Logo KompasMenjaga Keberagaman Surabaya

Menjaga Keberagaman Surabaya

Surabaya dikoyak-koyak. Teror bom telah menimbulkan korban jiwa sekaligus trauma bagi sebagian warga. Surabaya, kota yang tahun ini berusia 725 tahun ini, pun tercoreng. Padahal, selama berabad-abad, orang Surabaya dikenal sebagai orang-orang yang liat dalam berjuang.

Perjuangan itu pun adalah, perjuangan untuk melawan pendudukan asing. Terutama, pendudukan oleh bangsa barat. Dan, dalam perjuangan itu, warga Surabaya dari segala golongan, suku, bangsa, ras, dan agama senantiasa bahu membahu.

Paska teror bom, ada baiknya keberagaman dan kebersamaan Surabaya kita kenang kembali. Keberagaman dan kebersamaan yang menjadi fondasi dari Kota Surabaya.

Kompas/Bahana Patria Gupta
Warga dari berbagai macam keyakinan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya saat berlangsung doa lintas iman di Gereja Kristen Indonesia Diponegoro, Surabaya, Jumat (18/5/2018). Selain bentuk dukungan untuk kembali bangkit, Gereja yang menjadi sasaran bom bunuh diri pada Minggu (13/8/2018) lalu, warga berdoa bersama agar korban yang masih dirawat segera sembuh juga berharap aksi terorisme tidak terjadi lagi di Indonesia.

Tjoa Kwie Sioe (1739-1793), seorang perantau Tionghoa, dan pasangannya, Nyai Roro Kinjeng, putri bangsawan Surabaya, adalah salah satu simbol keberagaman dan keterbukaan masyarakat Surabaya yang mungkin terlupakan.

Tjoe Kwie Sioe, dalam catatan Sam Setyautama penulis buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, tiba di Surabaya pada tahun 1753. Saat berniaga di Surabaya, dia berkenalan dengan Nyai Roro Kinjeng, adik dari Bupati Surabaya.

Majalah Star Weekly edisi 26 Juli 1958 mencatat, kisah asmara antara Tjoa dan Roro Kinjeng ibarat cerita satria negeri dongeng.

Tatkala terjadi peperangan tahun 1758, Tjoa Kwie Sioe memihak Surabaya dalam pertempuran melawan VOC. Pemuda Tjoa bahkan menyelamatkan Nyai Roro Kinjeng di kapalnya yang berlabuh di pesisir Surabaya.

Kemudian, Tjoa menikahi Nyai Roro Kinjeng secara Islam dan hidup bahagia. Nyai Roro Kinjeng kemudian dimakamkan di kompleks Masjid Ampel, sedangkan Tjoa Kwie Sioe dikebumikan di pemakaman keluarga Tjoa.

Menurut Osa Kurniawan Ilham, penulis buku Proklamasi Sebuah Rekonstruksi, dalam narasi masyarakat Surabaya, kisah relasi Jawa-Tionghoa dan keberagaman lebih dikenal dalam hubungan Prabu Brawijaya dan Putri Campa. Padahal, ada kisah Tjoa Kwie Sioe itu tadi.

Veteran memberikan hormat saat pengibaran bendera Merah Putih di atas Hotel Majapahit bagian dari Parade Surabaya Juang 2013 dalam rangka Hari Pahlawan di Jalan Tunjungan, Surabaya, Minggu (10/11/2013). Kegiatan tersebut untuk mengingat kembali jasa para Pahlawan khususnya yang berjuang di medan pertempuran Surabaya mempertahankan kemerdekaan melawa sekutu pada 10 November 1945.
Kompas/Bahana Patria Gupta

Melawan VOC

Adapun, menurut penulis Daradjadi Gondodiprojo, pada tahun 1740-1743 terbentuk koalisi antara Jawa dan Tionghoa melawan VOC di wilayah mulai sekitar Priangan Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pertempuran berdarah pun terjadi di Surabaya hingga Pasuruan dan Malang.

Kapitan China Sepanjang, ketika itu menjadi Panglima Laskar Koalisi Tionghoa-Jawa. Kapitan China Sepanjang memimpin pasukan gerilya dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Perjuangan mereka di Surabaya melampaui batasan suku dan agama demi memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia bebas merdeka.

Menurut Osa Kurniawan Ilham, di sekitar perbatasan Surabaya dan Sidoarjo terdapat bekas petilasan Kapitan China Sepanjang yang kemudian dikenal sebagai Kampung Sepanjang. Medio Mei 2018 ini pun terjadi teror bom di rusunawa Sepanjang di Sidoarjo, Jawa Timur. ”Ya, nama daerah itu, Sepanjang, ada kaitannya dengan Kapitan Sepanjang,” ujarnya.

Laskar Kapitan Sepanjang, ditambahkan penulis Daradjadi, juga turut berperang bersama keturunan Untung Surapati yang berkuasa di sekitar Pasuruan. Mereka bertempur melawan VOC di sekitar Surabaya.

Perjuangan mereka di Surabaya melampaui batasan suku dan agama demi memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia bebas merdeka.

Pemuda menyerbu Hotel Yamato saat rekonstruksi perristiwa perobekan bendera merah putih biru 19 September 1945 di Jalan Tunjungan, Surabaya, Senin (19/9/2016). Perobekan bendera oleh pemuda Surabaya tersebut merupakan awal dari perjuangan pemuda Surabaya mempertahankan kemerdekaan dan puncaknya adalah diturunkannya ultimatum oleh sekutu pada 10 November 1945 yang berakhir dengan pertempuran besar dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Kompas/Bahana Patria Gupta

Bahu-membahu

Berjuang dalam kebersamaan, tanpa memandang suku dan agama, juga menjadi identitas arek Suroboyo dalam Perang Kemerdekaan RI.

Ady Setiawan, salah satu pendiri Komunitas Roode Bruge di Surabaya, yang melestarikan nilai-nilai perjuangan dalam Pertempuran 10 November 1945, memiliki daftar susunan pelaku pertempuran, yakni mulai dari laskar di bawah kepemimpinan Bung Tomo, para santri, aktivis buruh dan gerakan sosialis, hingga Laskar Chungking dan Palang Merah Tionghoa asal Surabaya dan Malang.

Dalam buku pameran Galeri Foto Jurnalistik Antara (2009) bertema ”Enam Boelan Repoeblik Indonesia” yang dimuat artikel di harian Merdeka berjudul ”Pendoedoek Tionghoa Toeroet Membantoe Kita”. Dimuat pula foto-foto pejuang Indonesia dan Laskar Chungking bertukar api rokok.

Identitas mereka hanya satu, yakni sebagai arek-arek Suroboyo.

Foto-foto dokumentasi itu menegaskan bahwa semua elemen masyarakat Surabaya—dan daerah sekitarnya, tanpa memandang suku, ras dan agama—bahu-membahu dalam pertempuran melawan pasukan sekutu. Identitas mereka hanya satu, yakni sebagai arek-arek Suroboyo.

Walau tentu saja, landasan moral perjuangan arek-arek Suroboyo diperkuat dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diterbitkan para Kiai Nahdlatul Ulama di Jagiran.

Munawir Azis, penulis buku Pahlawan Santri dan beberapa buku terkait relasi pesantren dan Tionghoa, mengakui, dukungan moral dari Kiai Wabah Chasbullah, Kiai Bisri di Rembang, Kiai Abbas di Cirebon, dan Kiai Hasyim Ashari telah memompa perjuangan habis-habisan di Surabaya.

Tokoh KH Hasyim Asy’ary bersama santri saat Fragmen Pertempuran 10 November 1945 pada Drama Kolosal Resolusi Jihad NU dalam rangka Hari Santri Nasional di Tugu Pahlawan, Surabaya, Kamis (22/10/2015). Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ary pada tanggal 22 Oktober 1945 telah membakar semangat umat Islam khususnya santri untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan terutama dalam pertempuran 10 November 1945.
Kompas/Bahana Patria Gupta

Dibantu ”Surabaya Sue”

Bahkan, Surabaya pernah menerima kehadiran seorang perempuan kulit putih dalam perjuangannya.

Ktut Tantri dalam buku Revolusi di Nusa Damai mengisahkan, dirinya menjadi perempuan Inggris yang dicari Sekutu karena menjadi propagandis Radio Pemberontakan Rakyat di bawah arahan Bung Tomo.

Bernama asli Muriel Stuart Walker (1898-1997), Ktut Tantri bahkan sempat dijuluki sebagai ”Surabaya Sue”. Dia juga beberapa kali terlibat operasi bersama pejuang Indonesia di Front Pertempuran Surabaya.

Bahkan, tidak sedikit Laskar British India yang membelot, memilih bergabung dengan arek-arek Suroboyo melawan tentara Sekutu dalam pertempuran yang berlangsung akhir Oktober 1945 hingga 20 November 1945 itu. Keturunan dari Laskar British India itu pun masih ada yang bermukim di Indonesia hingga sekarang.

Kompas/Bahana Patria Gupta
Petugas keamanan gabungan memeriksa barang bawaan jemaat yang akan mengikuti kebaktian di Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro, Surabaya, Minggu (20/5/2018). Gereja tersebut merupakan satu dari tiga gereja yang terkena serangan teroris bom bunuh diri. Penjagaan yang melibatkan petugas keamanan gabungan diterapkan di gereja-gereja di Surabaya untuk mengantisipasi aksi terorisme.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Aktivis dari Dompet Duafa Surabaya memberikan bunga sebagai tanda solidaritas kepada umat Gereja Katolik St Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya, Kamis (17/5/2018). Bentuk solidaritas dari berbagai lapisan masyarakat sempat terus mengalir dari untuk menunjukan bahwa peristiwa Minggu lalu merupakan duka seluruh masyarakat Indonesia.

Teror bom di Surabaya beberapa waktu terakhir ini kiranya menggenapi apa yang pernah dikatakan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Ia pernah berkata, ”Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.”

Jadi mungkin, masih ada anak bangsa yang belum memahami betul sejarah kejuangan Surabaya. Mungkin, masih ada yang belum mengetahui bahwa Kota Surabaya dari abad ke abad kerap dijaga oleh berbagai elemen masyarakat lintas suku, agama, dan latar belakang sosial. Sejak zaman dulu, Surabaya tidak pernah homogen.

Dalam kondisi terkini, kiranya warga Surabaya harus tetap bersatu dan tidak boleh menyerah!

Seniman Reog cilik tampil bersama barongsai pada Pawai Budaya dalam rangka Haul ke-4 Gus Dur di Jalan Prof Dr Moestopo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/12/2014). Acara yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Baitunna'im itu menampilkan sejumlah seni budaya berbeda untuk meneladani ajaran Gus Dur tentang pentingnya menjaga pluralisme.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Peserta Parade Budaya dan Pawai Bunga dalam rangka HUT ke-721 Kota Surabaya melintasi Jalan Tunjungan menuju Balaikota, Surabaya, Minggu (4/5/2014). Acara yang bertema "Semarak Surabaya dalam Keragaman Budaya" tersebut diikuti oleh 75 peserta dari berbagai daerah dan etnis.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Peserta dari perwakilan etnis India menari bersama saat berpartisipasi dalam Parade Budaya dan Pawai Bunga dalam rangka HUT ke-721 Kota Surabaya di Jalan Tunjungan, Surabaya, Minggu (4/5/2014).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Kerabat Kerja

Penulis: Iwan Santosa | Fotografer: Bahana Patria Gupta, Angger Putranto | Desainer & Pengembang: Elga Pranata, Yulius Giann | Produser: Haryo Damardono, Prasetyo Eko Prihananto

Suka dengan tulisan yang Anda baca?

Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.