Kehidupan Masyarakat di Jawa 1852

Kehidupan sehari-hari kolonial Belanda berbeda dengan kehidupan bangsa Inggris di Malaya dan India. Charles Walter Kinloch yang berkunjung ke Pulau Jawa pada 1852 membuat catatan tentang peri kehidupan orang Belanda dan masyarakat Jawa semasa itu.

Kinloch adalah pegawai Kompeni Inggris (East India Company/EIC) yang bertugas di British India (kini India, Pakistan, dan Bangladesh). Catatan kunjungannya ke Jawa dituangkan dalam bukunya, Rambles in Java and The Straits in 1852.

Ia mengakhiri perjalanannya di Jawa dengan menempuh jalur Salatiga-Semarang lalu berlayar dengan kapal api ke Batavia dilanjutkan ke Singapura. Menurut pengalaman Kinloch, Jawa dalam berbagai segi sangatlah tidak nyaman bagi orang Inggris meski diakuinya alam Pulau Jawa sangat indah. Salah satunya soal makanan. Makanan sehari-hari orang Belanda, menurut Kinloch, sangat tidak cocok dengan seleranya.

”Lagi-lagi mentega masam, ayam yang dagingnya alot, dan perkedel menjadi menu utama setiap hari. Di sisi lain, kami diterima oleh Gubernur Jenderal hingga para pelayan hotel dengan sangat baik,” kata Kinloch.

Setiba di Semarang, ia menulis, Semarang adalah kota dengan udara paling panas di Pulau Jawa. Kota Semarang sempat menjadi pusat pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang membawahi wilayah timur Nusantara. Namun, status tersebut pada 1852 sudah dicabut.

Di masa silam, para pejabat mendapat gaji bukan dari gaji tetap yang diberikan Gubernur Jenderal, melainkan berdasarkan persentase komisi yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi di daerahnya, seperti berapa besar hasil panen kopi dan teh dalam sistem Tanam Paksa. Bebannya tentu jatuh kepada masyarakat petani yang mengolah lahan dan dikenai target setoran jumlah panen.

Semasa itu tidak sampai seperempat dari luasan lahan di Jawa yang sudah dimanfaatkan untuk budidaya aneka komoditas pertanian dan perkebunan. Pertanian subur di Jawa tanpa memerlukan pupuk dan dapat dilakukan panenan dua kali dalam setahun.

Penguasaan tanah di Jawa sepenuhnya di bawah kekuasaan pemerintah dalam sistem Kolonial Belanda. Hak kepemilikan tanah oleh Bumiputra di Jawa tidak diakui. Meski demikian, mereka berhak menggarap tanah hingga turun-temurun.