Sore di Lapangan Pajajaran
Senja sudah turun saat Ernawan Witarsa (52) baru datang ke Lapangan Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu pertengahan April lalu. Masih dengan baju seragam bank tempatnya bekerja, dia meminta tujuh anak asuhnya, atlet atletik Jabar, bersiap di garis start. Sebagian lainnya bersiap di beberapa titik lari estafet. ”Tolong dipegang pijakan startnya biar tidak lepas,” kata Ernawan saat salah seorang pelari gagal melesat karena papan startnya bergeser.
Sejak 2002, Ernawan menjalani peran ganda. Pagi hingga sore hari, ia bekerja di salah satu bank swasta di Bandung. Baru sepulang kerja, di antara waktunya yang terbatas, ia menjalani kariernya sebagai pelatih atletik Jabar.
Seperti sore itu, hanya beberapa kali latihan start dan lari estafet, gelap semakin menyelimuti lintasan lari. Latihan pun terpaksa dihentikan karena jarak pandang semakin terbatas. Lampu di lapangan tak lagi mendukung. ”Nanti saya kirim modul latihan untuk memperkuat pola latihan kalian,” kata Ernawan kepada atlet yang diasuhnya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ernawan Witarsa, pelari Olimpiade 1984 dan pelatih lari
Sudah berkali-kali Ernawan mengungkapkan keterbatasan ini kepada anak asuhnya. Dia bahkan mempersilakan mereka mencari pelatih lain jika waktu latihan dirasa belum ideal.
Namun, alih-alih pindah, anak asuhnya memilih setia. ”Saya sudah cocok dengan pelatih. Kami bisa curhat. Selain program latihan, dia rajin mengingatkan kami agar tak lupa sekolah,” kata Anandra Wahyu (19), salah seorang atlet didikan Ernawan.
Hari itu, Anandra kembali menumpahkan kegalauan suasana hatinya yang belum sepenuhnya fokus berlatih lari. ”Kira-kira kenapa ya, Pak, saya belum merasa enak ketika lari?” tanya Anandra. ”Kurang istirahat sepertinya. Kurang tidur?” kata Ernawan. ”Iya, memang, sedang banyak tugas di kampus, Pak,” ujar Anandra, mahasiswa semester II di salah satu perguruan tinggi di Bandung. ”Memang harus diatur waktunya, tetapi, ingat, jangan lupakan sekolah,” katanya.