Bangunan sejarah dan masyarakatnya dapat menjadi magnet wisata yang dikunjungi wisatawan dari seluruh dunia, seperti Rambla di Barcelona, Spanyol. Rambla adalah sebuah koridor kota tua sepanjang 1,2 kilometer, dan di negeri ini bukannya kita tidak punya koridor serupa. Koridor serupa ternyata juga ada di Pulau Jawa, tepatnya di jalur pantai utara yang menghubungkan dua kota tua Rembang dan Lasem. Kita sebut saja ini dengan koridor Remblas, Rembang-Lasem. Terbangunnya Rembang dan Lasem kira-kira sezaman dengan pembangunan kawasan Rambla pada tahun 1300-an Masehi.
Berbeda dengan Rambla yang telah disesaki oleh wisatawan, koridor Remblas ini masih sepi dari kunjungan wisatawan. Boleh jadi karena minimnya infrastruktur, seperti jalan tol atau angkutan berbasis rel, atau boleh jadi karena minim dukungan narasi.
Lasem terbangun pada masa Majapahit dengan hadirnya Bhre Lasem, seorang pangeran yang bermukim di sana. Lasem adalah kota pesisir. Letaknya kemudian membuka banyak persinggungan dengan banyak orang asing.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels mencatat pada masa Perang Diponegoro (Java Oorlog) 1825-1830, para tokoh Tionghoa Lasem mengimpor senjata api dari Singapura, lalu memasoknya kepada seorang perempuan bangsawan Jawa di Rembang yang merupakan bagian dari pasukan Diponegoro. Pihak Belanda kemudian menghukum mati para penyelundup senjata tersebut. Semasa itu, banyak anak yang diberi nama Geger untuk mengenang ”Geger Diponegoro” tersebut.
Jauh sebelumnya, semasa Perang Geger Pacinan yang mempersatukan pasukan Mataram dan Tionghoa melawan VOC tahun 1740-1743, Lasem juga menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap VOC.
Penulis Daradjadi Gondodiprojo dalam buku Geger Pacinan: 1740-1743 Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC mencatat adanya tokoh Tan Sing Seh yang memimpin perlawanan dan adanya bupati-bupati peranakan Tionghoa yang memimpin daerah Lasem dan pantura Jawa.
Selanjutnya semasa Perang Dunia II, pasukan Jepang mendarat di Kragan dekat Lasem pada 1 Maret 1942. Pasukan Jepang yang mendarat dengan panduan buku Tropisch Nederland membuktikan geo strategis wilayah Rembang-Lasem yang berdekatan dengan pusat minyak bumi di Cepu, sasaran yang hendak direbut Jepang.
Jepang juga merebut galangan kapal Dasun di Lasem yang kemudian dimanfaatkan untuk membangun kapal-kapal kayu untuk kepentingan perang mereka.
Kebesaran wilayah Rembang-Lasem kini memudar ditelan zaman. Saat ini, bangunan-bangunan tua di Rembang dan Lasem nyaris terbengkalai dan tidak tersentuh.
Saat Kompas menyusuri koridor Remblas, Senin-Kamis (5-8/3/2018), sebagian bangunan tua sudah dijarah, terutama bagian-bagian yang terbuat dari kayu jati tua ukuran besar, seperti kusen pintu, jendela, dan struktur bangunan. Sebagian bangunan bahkan runtuh karena kayu-kayu penyangganya dijarah.
Untungnya, masih ada beberapa bangunan dari era 1700-an akhir dan 1800-an awal yang masih tersisa dan menjadi penanda tapak (landmark) di Rembang dan Lasem. Salah satu bangunan tersebut adalah rumah keluarga besar Kapiten Liem di Rembang, rumah madat (Hun Keng) di Lasem, rumah Letnan Lie, Rumah Londo—sebuah bangunan bergaya arsitektur Indische—di Jalan Raya Pos antara Rembang dan Lasem serta beberapa bangunan tua lainnya.
Subagio Tjoo, salah satu sesepuh warga Lasem yang merawat beberapa rumah tua dan menemani kunjungan rombongan dari Museum Benteng Heritage Tangerang, menjelaskan, banyak rumah bersejarah tersebut terbengkalai. Generasi muda komunitas peranakan Tionghoa yang bermukim di Lasem dan Rembang kebanyakan sudah hijrah ke kota besar, seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, bahkan mancanegara.
”Banyak dari rumah-rumah ini sudah tidak ada yang mengurus. Kalau tidak dijual, ya, terbengkalai. Ada yang menjarah kayu-kayu kusen ataupun dibeli pedagang barang antik. Padahal, nilai sejarahnya, jika dikembangkan, nilai ekonominya sebagai obyek wisata akan bermanfaat bagi Rembang-Lasem dan sekitarnya,” kata Subagio Tjoo.
Subagio Tjoo merawat beberapa bangunan tua di Lasem dan Rembang. Semisal Rumah Londo yang kerap dikunjungi wisatawan dan penyuka bangunan bersejarah dari Jakarta. Bangunan gaya Indische itu berdiri kokoh dan membentang memanjang di utara Jalan Raya Pos di tanah seluas hampir 2.500 meter persegi.
Meski terlihat kokoh, bagian lantai tengah dan beranda belakang bangunan mengalami penurunan dan ambles di beberapa tempat. Bangunan khas rumah Belanda akhir 1800-an dengan tinggi langit-langit mencapai enam meter itu secara struktur bangunan masih terlihat kokoh dari depan hingga belakang.
Berbagai perabot kuno, seperti perangkat mebel jati tua, ban ji atau ranjang tradisional Tionghoa, ranjang besi dengan tiang untuk pemasang kelambu, tegel kuno yang dulu lazim disebut tegel Maastricht (karena dibuat di kota Maastricht di perbatasan Belanda-Belgia) dan populer di Hindia-Belanda, hingga lemari-lemari kuno dari kayu jati melengkapi Rumah Londo yang terlihat asri.
Dari belakang rumah tidak terdengar laju truk dan kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan raya di selatan rumah. Pepohonan rimbun dan kicau burung yang terbang bebas masih terdengar di halaman belakang tersebut.
”Banyak tamu dari luar daerah yang berkunjung ataupun menginap di sini. Para peneliti dan peminat sejarah Lasem-Rembang juga kerap datang di sini,” kata Subagio Tjoo.
Dia berusaha memperbaiki bangunan yang mengalami penurunan permukaan di beberapa bagian lantai. Profesor Yeo Kang Shua dari Singapore University of Technology and Design (SUTD) dan anggota Singapore Heritage Society (SHS) yang mengunjungi rumah tersebut memuji keaslian bangunan. ”Persoalan lantai yang ambles bisa menggunakan teknik tertentu untuk mengangkat permukaan lantai tanpa merusak struktur bangunan,” kata Profesor Yeo yang rajin menulis kolom di koran The Straits Times itu.
Tak jauh dari Rumah Londo, di dalam kota Lasem dekat Rumah Madat (Hun Keng), terdapat ratusan bangunan tua dalam beberapa blok bangunan. Rumah Madat dengan halaman serta kuburan Tionghoa di sampingnya memiliki luas hampir satu hektar.
Kompleks bangunan tersebut diperkirakan sudah mulai dibangun sejak akhir 1700-an. Adapun maraknya perdagangan candu di Jawa mulai terjadi akhir tahun 1700-an dan sepanjang tahun 1800-an hingga menjelang Perang Dunia II.
Bangunan kayu tersebut memiliki bangunan depan, halaman tengah, dan bangunan belakang berupa gedung kayu dua lantai serta bangunan sayap berupa bangsal serta jamban kuno di bagian belakang. Struktur bangunan ditopang kayu-kayu jati besar berdiameter 25-30 sentimeter (cm).
Profesor Yeo menjelaskan keunikan bangunan tersebut yang menurut dia mengadopsi gaya Hokkian sebelah utara (Provinsi Fujian di Tiongkok) tetapi dengan ukuran bangunan jauh lebih besar. Tiang-tiang penyangga gedung ini juga jauh lebih kecil jika dibandingkan kelaziman pembangunan bangunan sejenis di daratan China.
Di pintu besar pada bangunan depan terukir aksara Mandarin dan terdapat meja abu leluhur serta berbagai foto leluhur keluarga Subagio Tjoo. Adapun di bagian samping ruangan terdapat foto-foto keluarga serta pesohor yang berkunjung ke bangunan bersejarah tersebut.
Sebuah meja kayu kuno bulat ada di bagian tengah ruangan. Beberapa perangkat timbangan dan alat untuk menggunakan candu dipajang di meja tersebut.
Sepasang meja Tionghoa berukir antik dari kayu jati terletak di antara dua dinding sebelah meja abu. Pada ruangan samping di belakang ruang meja abu terdapat sebuah lubang yang merupakan terowongan untuk meloloskan diri ke arah sungai yang terletak tidak jauh dari Rumah Madat.
Di sisi utara belakang bangunan terdapat pekarangan dan kompleks pemakaman Tionghoa dengan tiang beraksara Mandarin. Menurut Profesor Yeo, tiang dengan kaligrafi seperti itu menandakan makam orang penting di masyarakat pada zamannya.
Di halaman depan Rumah Madat terdapat ratusan lumpang batu seberat 25-30 kilogram (kg). Sepintas seperti lumpang untuk menumbuk jamu. Akan tetapi, lumpang-lumpang tersebut adalah lumpang untuk mencetak bongkahan opium pada zamannya.
”Ini cetakan opium yang kemudian dijual dalam bentuk bola candu. Banyak yang tidak tahu ini benda apa,” kata pendiri Museum Benteng Heritage Tangerang, Udaya Halim, yang ikut dalam safari koridor Remblas itu.
Fisik bangunan dari rumah-rumah bergaya Tionghoa tersebut pun menjadi penanda siapa pemiliknya. Semisal ujung atap lengkung yang bercabang atau ekor walet menandakan rumah tersebut milik pejabat dalam masyarakat ataupun tempat ibadah.
Ukiran puisi berupa empat karakter huruf Mandarin di pintu utama gerbang rumah biasanya menandakan syair tentang sosok pemilik rumah ataupun harapan pemilik rumah. Pintu gerbang lalu aling-aling dalam rumah tradisional Tionghoa tersebut mirip dengan konsep rumah tradisional Jawa ataupun Bali dengan adanya gapura dan aling-aling.
Adapun penggunaan lampion—lentera dengan nama marga pemilik rumah di kertas lampion merah—dijadikan patokan alamat untuk pengiriman korespondensi di masa silam, selain untuk penerangan di malam hari.
Gaya rumah tradisional Tionghoa di Asia Tenggara yang memanjang ke belakang merupakan pengaruh masa kolonial Eropa karena patokan pajak yang dikenakan berdasarkan bentang lebar rumah. Tak terkecuali rumah-rumah di Rembang-Lasem ini.
Alhasil dalam perkembangannya, rumah tradisional Tionghoa dibangun memanjang ke belakang yang sering dijuluki ”Rumah Gerbong” dengan urutan bagian depan, ruang tengah terbuka untuk sirkulasi udara dan menampung air hujan di bak atau kolam, dan bangunan induk di belakang. Khusus di wilayah padat perkotaan, di bagian depan biasanya dibangun jalur pedestrian selebar lima kaki (1,5 meter) yang umumnya menjadi tempat pedagang berjualan sehingga melahirkan istilah pedagang kaki lima (PKL).
Udaya Halim, Subagio Tjoo, Profesor Yeo, dan kawan-kawan juga mendata rumah Kapiten Liem, Letnan Lie, dan beberapa rumah tua di pusat kota Rembang tidak jauh dari Alun-alun Rembang. Rumah Kapiten Liem, menurut Yulia Ong, salah satu keturunan pemilik rumah, membutuhkan waktu lima tahun untuk membangunnya.
Rumah tersebut terletak di Jalan Airlangga, Rembang. Di sepanjang Jalan Airlangga terdapat puluhan rumah tua dan beberapa di antaranya sudah mulai hancur. Salah satu bangunan tua di kawasan tersebut sudah dimanfaatkan sebagai Hotel Antika dengan bagian restoran dan sayap belakang bangunan memanfaatkan gedung tua gaya Tionghoa yang berusia sekitar dua abad dengan tiang-tiang kayu jati besar.
Pemilik hotel juga mengembangkan kompleks restoran di Jalan Raya Pos dengan menampilkan kompleks bangunan Jawa tradisional yang bersisian dengan tambak ikan dan industri garam di Rembang.
Pakar kajian Asia Tenggara dan Tiongkok dari Universitas Kyushu, Aishawa Nobuhiro, yang ditemui di Jakarta, Senin (12/3/2018), menceritakan beragam hal yang perlu dicermati dalam pelestarian sebuah kawasan sejarah ataupun bangunan tua tertentu.
”Pengalaman di Jepang terkait pelestarian sebuah kawasan bersejarah atau bangunan tertentu bisa berdasarkan aturan hukum nasional, aturan pemerintah lokal, dan di pihak lain ada inisiatif perorangan, yayasan atau lembaga swadaya masyarakat, serta pemerintah lokal,” kata Nobuhiro yang alumnus Kyoto University.
Dia menceritakan, saat ini sedang ramai upaya pendaftaran situs bersejarah Pulau Goto yang menjadi pusat persekusi masyarakat Kristen Jepang di masa silam ketika Jepang menutup diri dari Barat. Para pelestari sejarah berusaha membangun enklave sehingga kaitan sejarah kawasan tersebut tidak hanya bagi komunitas Kristiani Jepang, tetapi juga berdampak bagi masyarakat luas di Pulau Goto di dekat Pulau Kyushu, Jepang.
Bahkan, bekas gudang VOC di Hirado yang sudah runtuh pun dibangun kembali demi pembangunan wilayah bersejarah kota Hirado di Kyushu yang merupakan pintu modernisasi Jepang bergaul dengan China, Korea, dan negara-negara Eropa. Kesadaran para pemangku kepentingan di masyarakat, pemerintah setempat, dan pemerintah pusat sangat penting dalam pengalaman pelestarian sejarah dan pengembangan pariwisata Jepang.
Terkait pengembangan situs sejarah dan pariwisata di Rembang-Lasem, Udaya Halim optimistis hal itu akan terwujud.
Apalagi, koridor Remblas sangat kaya dan punya potensi besar yang “menjual”. Di koridor itu terdapat komunitas masyarakat Tionghoa peranakan, lalu terdapat tokoh masyarakat dengan reputasi nasional, seperti KH Mustofa Bisri (Gus Mus), pengasuh Pondok Pesantren Raudlatol Tholibin di kota tua Rembang.
Lantas, ada pula Museum RA Kartini; berbagai bangunan tua; industri garam; seni batik Peranakan di Lasem; dan berbagai situs sejarah yang akan menjadi magnet koridor sejarah di Pulau Jawa.
Penulis: Iwan Santosa | Fotografer: Iwan Santosa, Lucky Pransiska, Myrna Ratna, Totok Wijayanto, P Raditya Mahendra Yasa | Penyelaras Bahasa: Yohanes Adi Wiyanto | Desainer dan Pengembang: Yulius Giann, Elga Yuda Pranata | Produser: Haryo Damardono
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.