Surabaya dikoyak-koyak. Teror bom telah menimbulkan korban jiwa sekaligus trauma bagi sebagian warga. Surabaya, kota yang tahun ini berusia 725 tahun ini, pun tercoreng. Padahal, selama berabad-abad, orang Surabaya dikenal sebagai orang-orang yang liat dalam berjuang.
Perjuangan itu pun adalah, perjuangan untuk melawan pendudukan asing. Terutama, pendudukan oleh bangsa barat. Dan, dalam perjuangan itu, warga Surabaya dari segala golongan, suku, bangsa, ras, dan agama senantiasa bahu membahu.
Paska teror bom, ada baiknya keberagaman dan kebersamaan Surabaya kita kenang kembali. Keberagaman dan kebersamaan yang menjadi fondasi dari Kota Surabaya.
Tjoa Kwie Sioe (1739-1793), seorang perantau Tionghoa, dan pasangannya, Nyai Roro Kinjeng, putri bangsawan Surabaya, adalah salah satu simbol keberagaman dan keterbukaan masyarakat Surabaya yang mungkin terlupakan.
Tjoe Kwie Sioe, dalam catatan Sam Setyautama penulis buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, tiba di Surabaya pada tahun 1753. Saat berniaga di Surabaya, dia berkenalan dengan Nyai Roro Kinjeng, adik dari Bupati Surabaya.
Majalah Star Weekly edisi 26 Juli 1958 mencatat, kisah asmara antara Tjoa dan Roro Kinjeng ibarat cerita satria negeri dongeng.
Tatkala terjadi peperangan tahun 1758, Tjoa Kwie Sioe memihak Surabaya dalam pertempuran melawan VOC. Pemuda Tjoa bahkan menyelamatkan Nyai Roro Kinjeng di kapalnya yang berlabuh di pesisir Surabaya.
Kemudian, Tjoa menikahi Nyai Roro Kinjeng secara Islam dan hidup bahagia. Nyai Roro Kinjeng kemudian dimakamkan di kompleks Masjid Ampel, sedangkan Tjoa Kwie Sioe dikebumikan di pemakaman keluarga Tjoa.
Menurut Osa Kurniawan Ilham, penulis buku Proklamasi Sebuah Rekonstruksi, dalam narasi masyarakat Surabaya, kisah relasi Jawa-Tionghoa dan keberagaman lebih dikenal dalam hubungan Prabu Brawijaya dan Putri Campa. Padahal, ada kisah Tjoa Kwie Sioe itu tadi.
Adapun, menurut penulis Daradjadi Gondodiprojo, pada tahun 1740-1743 terbentuk koalisi antara Jawa dan Tionghoa melawan VOC di wilayah mulai sekitar Priangan Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pertempuran berdarah pun terjadi di Surabaya hingga Pasuruan dan Malang.
Kapitan China Sepanjang, ketika itu menjadi Panglima Laskar Koalisi Tionghoa-Jawa. Kapitan China Sepanjang memimpin pasukan gerilya dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Menurut Osa Kurniawan Ilham, di sekitar perbatasan Surabaya dan Sidoarjo terdapat bekas petilasan Kapitan China Sepanjang yang kemudian dikenal sebagai Kampung Sepanjang. Medio Mei 2018 ini pun terjadi teror bom di rusunawa Sepanjang di Sidoarjo, Jawa Timur. ”Ya, nama daerah itu, Sepanjang, ada kaitannya dengan Kapitan Sepanjang,” ujarnya.
Laskar Kapitan Sepanjang, ditambahkan penulis Daradjadi, juga turut berperang bersama keturunan Untung Surapati yang berkuasa di sekitar Pasuruan. Mereka bertempur melawan VOC di sekitar Surabaya.
Perjuangan mereka di Surabaya melampaui batasan suku dan agama demi memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia bebas merdeka.
Berjuang dalam kebersamaan, tanpa memandang suku dan agama, juga menjadi identitas arek Suroboyo dalam Perang Kemerdekaan RI.
Ady Setiawan, salah satu pendiri Komunitas Roode Bruge di Surabaya, yang melestarikan nilai-nilai perjuangan dalam Pertempuran 10 November 1945, memiliki daftar susunan pelaku pertempuran, yakni mulai dari laskar di bawah kepemimpinan Bung Tomo, para santri, aktivis buruh dan gerakan sosialis, hingga Laskar Chungking dan Palang Merah Tionghoa asal Surabaya dan Malang.
Dalam buku pameran Galeri Foto Jurnalistik Antara (2009) bertema ”Enam Boelan Repoeblik Indonesia” yang dimuat artikel di harian Merdeka berjudul ”Pendoedoek Tionghoa Toeroet Membantoe Kita”. Dimuat pula foto-foto pejuang Indonesia dan Laskar Chungking bertukar api rokok.
Foto-foto dokumentasi itu menegaskan bahwa semua elemen masyarakat Surabaya—dan daerah sekitarnya, tanpa memandang suku, ras dan agama—bahu-membahu dalam pertempuran melawan pasukan sekutu. Identitas mereka hanya satu, yakni sebagai arek-arek Suroboyo.
Walau tentu saja, landasan moral perjuangan arek-arek Suroboyo diperkuat dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diterbitkan para Kiai Nahdlatul Ulama di Jagiran.
Munawir Azis, penulis buku Pahlawan Santri dan beberapa buku terkait relasi pesantren dan Tionghoa, mengakui, dukungan moral dari Kiai Wabah Chasbullah, Kiai Bisri di Rembang, Kiai Abbas di Cirebon, dan Kiai Hasyim Ashari telah memompa perjuangan habis-habisan di Surabaya.
Bahkan, Surabaya pernah menerima kehadiran seorang perempuan kulit putih dalam perjuangannya.
Ktut Tantri dalam buku Revolusi di Nusa Damai mengisahkan, dirinya menjadi perempuan Inggris yang dicari Sekutu karena menjadi propagandis Radio Pemberontakan Rakyat di bawah arahan Bung Tomo.
Bernama asli Muriel Stuart Walker (1898-1997), Ktut Tantri bahkan sempat dijuluki sebagai ”Surabaya Sue”. Dia juga beberapa kali terlibat operasi bersama pejuang Indonesia di Front Pertempuran Surabaya.
Bahkan, tidak sedikit Laskar British India yang membelot, memilih bergabung dengan arek-arek Suroboyo melawan tentara Sekutu dalam pertempuran yang berlangsung akhir Oktober 1945 hingga 20 November 1945 itu. Keturunan dari Laskar British India itu pun masih ada yang bermukim di Indonesia hingga sekarang.
Teror bom di Surabaya beberapa waktu terakhir ini kiranya menggenapi apa yang pernah dikatakan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Ia pernah berkata, ”Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.”
Jadi mungkin, masih ada anak bangsa yang belum memahami betul sejarah kejuangan Surabaya. Mungkin, masih ada yang belum mengetahui bahwa Kota Surabaya dari abad ke abad kerap dijaga oleh berbagai elemen masyarakat lintas suku, agama, dan latar belakang sosial. Sejak zaman dulu, Surabaya tidak pernah homogen.
Dalam kondisi terkini, kiranya warga Surabaya harus tetap bersatu dan tidak boleh menyerah!
Penulis: Iwan Santosa | Fotografer: Bahana Patria Gupta, Angger Putranto | Desainer & Pengembang: Elga Pranata, Yulius Giann | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.