, Jasuta, di kampung mereka di Serang, Banten.

Kembali ke Serang pada awal 2000-an, Suryanah dan Jasuta mulai membuat tempe sendiri. Setelah uji coba resep dan cara pembuatan, pada 2005 mereka memberanikan diri memproduksi tempe.

”Orang-orang bilang, tempe saya ini lebih awet, 3-4 hari setelah dibeli enggak benyek, enggak lunak. Jadi, ya mungkin dicari orang,” kata Suryanah tersenyum, saat ditemui Kompas pada Jumat (10/11/2023).

Suryanah pun berkeinginan mengembangkan terus usahanya. Pada 2015 ia mengajukan kredit usaha dari sebuah bank konvensional. Ia dua kali meminjam dana sebesar Rp 10 juta dengan tenor masing-masing 1,5 tahun. Seingatnya, cicilannya Rp 700.000 per bulan.

Unduh Pola Halaman Kompas