Namun, di lain sisi, doktrin itu—yang kemudian juga menular pada kelompok masyarakat lainnya, terutama mereka yang mengadopsi gaya hidup bugar dengan berolahraga secara teratur—melahirkan kebiasaan mengonsumsi suplemen secara teratur, kadang dalam jumlah yang cukup banyak, seperti yang disinyalir oleh Armandoni.
Mungkin, kebiasaan seperti itu tidak juga salah. Dalam satu perbincangan membahas soal suplemen, Mury Kuswari yang Ketua Umum Asosiasi Nutrisionis Olahraga dan Kebugaran Indonesia (ANOKI) serta-merta menyodorkan sebuah diagram yang isinya mengejutkan. Dalam diri komunitas olahraga itu sendiri terdapat perbedaan cara pandang terhadap suplemen.
Banyak atlet, pelatih, orangtua—tentu saja dengan dukungan kalangan industri suplemen secara langsung ataupun tidak langsung—memulai rezim zat gizi olahraga (sports nutrition) dengan menempatkan suplemen, juga sebagai kebutuhan awal.
Hal ini bisa jadi berarti, pola makan seperti biasa (yang belum tentu telah memenuhi kriteria asupan seimbang) tetap dilanjutkan, tetapi hal itu disadari tidaklah mencukupi untuk kebutuhan peningkatan dan perkembangan prestasi dan latihan.
Banyak atlet telah “dididik” untuk memiliki jumlah waktu makan yang lebih banyak.
Atau, pola makan dan kebutuhan zat gizi semula dilanjutkan dengan jumah yang ditingkatkan, tetapi praktik itu disadari tidak akan mencukupi karena terbentur pada ”waktu” yang tetap 24 jam. Kasarnya, waktu yang sehari itu harus dibagi untuk latihan spesifik cabang olahraga, latihan fisik sebagai pendukung, ditambah aktivitas sebagaimana warga lainnya: bekerja atau sekolah, istirahat, kegiatan sosial, dan makan.
Jika sekali mengasup sepiring makan siang menghabiskan waktu 30 menit, misalnya, berapa waktu tambahan yang diperlukan untuk menghabiskan dua piring. Belum lagi, jika orang kebanyakan makan tiga kali dalam sehari, banyak atlet telah ”dididik” untuk memiliki jumlah waktu makan yang lebih banyak.
Misalnya, tiga kali makan pokok termasuk sarapan, sekian kali kudapan bergizi (sebelum atau pascalatihan), dan sekali memasok zat gizi bermutu (antara lain kaldu atau protein seperti susu) sebelum tidur.
Atlet sejak mereka berstatus atlet pelajar memang mesin energi yang besar. Hal itu, antara lain, dicontohkan oleh pengasuh klub renang AS, Rivertown Aquatics, dalam situs mereka. Seorang perenang, misalnya, memerlukan energi hingga 10 kalori dalam semenit latihan.
Jika seorang perenang putra usia 14 tahun berlatih satu jam dalam sehari, kebutuhan energinya lebih banyak hingga 500 kilokalori dibandingkan kebutuhan remaja normal. Jika latihan dua jam, bisa lebih banyak 800 kalori (dengan K besar yang menunjukkan kilokalori).