Siapa mau dipanggil kera? Tak seorang pun mau disamakan dengan kera. Nekat memanggil dengan sebutan itu, bisa memicu perkelahian.
Namun, siapa sangka, para ilmuwan abad ke-17 dan ke-18 mengungkapkan teori yang hingga kini belum bisa diterima manusia. Kera besar, termasuk orangutan, merupakan kerabat dekat manusia.
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar di Asia. Tiga kerabat lainnya, yakni gorila, bonobo, dan simpanse, berada di Afrika.
Satwa menyusui ini merupakan hewan yang paling dekat dengan manusia. Carel van Chaik dalam bukunya, Di Antara Orangutan: Kera Merah dan Bangkitnya Kebudayaan (2006), menyebutkan, ketika pertama kalinya spesimen orangutan dari Asia dibawa ke Eropa pada abad ke-17, para ilmuwan menggila. Mereka menyaksikan satwa menyusui yang anatominya sangat mirip manusia.
Kompas/Megandika Wicaksono
Orangutan bernama Lidiya dan Noni bersama bayi-bayi keduanya di Camp Saluang Mas I, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Kamis (28/7/2016). Orangutan terancam punah akibat kebakaran hutan dan lahan serta maraknya perkebunan sawit.
Orangutan dan kera besar lainnya juga menjadi inspirasi Charles Darwin dalam menulis teori evolusi manusia tahun 1859. Tulisannya yang berjudul The Origin of Species kemudian menuai kontroversi. Ia pun dicerca dan dimaki.
Namun, kehadiran ilmu primatologi terus berkembang. Kera-kera besar, seperti orangutan, gorila, dan simpanse, didapati memiliki kemiripan DNA dengan manusia hingga 98 persen.
Kemiripan itu antara lain induk orangutan mengandung sembilan bulan. Induk betina memiliki kasih sayang yang kuat, bahkan mampu mengadopsi orangutan lain yang bukan anak kandungnya.
”Jika induk orangutan melihat bayi orangutan di hutan sendirian, akan dipeluk dan dididik seperti anaknya sendiri,” kata Agus Fahroni, Koordinator Medis Borneo Orangutan Survival (BOS), di Nyaru Menteng, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Kompas/Adrian Fajriansyah
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh bersama Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melepasliarkan empat orangutan sumatera (Pongo abelii) di kawasan hutan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (21/10/2015). Empat orangutan itu hasil sitaan dari warga di sejumlah daerah di Aceh yang memilikinya secara ilegal.
Kompas menyaksikan evakuasi orangutan di Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalteng, pada 2017. Satu betina orangutan berumur 20 tahun tengah menggendong dua bayi berumur 3 tahun. Dokter semula mengira kedua bayi itu kembar. Setelah diambil sampel darah dan dahak, barulah diketahui bahwa kedua bayi itu bukan dari induk yang sama. Artinya, orangutan betina memiliki kemampuan mengasuh anak orangutan lain.
Fakta lain, orangutan betina tidak akan melepas bayinya lebih dari 3 meter. Bayinya hanya dilepas setelah mampu mencari makanan sendiri dan melindungi diri sendiri dari predator.
Tahun 2018, dunia dikagetkan oleh dua kasus pembantaian orangutan dengan ”rekor” peluru terbanyak yang menembus tubuh satwa dilindungi tersebut. Di Taman Nasional Kutai, 130 peluru menembus tubuh seekor orangutan. Pada bagian kepala bersarang 74 peluru. Ditemukan pula 19 luka akibat senjata tajam.
Kasus kedua terjadi di Sungai Kalahien, Kabupaten Barito Selatan, Kalteng. Orangutan jantan ditemukan mengapung tanpa kepala. Di dalam tubuhnya bersarang 74 peluru.
Belakangan diketahui, kepala orangutan dikubur di samping rumah seorang petani. Si pelaku mengaku kesal karena orangutan mengganggu kebun jagung dan nanasnya. Ia pun menembakinya.
Manajer Perlindungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP) Ramadhani mengatakan, setidaknya ada 46 orangutan yang ditembaki dalam rentang tahun 2004-2018.
Carel van Chaik dalam bukunya menyebutkan, orangutan merupakan satwa arboreal atau cenderung hidup di antara pepohonan. Itu sebabnya mereka membutuhkan hutan sebagai rumah. Ironisnya, rumah nan luas tersebut kian tergusur oleh berbagai konsesi. ”Laju deforestasi yang tinggi membuat orangutan makin tersudut hingga akhirnya punah,” ucap Okta Simon, Ketua Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Tengah (Forkah).
Berdasarkan data Walhi Kalteng, tutupan hutan di Kalteng turun tiap tahun. Jika pada 1990 luasnya masih 11,05 juta hektar, pada 2014 tinggal 7,8 juta hektar.
Di tengah hutan, orangutan memakan buah-buahan dan menyebarkan bijinya berkelana. Kehadirannya membentuk tutupan hutan. Perilaku alaminya yang arboreal alias hidup di pepohonan membuat celah pada hutan primer agar cahaya matahari menembus masuk ke dalam hutan. Ekosistem hutan tropis pun berjalan dengan baik.
Fakta menarik lainnya ditemukan peneliti dari Borneo Nature Foundation (BNF) yang menemukan perilaku orangutan bernama Indy. Ia menyembuhkan diri menggunakan tanaman hutan bernama drasaena (Dracaena cantleyi). Tanaman itu kerap disebut tewukak oleh orang Dayak.
Dalam sebuah video penelitian, Indy mengunyah daun tewukak hingga mengeluarkan busa putih dari mulutnya. Busa itu lalu dioleskan ke lengan kiri selama tujuh menit. Belakangan diketahui, manfaatnya untuk mengobati radang sendi.
”Untuk pertama kalinya, aktivitas pengobatan sendiri oleh orangutan terkonfirmasi melalui penelitian ini,” kata Dr Ivona Foitová dari Universitas Masaryk di Brno, Ceko, dan pendamping peneliti BNF.
Analisis laboratorium farmakologi membuktikan ekstrak daun tewukak mengandung manfaat antiradang. Analisis itu mengambil sampel busa yang dioleskan pada tubuh orangutan.
Salah satu direktur BNF, Helen Morrogh-Bernard, mengatakan, penelitian ini merupakan laporan pertama pengobatan sendiri pada kera Asia. Ratusan orangutan dewasa betina diketahui melakukannya untuk menenangkan otot dan persendian yang sakit. Hal ini juga menunjukkan betapa besarnya manfaat orangutan dan kayanya hutan tropis bagi dunia kesehatan.
Di tengah pandemi korona, orangutan pun terancam tertular karena kemiripan 98 persen dengan DNA manusia. Jika penyakit tersebut turut mewabah pada primata itu, dampak terburuknya adalah kepunahan spesies.
Sejak 17 Maret 2020, seluruh pusat rehabilitasi orangutan milik Yayasan BOS ditutup untuk umum, seperti Pusat Informasi Yayasan BOS di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Samboja Lodge di Kalimantan Timur. ”Kami tak lagi menerima tamu, pengunjung, atau sukarelawan, sampai penyakit telah dieliminasi sepenuhnya,” kata CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite.
Jaga jarak antara petugas dan sukarelawan serta satwa kini juga diterapkan dalam situs-situs pelepasliaran dan penelitian. Itu berlaku pula di Hutan Lindung Bukit Batikap, Taman Nasional Bukit Baka, Hutan Kehje Sewen, dan Stasiun Penelitian Tuanan.