Masa depan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) kian suram seiring merebaknya penyakit demam babi afrika. Wabah yang menerjang hingga ke jantung konservasi itu menambah berat tantangan pelestarian ”Sang Raja Rimba” sekaligus menyeretnya lebih dekat pada jurang kepunahan.
Saat dunia diguncang pandemi Covid-19, kehidupan satwa di alam liar turut dirundung kepunahan. Ironisnya, ancaman itu mengintai dalam senyap.
Masa depan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) kian suram seiring merebaknya penyakit demam babi afrika.
Sebaran demam babi afrika (African swine fever/ASF) di Indonesia hingga kini belum terpetakan secara memadai. Laporan mengenai kematian babi menggema luas hingga penjuru hutan Sumatera. Namun, identifikasi penyebabnya baru terjawab di sebagian kecil wilayah.
Di Taman Nasional Bukit Duabelas, kematian misterius babi dilaporkan oleh Orang Rimba dan petugas balai taman nasional setempat. Kondisi ini mengakibatkan komunitas pedalaman yang menjalankan tradisi berburu semakin sulit menemukan kawanan babi hutan. Puncaknya berlangsung tiga bulan terakhir.
”Sebelum babi akhirnya hilang, kami melihat banyak yang mati di pinggir-pinggir sungai,” ujar Tumenggung Ngelembo, pimpinan adat Orang Rimba di wilayah Serenggam, Senin (18/10/2021).
Kematian serupa terjadi di Taman Nasional Berbak dan Sembilang (TNBS) di Jambi dan Sumatera Selatan serta Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Kematian babi juga dilaporkan terjadi di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Jambi dan Riau. Dari seluruh temuan kematian babi, hanya di TNBS yang dapat diidentifikasi.
Spesimennya diuji di Laboratorium Balai Veteriner Lampung. Dari dua sampel, hasil uji spesimen pertama positif terinfeksi virus demam babi afrika. ”Satu sampel lainnya negatif, kemungkinan karena kondisi organ sudah rusak dan terendam air laut,” ujar Pratono Puroso, Kepala Balai TNBS.
Sewaktu Kompas menjelajah kawasan penyangga taman nasional Oktober lalu, warga setempat menunjukkan bangkai babi hutan. Bau busuk terasa menyengat di sekitar perkebunan sawit itu. ”Bangkai ini sudah sekitar dua minggu,” ujar Asnawi, warga Desa Air Hitam Laut.
Sebelum itu, jumlah babi yang mati lebih banyak. Setiap kali memanen sawit, ia kerap mendapati babi berjalan terhuyung-huyung lalu rebah di tanah. Tak lama kemudian babi mati. Mulutnya tampak berbuih.
Setelah rentetan kematian babi, Asnawi kini jarang melihat babi hutan berkeliaran di kebunnya. Menghilangnya babi menimbulkan persoalan baru.
Harimau-harimau kerap muncul di permukiman warga. Dua sapi milik Asnawi diterkam harimau saat hari mulai gelap. Total, di desa itu, sudah lebih dari 20 ekor sapi dan kambing mati diterkam harimau.
Selain di wilayah Berbak, keluarnya harimau dari hutan turut menimbulkan korban luka, bahkan korban jiwa dari kalangan warga. Kasus terbaru adalah keluarnya harimau betina dari TN Kerinci Seblat di wilayah Merangin, Oktober lalu, yang menyebabkan dua warga tewas setelah sebelumnya kedua pihak berkonflik.
Harimau akhirnya dievakuasi petugas konservasi satwa. Saat itulah diketahui kondisinya tampak menyedihkan. Tubuhnya sangat kurus dan diduga mengalami malanutrisi kronis.
Tim berupaya memperbaiki kondisi harimau dengan membawanya ke Tempat Penyelamatan Satwa (TPS) Jambi. Dua pekan setelahnya, nasib harimau semakin memburuk hingga akhirnya mati pada 2 November.
Menurut Hariyo Wibisono, Direktur Yayasan Save the Indonesian Nature and Threatened Species (Sintas), kondisi itu memberi gambaran nasib tragis si ”satwa kunci”. ”Ini menunjukkan harimau kita tidak sedang baik-baik saja,” ujarnya.
Meluasnya konflik harimau dan warga juga ditemukan di Riau dan Sumatera Barat. Seorang remaja tewas diterkam harimau di dekat kamp kebun sawit di Riau. Harimau sumatera dilaporkan sering muncul di permukiman itu setahun terakhir. Harimau juga memangsa ternak warga.
Untuk mengatasi konflik, petugas konservasi satwa akhirnya mengevakuasi harimau. Apalagi, ancaman perburuan mengintai satwa di tengah terjadinya konflik.
Berdasarkan data terbaru lembaga internasional Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Badan Konservasi Dunia (IUCN SSC), serta Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), ASF merupakan penyakit babi yang sangat menular dan mematikan.
Meskipun virusnya tidak menimbulkan bahaya bagi manusia, kasus kematian babi liar telah menyapu seluruh wilayah Asia Pasifik yang mengarah pada pemusnahan 100 juta babi demi mengendalikan penyebarannya.
Selain mengancam ketahanan pangan dunia, hilangnya spesies ini juga mengganggu keseimbangan ekosistem. Menyusutnya populasi babi akan mendorong satwa predator terancam punah, seperti harimau sumatera, semakin mendekati tepi kepunahan. Hal ini karena babi hutan menjadi sumber pakan penting bagi harimau.
Menurut Hariyo yang akrab disebut Beebach, wabah ASF bagaikan puncak kemelut yang dihadapi harimau sumatera, satu-satunya spesies harimau yang tersisa di negeri ini. ”Sebelum wabah ASF menyebar, kondisi harimau sudah terancam. Apalagi dengan adanya wabah ini, membuat kondisi harimau semakin sulit,” tambahnya.
Hasil riset tahun 2002 menunjukkan terjadinya penurunan ketersediaan pakan di hutan Sumatera. Ambil contoh di TN Bukit Barisan Selatan, seperti disebutkan dalam riset Beebach bersama dua peneliti lainnya, yakni Timothy O’Brien dan Margaret Kinnaird, dalam Jurnal Animal Conservation. Saat itu, mereka masih bergabung dengan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program.
Temuan mereka menunjukkan, harimau sumatera terdesak oleh perburuan liar dan perubahan kualitas habitat yang menjadi penyebab menurunnya populasi hewan itu serta satwa-satwa mangsanya, seperti pelanduk kancil (Tragulus spp), babi (Sus scrofa), kijang (Cervus unicolor), kijang merah (Muntiacus muntjac), dan kuncir kera (Macaca nemestrina).
Ia memperkirakan keberadaan harimau di TNBS dan kawasan lindung lainnya di Sumatera semakin dekat pada kepunahan jika tren perburuan dan deforestasi tidak dikendalikan. Apalagi, saat ini kondisinya diperparah dengan wabah ASF.
Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh mengatakan, ruang gerak harimau terdesak oleh aktivitas manusia. Fragmentasi ditemukan di sejumlah kantong populasi. Salah satunya di penyangga TN Kerinci Seblat, Merangin, yang kini marak dengan aktivitas tambang emas liar.
Dari tangkapan layar Googleearth terlihat, perubahan signifikan kondisi hutan akibat deforestasi dan adanya pencemaran air sungai akibat tambang liar, khususnya dalam setahun terakhir.
Selain kekurangan satwa mangsa, harimau juga dibayangi virus berbahaya Canine distemper virus (CDV). Penelitian dokter hewan di Taman Safari Indonesia, Bongot Huaso Mulia dan rekan-rekan, mendeteksi, 9 dari 21 harimau sumatera yang ditangkap di alam liar ternyata terpapar CDV.
Harimau ini berasal dari Bengkulu, Sumatera Utara, dan Aceh. Hasil riset tersebut telah diterbitkan dalam Journal of Wildlife Diseases, awal 2021.
Sayangnya, hasil riset ini belum diiringi penanganan tanggap darurat. Wabah penyakit belum masuk dalam dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra (SRAK) 2019-2029, yang lebih berfokus pada pencegahan perburuan dan perdagangan liar, perlindungan habitat, serta penanganan konflik.
Peringatan hari cinta puspa dan satwa rutin kita peringati setiap tanggal 5 November. Peringatan tahun ini selayaknya membawa pada kesadaran baru bahwa harimau kita tidak sedang baik-baik saja. Si ”raja hutan” kehilangan hutannya. Ancaman besar pun membayangi eksistensi sang raja.