Masyarakat Indonesia kembali bisa menyaksikan gerhana Bulan total, Sabtu, 28 Juli 2018 dini hari. Gerhana Bulan total kedua pada 2018 ini disebut bulan mini merah gelap dan menjadi yang terlama di abad ke-21 dengan rentang fase totalitas gerhana 1 jam 43 menit.
G erhana bulan total kembali bisa disaksikan di seluruh wilayah Indonesia, Sabtu, 28 Juli 2018, dini hari. Ini adalah gerhana bulan total kedua yang bisa disaksikan di Indonesia pada 2018 setelah gerhana bulan total 31 Januari lalu. Setelah ini, gerhana bulan total baru bisa disaksikan lagi di Indonesia pada 26 Mei 2021.
Jika gerhana bulan total 31 Januari disebut bulan super darah biru (super blue blood moon), maka gerhana 28 Juli nanti dinamai bulan mini merah gelap (mini red blood moon). Gerhana di akhir Juli nanti juga akan menjadi gerhana bulan total terlama di abad ke-21 dengan rentang fase totalitas gerhana mencapai 1 jam 43 menit.
Gerhana Bulan total pada Minggu, 17 September 1978 dinikmati warga Indonesia. Dari Perumnas Depok, tempat foto-foto gerhana ini dibuat, awan yang tebal dan kabut menyebabkan akhir gerhana tidak terlihat.
Berbeda dengan gerhana bulan sebelumnya yang terjadi pada awal malam, gerhana bulan akhir Juli nanti akan terjadi pada akhir malam. Untuk Indonesia timur, fase totalitas gerhana akan terjadi seiring dengan terbenamnya Bulan di sana. Sementara di Indonesia tengah masih bisa disaksikan seluruh fase totalitas gerhana.
Indonesia barat adalah wilayah yang paling banyak menyaksikan rangkaian proses gerhana bulan. Gerhana akan mulai terjadi setelah lewat tengah malam dan berakhir setelah Matahari terbit. Akibatnya, bagian akhir gerhana yang merupakan gerhana bulan penumbra tidak akan bisa disaksikan.
Benda-benda langit bergerak secara teratur. Bulan bergerak mengitari Bumi dan bersama-sama Bumi memutari Matahari. Pergerakan itu membuat pada saat tertentu Matahari, Bumi, dan Bulan akan segaris sehingga memicu terjadinya gerhana.
Gerhana bulan terjadi saat Matahari, Bumi, dan Bulan segaris, dengan Bumi berada di tengah. Sementara untuk gerhana matahari, Bulan yang berada di tengah di antara Matahari dan Bumi. Kondisi itu membuat gerhana bulan selalu terjadi saat fase bulan purnama dan gerhana matahari senantiasa terjadi ketika fase bulan mati.
Proses gerhana mulai terjadi saat Bulan memasuki wilayah bayang-bayang Bumi. Warna Bulan yang semula kuning cerah karena sedang purnama secara perlahan akan meredup dan berubah warna menjadi gelap. Perubahan kecerlangan dan warna Bulan itu terjadi karena cahaya Matahari yang menuju Bulan terhalang piringan Bumi.
Ketika Bulan memasuki wilayah bayang-bayang luar Bumi atau penumbra, terjadilah gerhana bulan penumbra. Perubahan warna Bulan saat gerhana penumbra ini sulit diamati dengan mata telanjang. Bahkan, dengan menggunakan teleskop pun, hanya perubahan kecerlangan cahaya Bulan yang bisa dilihat.
Selanjutnya, saat Bulan memasuki bayang-bayang inti Bumi atau umbra, akan terjadi gerhana bulan sebagian. Saat itu, bagian kiri atas Bulan akan perlahan-lahan berubah jadi gelap. Hingga akhirnya seluruh piringan Bulan akan berubah menjadi gelap dan itulah tanda fase gerhana bulan total dimulai.
”Gerhana bulan 28 Juli adalah gerhana bulan sentral,” kata dosen Kelompok Keilmuwan Astronomi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto.
Gerhana bulan sentral terjadi ketika piringan Bulan melewati titik pusat bayang-bayang Bumi. Akibatnya, saat puncak gerhana terjadi, Bulan akan tampak lebih gelap dibanding gerhana bulan biasanya.
Meski gerhana bulan selalu terjadi saat fase bulan purnama, tidak setiap bulan purnama akan terjadi gerhana bulan. Kondisi itu terjadi karena bidang edar Bulan mengelilingi Bumi miring 5 derajat terhadap bidang orbit Bumi mengitari Matahari atau ekliptika.
”Gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, akan selalu terjadi saat Matahari berada tidak jauh dari titik potong atau titik simpul antara bidang orbit Bumi dan bidang orbit Bulan,” ujar Moedji.
Ketika Matahari berada tidak jauh dari titik potong antara bidang orbit Bumi dan bidang orbit Bulan itu bisa terjadi maksimum tiga gerhana yang berbeda. Pada saat inilah musim gerhana berlangsung.
Gerhana bulan total 28 Juli nanti merupakan salah satu dari tiga gerhana yang terjadi pada musim gerhana kedua tahun 2018. Selain gerhana bulan tersebut, dua minggu sebelum dan sesudahnya, terjadi gerhana matahari sebagian 13 Juli dan 11 Agustus yang keduanya tidak bisa disaksikan dari Indonesia.
Sementara gerhana bulan total 31 Januari lalu masuk dalam musim gerhana pertama pada 2018. Gerhana lain yang menyertainya adalah gerhana matahari sebagian pada 15 Februari.
Gerhana bulan total 28 Juli disebut bulan mini karena saat terjadi gerhana, Bulan sedang berada di dekat titik terjauhnya dari Bumi (apogee). Titik terjauh Bulan itu dicapai pada 27 Juli pukul 12.43 WIB atau 11,5 jam sebelum gerhana berlangsung. Pada titik terjauhnya kali ini, Bulan berada pada jarak 406.223 kilometer.
Sebaliknya, gerhana bulan 31 Januari lalu terjadi saat Bulan berada di titik terdekatnya dari Bumi (perigee). Ketika itu, Bulan berada pada jarak 358.993 kilometer atau 88 persen dari jarak Bulan pada gerhana 28 Juli nanti. Jarak terdekat itu dicapai 24 jam sebelum gerhana terjadi.
Jarak yang jauh pada gerhana kali ini akan membuat piringan Bulan terlihat 12-14 persen lebih kecil dibanding lebar piringan Bulan pada gerhana 31 Januari. Kecerlangan cahaya bulan mini juga akan lebih redup 30 persen dibanding bulan super.
”Meski piringan Bulan berukuran lebih kecil dibanding saat gerhana bulan 31 Januari, perbedaan ukuran yang terjadi akan sulit dilihat dengan mata,” kata komunikator astronomi dan pengelola situs astronomi populer langitselatan.com, Avivah Yamani.
Namun, perlu dicatat, penyebutan bulan super (super moon) dan bulan mini (mini moon) adalah istilah dalam astrologi, bukan astronomi. Dalam astronomi, bulan super dikenal sebagai bulan purnama perigee dan bulan mini disebut bulan purnama apogee.
Di Indonesia, astrologi lebih dikenal sebagai ilmu nujum dan astronomi lebih populer sebagai ilmu falak. Astrologi termasuk dalam pseudosains yang diajarkan dalam ranah ilmu budaya, sedangkan astronomi termasuk sains yang diajarkan di kelompok ilmu eksakta.
Posisi Bulan yang berada di titik terjauhnya itu membuat Bulan butuh waktu lebih lama untuk melalui lintasannya di dalam bayang-bayang Bumi. Akibatnya, gerhana bulan 28 Juli juga akan menjadi gerhana bulan total terlama di abad ke-21, yaitu selama 1 jam 42 menit 57 detik.
Meski gerhana bulan 28 Juli jadi yang terlama di abad ke-21, durasi waktunya masih kalah dibanding gerhana bulan terlama di abad ke-20, yaitu gerhana bulan total 16 Juli 2000. Ketika itu, fase totalitas gerhana mencapai 1 jam 46 menit 24 detik. Selanjutnya, gerhana bulan terlama di abad ke-22 akan terjadi pada 9 Juni 2123 dengan waktu totalitas gerhana mencapai 1 jam 46 menit 6 detik atau 106,1 menit.
Ketika gerhana bulan total terjadi, seluruh cahaya Matahari akan terhalang oleh piringan Bumi. Saat itu, seharusnya tidak ada cahaya Matahari yang sampai ke permukaan Bulan untuk dipantulkan ke Bumi. Nyatanya, Bulan masih berwarna merah, tidak hilang sama sekali.
Cahaya merah Bulan saat gerhana sebenarnya juga berasal dari Matahari. Namun, cahaya itu bukan langsung dari Matahari, tetapi sinar yang sudah disaring dan dihamburkan oleh atmosfer Bumi. Dalam proses itu, hanya cahaya merah yang bisa lolos melintasi atmosfer, hingga akhirnya tiba di permukaan Bulan dan membuat Bulan menjadi merah.
Gerhana Bulan super darah biru sebagaimana difoto pada pukul 22.29 WIB, Rabu (31/1/2018). Foto diambil dari kantor Harian Kompas, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta.
”Seandainya Bumi tidak memiliki atmosfer, tidak akan ada cahaya yang dibiaskan atau dibelokkan sehingga Bulan akan tampak gelap total atau hitam saat terjadi gerhana,” kata Avivah.
Meski Bulan akan berwarna merah saat gerhana, warna merah itu memiliki banyak variasi. Karena gerhana bulan 28 Juli termasuk gerhana sentral, warna Bulan akan tampak lebih kehitaman pada saat puncak gerhana berlangsung.
Menurut skala Danjon—standar yang digunakan untuk mengukur kegelapan gerhana—gerhana akhir bulan nanti memiliki skala 1,3. Skala Danjon terentang 0 hingga 4, dengan skala 0 untuk gerhana yang sangat gelap, nyaris tak tampak, dan skala 4 untuk gerhana bulan yang paling terang dengan Bulan berwarna merah tembaga cerah. Dengan skala Danjon 1,3, gerhana bulan 28 Juli akan berwarna merah gelap kecoklatan.
Warna gerhana bulan juga ditentukan oleh kondisi atmosfer Bumi. Atmosfer yang kotor atau banyak debu akan membuat warna Bulan menjadi lebih merah gelap. Debu akan menyerap banyak sinar Matahari dan meneruskan cahaya merah yang memiliki panjang gelombang lebih panjang.
Tiga fenomena gerhana Bulan total terjadi bersamaan dengan Bulan super di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (31/1/2018) pukul 21.09.
Pengaruh debu terhadap warna gerhana bulan itu pernah dirasakan saat terjadi gerhana bulan total 9 Desember 1992. Saat itu, piringan Bulan terlibat kelabu kusam dan sulit diamati dengan mata telanjang. Pemicunya, atmosfer dipenuhi debu halus sisa letusan Gunung Pinatubo di Filipina yang meletus pada 1991.
Abu padat hasil letusan gunung api memang jatuh ke tanah. Namun, senyawa belereng oksida dan uap airnya terlempar hingga ke lapisan stratosfer pada ketinggian 10-50 kilometer dari muka Bumi. Reaksi belerang oksida dan uap air akan menghasilkan asam sulfat yang menghalangi perjalanan sinar Matahari menuju Bulan.
Selama gerhana berlangsung, kekhawatiran utama masyarakat adalah dampaknya, khususnya terhadap pasang air laut. Sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pesisir, sangat bergantung pada kondisi laut. Tingginya muka air laut saat pasang naik dikhawatirkan akan memicu rob, mengganggu pelayaran, hingga membuat nelayan tak bisa mencari ikan.
Tingginya pasang naik air laut sejatinya bukan disebabkan oleh gerhana, tetapi oleh fenomena kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan. Itu berarti, pasang naik air laut akan selalu terjadi saat bulan mati atau bulan purnama, sama dengan terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan. Gerhana hanyalah dampak lain dari kesegarisan ketiga benda langit tersebut.
Ratusan warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (31/1/2018) malam, untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan dalam satu waktu bersamaan.
Pasang naik air laut maksimum akan terjadi saat Matahari, Bumi, dan Bulan segaris karena gaya gravitasi Matahari dan Bulan akan saling menguatkan. Adapun pasang surut atau pasang perbani yang menyebabkan air laut turun maksimum terjadi saat Bulan seperempat awal atau seperempat akhir, ketika posisi Matahari dan Bulan menyiku terhadap Bumi sehingga gravitasinya saling melemahkan.
Meski kenaikan muka air laut lebih disebabkan oleh kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan, terjadinya gerhana akan menambah kenaikan muka air laut. Namun, kenaikannya hanya 1-2 sentimeter dibanding pasang naik saat bulan purnama atau bulan mati biasanya.
”Efek tambahan itu dihasilkan karena saat gerhana, Matahari, Bumi, dan Bulan benar-benar dalam satu garis lurus,” kata Avivah. Saat bulan mati atau bulan purnama, Matahari, Bumi, dan Bulan memang segaris, tetapi tidak lurus karena bidang orbit Bumi dan orbit Bulan memiliki kemiringan berbeda.
Efek pasang naik akibat gerhana bulan total 28 Juli diperkirakan tidak akan besar mengingat saat itu Bulan sedang berada di titik terjauhnya. Terlebih jika dibandingkan dengan dampak pasang naik akibat gerhana bulan 31 Januari lalu ketika Bulan ada di titik terdekatnya dari Bumi.
Fase awal gerhana Bulan super darah biru diamati di Jembatan Kuning, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (31/1/2018). Warga menikmati gerhana Bulan super darah biru dinikmati tanpa halangan awan di Palu.
Di sisi lain, penyebab kenaikan muka air laut disebabkan banyak hal, bukan hanya gravitasi Matahari dan Bulan. Struktur dasar laut dan kontur pantai juga bisa memengaruhi karakter pasang dan tinggi pasang naik di setiap tempat.
Bertambahnya tinggi muka air laut itu juga belum tentu memicu bencana. Potensi bencana akan muncul jika pasang naik terjadi bersamaan dengan cuaca buruk di darat dan laut atau munculnya siklon tropis. Siklon tropis itu akan memicu angin dan gelombang tinggi yang bisa mengalun hingga menjangkau wilayah yang jauh.
Dampak lain dari kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan yang sering dikaitkan dengan gerhana adalah meningkatnya aktivitas tektonik Bumi. Situasi itu dikhawatirkan akan memicu gempa, aktifnya gunung api, munculnya badai, hingga sejumlah malapetaka lain.
Rumor itu sering kali diembuskan para astrolog. Namun, ahli keplanetan dan geologi membantahnya. Kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan memang memperkuat tarikan gravitasi terhadap Bumi. Namun, hal itu tidak akan mengganggu keseimbangan energi internal Bumi.
Warga berkumpul di Taman Fatahillah, Kawasan Kota Tua Jakarta, untuk menyaksikan gerhana Bulan total melalui layar lebar yang terhubung ke teropong, Rabu (31/1/2018). Sayang, warga tidak bisa menyaksikan fenomena alam tersebut karena sebagain langit Jakarta sempat tertutp awan.
”Saat Matahari, Bumi, dan Bulan segaris, memang akan meningkatkan aktivitas tektonik Bumi, tetapi sangat kecil, kurang dari 1 persen,” kata ahli gempa dari Universitas Washington, Seattle, Amerika Serikat, John Vidale. Sementara kenaikan aktivitas gunung api hanya sedikit lebih besar dari 1 persen. Dampak sekecil itu tidak akan terasa sehingga kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan tidak berhubungan dengan terjadinya gempa (Kompas,14 Maret 2011).
Ahli gempa lain dari Universitas Washington, Seattle, AS, William Wilcock, menambahkan, saat terjadi pasang surut, jumlah air di laut akan berkurang. Akibatnya, tekanan di dasar laut pun ikut berkurang sehingga lempeng Bumi di bagian itu akan mudah selip atau tergelincir oleh desakan lempeng di sekitarnya. Kondisi itu membuat aktivitas kegempaan di zona subduksi saat air laut surut naik 10 persen dibanding kondisi biasa.
Oleh karena itu, tidak perlu resah dengan ramalan atau berita bohong bahwa gerhana atau kesegarisan Matahari, Bumi, dan Bulan akan memicu banyak bencana. Namun, kewaspadaan tetap harus dipelihara mengingat kompleksnya faktor penyebab bencana.
Dampak lain dari gerhana yang sering diramalkan oleh astrolog adalah munculnya berbagai persoalan dalam kehidupan manusia. Sejak beberapa milenium silam, tafsir gerhana memang sudah ada dan terus berkembang hingga menjadi mitos.
Ramalan itu antara lain menganggap gerhana bulan akan memunculkan manusia serigala, memicu kegilaan massal, hingga pertanda datangnya kiamat. Bahkan, ramalan itu juga menyangkut hal-hal yang terkait dengan medis sehingga seolah-olah nyata, seperti meningkatkan efek kejang penderita epilepsi dan meningkatkan risiko operasi pembedahan.
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal ISRN Emergency Medicine, 2014, menyebutkan, kepercayaan bahwa siklus Bulan memunculkan dan meningkatkan gangguan psikiatri itu sudah muncul sejak abad pertengahan.
Robert Roy Britt dalam ”It’s Just a Phase: The Supermoon Won’t Drive You Mad” di Livescience,11 November 2016, menyebutkan, sebagian besar penelitian tentang mitos gerhana bulan tidak menemukan hubungan antara mitos yang ada dan gerhana. Beberapa studi menemukan adanya bukti mitos tersebut, tetapi tidak meyakinkan. Sementara sebagian riset yang lain cacat metodologi.
Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) dalam eclipse2017.nasa.gov secara tegas menyatakan, tidak ada bukti yang menunjukkan gerhana berdampak pada fisik manusia. Namun, gerhana sering menimbulkan efek psikologis yang pelik. Munculnya gerhana memang bisa menimbulkan rasa bingung, kagum, hingga kepasrahan dan pengorbanan.
Efek psikologis yang muncul dari menyaksikan gerhana itulah yang bisa menimbulkan efek fisik pada manusia. Karena itu, efek fisik akibat gerhana muncul secara tidak langsung.
Nonton Bareng Gerhana Bulan - Sebagian peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) V/2006 bidang astronomi sedang nonton bareng proses gerhana Bulan sebagian lewat layar TV di lapangan SMU Negeri 1 Semarang, Jumat (8/9/2006).
Studi yang dipublikasikan di jurnal Epilepsy & Behavior, 2004, menunjukkan tidak ada hubungan antara bulan purnama dan peningkatan kejang terhadap penderita epilepsi. Pada masa lalu, jauh sebelum dunia kedokteran berkembang seperti sekarang, dukun atau penyihir sering menyalahkan setan atau makhluk halus sebagai pemicu kejang. Situasi itu diyakini memengaruhi kecenderungan manusia untuk lebih memercayai mitos-mitos kesehatan dibanding penjelasan medis.
Mitos lain yang berkembang adalah bulan purnama dan gerhana bulan memunculkan dan meningkatkan gangguan jiwa. Namun, studi yang dilakukan peneliti Mayo Clinic, AS, menemukan tidak ada perbedaan kunjungan pasien pada tiga malam sebelum dan sesudah purnama dibandingkan dengan malam-malam lainnya.
Berbagai studi itu menunjukkan, berbagai mitos atau ramalan yang terkait perubahan fase Bulan dan gerhana tidak terbukti. Lantas, bagaimana dampak dari peristiwa alam itu terhadap binatang?
Laura Poppick dalam ”6 Wild Ways the Moon Affects Animals” di Livescience, 2 Juli 2013, menyebutkan, bagi hewan, purnama adalah tanda waktu untuk menyelaraskan berbagai kegiatannya, mendukung komunikasi visual pada malam hari, hingga menakuti mangsa dengan bayangan yang ditimbulkannya.
Anak-anak di Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Selasa (28/8/07), menunggu datangnya gerhana bulan dengan mengintip melalui teropong terbuat dari gulungan kertas. Gerhana bulan sendiri baru terlihat sekitar pukul 19.00 WIB.
Salah satu hewan yang memanfaatkan fase Bulan untuk menunjang aktivitas adalah cerpelai atau musang eropa, Meles meles. Hewan ini cenderung untuk kawin pada saat bulan mati atau bulan baru, ketika suasana malam menjadi lebih gelap karena tidak ada cahaya Bulan. Waktu itu dipilih karena dianggap lebih aman untuk musang kawin sehingga terhindar dari serangan binatang pemangsa.
Sementara itu, binatang peliharaan seperti anjing atau kucing cenderung lebih aktif dan lebih sering terluka saat purnama. Meski tidak jelas hubungan antara banyaknya hewan peliharaan yang luka dan bulan purnama, diduga binatang tersebut lebih aktif dan menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah saat terang Bulan sehingga meningkatkan risiko cedera.
Packer C dkk dalam ”Fear of Darkness, the Full Moon and the Nocturnal Ecology of African Lions” di jurnal PLOS ONE, 20 Juli 2011, menyebutkan, singa afrika lebih sering menyerang manusia beberapa hari setelah bulan purnama.
Selepas purnama, Bulan akan terbit makin malam hingga terbit bersamaan dengan terbitnya Matahari saat bulan mati. Kondisi itu membuat suasana pada awal malam menjadi lebih gelap. Padahal, manusia masih aktif di luar rumah setidaknya hingga pukul 22.00. Akibatnya, banyak manusia menjadi korban serangan singa.
Salat Gerhana Bulan - Sebagian peserta Olimpiade Sains Nasional (OSN) V/2006 bidang astronomi melaksanakan Salat Gerhana Bulan, bersamaan dengan proses gerhana Bulan yang sedang terjadi, di masjid SMU Negeri 1 Semarang, Jumat (8/9/2006).
Studi lain menyebutkan, singa mengonsumsi makanan lebih sedikit saat bulan purnama. Langit malam yang terang akibat cahaya Bulan membuat mangsa singa kurang aktif karena mereka sadar bahaya yang mengancam. Akibatnya, singa yang biasa berburu malam hari menjadi kekurangan makanan. Konsekuensinya, beberapa hari setelah bulan purnama, singa jadi berburu di siang hari.
Sementara itu, saat terjadi gerhana bulan, Janousek TE dan Olson JK dalam ”Effect of a Lunar Eclipse on the Flight Activity of Mosquitoes in the Upper Gulf Coast of Texas” yang dipublikasikan di Journal of the American Mosquito Control Association, Juni 1994, menyebutkan, jumlah nyamuk yang ditangkap saat terjadi gerhana lebih sedikit dibanding saat bulan purnama, sebelum atau sesudah terjadi gerhana.
Sejumlah studi itu menunjukkan perubahan fase Bulan dan gerhana bulan memengaruhi perilaku binatang. Karena itu, gerhana bulan total 28 Juli yang menjadi gerhana bulan total terlama pada abad ke-21 bisa dimanfaatkan untuk meneliti perubahan perilaku binatang lebih lanjut. Terlebih, studi mengenai hal itu masih sangat terbatas.
Namun, apa pun tujuannya, gerhana bulan total tetap menarik untuk disaksikan dan terlalu sayang untuk dilewatkan. Terlebih, Indonesia baru akan dilanda gerhana bulan total lagi tiga tahun mendatang, yakni 26 Mei 2021. Itu pun fase totalitas gerhananya hanya berlangsung selama 14,30 menit.
Selain gerhana bulan, banyak obyek langit yang menarik untuk diamati mulai Jumat (27/7/2018) petang hingga Sabtu (28/7/2018) subuh. Ada sejumlah planet yang akan muncul, seperti Venus, Jupiter, Saturnus, dan Mars. Aneka konstelasi atau rasi bintang pun bisa diamati, seperti rasi kalajengking atau Scorpius, rasi teko Sagittarius, hingga rasi Orion atau masyarakat Jawa lebih mengenalnya sebagai Lintang Waluku.
Meski planet dan rasi itu mudah dikenali, terangnya cahaya Bulan dipastikan akan membuatnya lebih sulit untuk diamati.
Warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (31/1/2018) malam, untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana Bulan dalam satu waktu bersamaan.
Selain itu, bersamaan dengan terjadinya gerhana bulan, juga akan terjadi oposisi Mars atau kesegarisan Matahari, Bumi, dan Mars pada 27 Juli 2018. Mars akan berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi pada 31 Juli, pada jarak 57,7 juta kilometer. Kondisi itu akan membuat Mars cukup terang untuk diamati. Terlebih, saat puncak gerhana bulan total nanti, Mars akan terlihat berada di dekat Bulan.
Tepat saat gerhana berlangsung juga terjadi hujan meteor Delta Aquariid. Hujan meteor ini mencapai puncaknya pada 27-28 Juli dengan jumlah meteor 10-20 buah setiap jam. Meski cahaya Bulan akan menenggelamkan cahaya meteor yang redup, peluang mengamati bintang jatuh itu tetap terbuka saat fase totalitas gerhana berlangsung.
Untuk mengamati semua itu, tidak diperlukan alat bantu apa pun karena semua bisa diamati dengan mata telanjang. Namun, jika ingin menyaksikan detail planet beserta satelit-satelitnya, cincin Saturnus, atau kawah-kawah di permukaan Bulan, perlu menggunakan teleskop atau binokuler.
Seorang astronom sedang memotret gerhana bulan di Observatorium Bosscha, Jumat (8/9/2007) dinihari. Gambar-gambar gerhana bulan ini nantinya akan disebarluaskan untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Tempat terbaik untuk mengamati semua itu adalah daerah dengan langit malam yang bersih, jauh dari polusi cahaya. Namun, jika hanya ingin melihat gerhana bulan total, pengamatan bisa dilakukan di mana pun.
Karena gerhana bulan total terjadi setelah dini hari hingga beberapa saat setelah Matahari terbit, tempat untuk mengamati gerhana bulan harus memiliki medan pandang ke arah barat yang luas. Anda hanya perlu berbekal baju hangat serta makanan atau minuman hangat untuk menemani pengamatan mengingat udara dingin diperkirakan masih akan terjadi selama musim kemarau.
Jadi, siapkan diri dari sekarang. Selamat menikmati keindahan langit dan gerhana bulan total terlama di abad ke-21!
Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto | penulis: M Zaid Wahyudi | designer & pengembang: Elga Yuda Pranata, Rafni Amanda, Ria Chandra | fotografer: Adrian Fajriansyah, Agus Susanto, Arbain Rambey, Bahana Patria Gupta, Heru Sri Kumoro, Kartono Ryadi, Mahdi Muhammad, Videlis Jemali | infografik: Ardiansyah, Parlindungan Siregar | penyelaras bahasa: Priskilia Bintang
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.