Perdagangan gelap narkotika sudah lama menjadi perhatian utama aparat penegak hukum di seluruh dunia. Perjuangan dan perang melawan narkotika terus diserukan karena ancamannya makin serius bagi kehidupan bangsa-bangsa di dunia.
Gembong narkoba yang ”legendaris” di antaranya Pablo Escobar. Pendiri dan bos kartel Medellin di Kolombia yang memiliki ”negara di dalam negara” itu diburu penegak hukum Amerika Serikat. Sekitar 80 persen narkotika, terutama kokain, yang beredar di AS berasal dari Medellin.
Kartel narkotika Escobar memiliki ”kerajaan” sendiri di Medellin, barat laut Bogota, lengkap dengan pengawal dan senjata. Mereka bahkan menyuap pejabat pemerintah dengan uang hasil penjualan narkotika dan tidak segan-segan membunuh orang yang menghalang-halangi kegiatan mereka. Kelompok ini bukan lagi sekadar memiliki usaha di atas tanah sendiri, melainkan telah menjadi ”negara di dalam negara” dengan membangun jalan dan gedung di Medellin. Mereka beroperasi tidak hanya di Kolombia dan di AS, tetapi juga di Bahama, Turki, Pulau Caicos, Panama, dan Kuba.
Pablo Escobar Gaviria pernah ditangkap, tetapi kemudian meloloskan diri.
Sejak itu Amerika Serikat menghabiskan ratusan juta dollar AS untuk menangkap Pablo Escobar. AS mengerahkan pasukan khusus SEAL Team Six, Delta Force, dan Centra Spike, bahkan melatih polisi khusus Kolombia, Search Bloc. Enam belas bulan setelah melarikan diri, Pablo Escobar akhirnya tewas ditembak pada 2 Desember 1993 oleh anggota Kepolisian Nasional Kolombia.
Narkotika, khususnya opium, memang telah menjadi komoditas dagang sejak seribu tahun silam. Sindikat perdagangan narkotika telah menjadi ”suatu kerajaan di bawah tanah” dengan kekuasaan dan dasar politik multinasional. Perdagangan gelap narkotika melibatkan pelaku yang tak terhitung banyaknya, terorganisasi dalam sistem atau jaringan ekonomi masyarakat dan pribadi. Bisnis ini pun memiliki pembagian kerja yang jelas, sistem produksi serta distribusi domestik dan multinasional.
Sindikat narkotika memiliki perilaku, nilai, dan norma yang kompleks. Selain itu, kelompok ini memiliki hubungan dengan pejabat-pejabat pemerintah sejumlah negara, terutama mereka yang bisa disuap dengan uang jutaan dollar, demi kelancaran bisnis mereka.
Begitu juga di AS, ada kelompok bernama La Cosa Nostra dan Mafia Sicilia, yang didirikan di AS selama tahun 1930-an oleh imigran Italia. Mafia Sicilia tidak bergantung pada La Cosa Nostra, tetapi kedua kelompok ini bekerja sama dan saling memengaruhi. Kedua organisasi ini terlibat dalam kejahatan terorganisasi, di samping perdagangan narkotika. Keduanya bekerja sama dan hidup berdampingan dengan sindikat narkotika dari Asia dan Kolombia yang berbisnis di AS.
Ada pula Kelompok Jamaika. Sekitar 40 kelompok penjahat terorganisasi Jamaika ini beroperasi di AS, Kanada, Inggris, dan Karibia. Mariyuana dan kokain merupakan komoditas utama yang disuplai Kelompok Jamaika dan telah menjadikan mereka sebagai pedagang narkotika yang besar sejak pertengahan tahun 1980-an.
Kelompok-kelompok ini memiliki mobilitas tinggi dan kuat satu sama lain, mendekati dan menyuap pejabat-pejabat penegak hukum. Kelompok ini telah mengembangkan jaringan kerja sama dengan kelompok-kelompok jalanan Kolombia, Kuba, Pantai Barat, dan pemain lainnya dalam perdagangan narkotika. Di beberapa negara Amerika Latin lainnya, seperti Peru, Bolivia, Honduras, dan Kosta Rika, narkotika juga jadi masalah besar.
Perdagangan gelap narkotika ini diakui sangat sulit diawasi. Sistem perdagangan gelap narkotika sangat canggih dan kompleks, dekat dengan institusi politik dan ekonomi, baik tingkat nasional maupun multinasional.
Narkotika, khususnya opium, memang telah menjadi komoditas dagang sejak seribu tahun silam. Sindikat perdagangan narkotika telah menjadi ”suatu kerajaan di bawah tanah” dengan kekuasaan dan dasar politik multinasional. Perdagangan gelap narkotika melibatkan pelaku yang tak terhitung banyaknya, terorganisasi dalam sistem atau jaringan ekonomi masyarakat dan pribadi. Bisnis ini pun memiliki pembagian kerja yang jelas, sistem produksi serta distribusi domestik dan multinasional.
Sindikat narkotika memiliki perilaku, nilai, dan norma yang kompleks. Selain itu, kelompok ini memiliki hubungan dengan pejabat-pejabat pemerintah sejumlah negara, terutama mereka yang bisa disuap dengan uang jutaan dollar, demi kelancaran bisnis mereka.
Begitu juga di AS, ada kelompok bernama La Cosa Nostra dan Mafia Sicilia, yang didirikan di AS selama tahun 1930-an oleh imigran Italia. Mafia Sicilia tidak bergantung pada La Cosa Nostra, tetapi kedua kelompok ini bekerja sama dan saling memengaruhi. Kedua organisasi ini terlibat dalam kejahatan terorganisasi, di samping perdagangan narkotika. Keduanya bekerja sama dan hidup berdampingan dengan sindikat narkotika dari Asia dan Kolombia yang berbisnis di AS.
Ada pula Kelompok Jamaika. Sekitar 40 kelompok penjahat terorganisasi Jamaika ini beroperasi di AS, Kanada, Inggris, dan Karibia. Mariyuana dan kokain merupakan komoditas utama yang disuplai Kelompok Jamaika dan telah menjadikan mereka sebagai pedagang narkotika yang besar sejak pertengahan tahun 1980-an.
Kelompok-kelompok ini memiliki mobilitas tinggi dan kuat satu sama lain, mendekati dan menyuap pejabat-pejabat penegak hukum. Kelompok ini telah mengembangkan jaringan kerja sama dengan kelompok-kelompok jalanan Kolombia, Kuba, Pantai Barat, dan pemain lainnya dalam perdagangan narkotika. Di beberapa negara Amerika Latin lainnya, seperti Peru, Bolivia, Honduras, dan Kosta Rika, narkotika juga jadi masalah besar.
Perdagangan gelap narkotika ini diakui sangat sulit diawasi. Sistem perdagangan gelap narkotika sangat canggih dan kompleks, dekat dengan institusi politik dan ekonomi, baik tingkat nasional maupun multinasional.
Bagaimana dengan Indonesia? Sampai pada awal 1990-an, peredaran narkotika dalam jumlah besar. Indonesia masih menjadi tempat transit. Kasus narkoba di Indonesia sampai tahun 1990 lebih banyak seputar ganja. Beberapa kali Polri menemukan ladang ganja di hutan Aceh.
Mayjen (Pol) Drs IGM Putera Astaman selaku ketua delegasi Indonesia dalam Sidang Umum ke- 61 Interpol-ICPO tahun 1992 menyinyalir, di masa depan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia dijadikan tempat transit sindikat internasional.
John Steven Fagan, gembong narkotika AS yang sudah lama diburu Interpol Washington, ditangkap polisi Indonesia di Bali, tempat persembunyiannya. Karl Mueller, warga negara Jerman yang kedapatan membawa sekoper heroin, disergap di sebuah hotel di Jakarta dan sudah dihukum di Indonesia.
Kasus-kasus kejahatan narkotika di Indonesia sampai awal 1990-an tidak sampai dalam jumlah berton-ton dan disinyalir masih dalam jumlah kiloan. Jika membandingkannya dengan laporan Interpol negara lain, Indonesia dalam kasus narkotika pada saat itu masih dianggap relatif aman.
Namun, sejak tahun 2000-an sampai 2017, Indonesia sudah menjadi sasaran dan pasar potensial. Narkoba bukan lagi kejahatan biasa, melainkan makin merongrong ketahanan negara dan merambah ke pelosok negeri. Penyalah guna narkoba bukan hanya generasi muda, melainkan sudah merasuk ke aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Indonesia menjadi sasaran empuk karena penegakan hukum dinilai masih lemah.
Indonesia sudah menjadi pasar potensial peredaran narkoba bagi sindikat internasional yang menyelundupkan narkoba ke Indonesia melalui jalur darat, laut, dan udara. Mereka tak segan-segan melibatkan oknum aparat, mulai dari polisi, militer, sampai petugas lembaga pemasyarakatan, dengan iming-iming uang. Badan Nasional Narkotika (BNN) menyebutkan, sedikitnya 72 jaringan narkoba internasional beroperasi di Indonesia.
Upaya menggagalkan penyelundupan 1 ton sabu di Anyer, Banten, oleh tim gabungan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya dan Polresta Depok menjadi sejarah tersendiri dalam pemberantasan narkoba di Indonesia. Upaya tersebut salah satu rekor yang pernah dicapai. Penyelundupan 1 ton sabu senilai Rp 1,5 triliun terbilang nekat dan diduga kuat dikendalikan jaringan bermodal besar.
Dua minggu setelah peristiwa itu, giliran BNN dan Bareskrim Polri menggagalkan penyelundupan 281,6 kilogram sabu di Penjaringan, Jakarta Utara, yang disembunyikan dalam delapan mesin pemoles sebagai kamuflase.
Adapun penyelundupan 1,2 juta butir ekstasi yang digagalkan aparat dan akan diedarkan ke sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta dan kota besar lain dikendalikan narapidana Nusakambangan.
Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso mengatakan, penyelundup selalu mencari cara baru untuk memasukkan sabu ke Indonesia. BNN serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan berulang kali menggagalkan penyelundupan sabu yang disembunyikan di berbagai barang, seperti sepatu, mesin kompresor, dan tiang besi yang tidak tembus sinar X.
Bandar narkoba dan jaringannya ”memanfaatkan” oknum aparat dan penyelenggara negara yang memiliki kewenangan.
BNN, misalnya, pernah menangkap Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Semarang Kolonel AS yang kedapatan mengonsumsi narkoba. AS menggunakan kewenangannya melindungi anggota pengedar narkoba di dalam negeri.
Kontak senjata saat penyidik BNN menangkap jaringan narkoba di Medan, Sumatera Utara, Maret, melibatkan anggota Detasemen Polisi Militer I/5 Medan berinisial H.
Pertengahan Juli 2017, Kepala Pos Polisi Perairan Pantai Cermin Polda Sumatera Utara SH (42) diduga mengamankan penyelundupan 45,5 kilogram sabu lewat pantai yang diawasinya. SH memperoleh upah Rp 125 juta.
Mudahnya aparat disuap dan lemahnya hukum di Indonesia membuat bandar narkoba merajalela dan menjadikan Indonesia pasar potensial. Hukum di Filipina, Singapura, dan Malaysia lebih tegas. Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyatakan, polisi harus bertindak tegas dengan menembak mati bandar-bandar narkoba. Tito yakin tindakan tegas dapat mengurangi peredaran narkoba di Indonesia, seperti yang terjadi di Filipina.
Berbagai narkoba jenis baru saat ini beredar bebas di Indonesia. Regulasi dan perangkat hukum kalah cepat dengan perkembangan zat psikoaktif baru. Pemerintah didesak melarang peredaran narkoba beserta segala jenis zat turunannya berdasarkan gugus kimianya.
Laporan Badan Narkoba Dunia menyebutkan, terdapat 644 jenis zat psikoaktif barunew psychoactive substances/NPS. Di Indonesia beredar 53 jenis, tetapi yang masuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika baru 40 jenis.
Hingga saat ini belum ada terobosan untuk mempercepat agar berbagai jenis zat psikoaktif baru tersebut dapat segera dimasukkan dalam daftar lampiran UU Narkotika sehingga pengedarnya dapat dijerat pidana. Kementerian Kesehatan masih mengacu pada zat, bukan pada struktur kimia zat tersebut.
Keterlambatan regulasi itulah yang membuat zat psikoaktif baru itu leluasa diedarkan di Indonesia tanpa dapat disentuh hukum. Contoh NPS yang dikenal masyarakat adalah tembakau gorila (cannabinoidderivatives) yang sempat diperjualbelikan lewat media sosial, blue sapphire , dan methylone.
Lambannya respons pemerintah terhadap perkembangan zat psikoaktif baru tersebut terlihat ketika seorang selebritas tertangkap mengonsumsi methylone.
Saat itu, tahun 2013, zat psikoaktif baru tersebut sempat tak dapat dikategorikan sebagai narkoba dan selebritas itu tidak dapat diproses secara hukum dengan alasan zat tersebut belum masuk dalam lampiran jenis narkoba dalam UU No 35/2009. Belum ada kasus yang melibatkan methylone sehingga tidak ada bukti pembanding.
”Namun, pada 2013, ketika I Wayan Purwo mengedarkan methylonedi Nusa Tenggara Barat, hakim mendengar keterangan saksi ahli dan menjatuhkan vonis 14 tahun penjara,” kata ahli kimia farmasi BNN, Mufti Djusman.
Ini membuktikan penegak hukum gamang menetapkan sebuah zat tergolong psikoaktif karena harus dibuktikan melalui pembuktian ilmiah. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk meneliti dan membahas methylone (pada kasus artis tersebut) di Kementerian Kesehatan, baru zat itu masuk daftar lampiran.
Informasi dari New Psychoactive Substances Alert System yang dikembangkan BNN, peraturan secara rinci terkait penambahan daftar lampiran pada UU baru narkotika yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada Januari 2017 tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017. Persoalannya, zat psikoaktif baru sudah muncul lagi. ”
Dalam kasus artis Z yang menyelundupkan 26.000 pil ekstasi pada 1996, kasus itu sempat ditafsirkan sebagai farmasi biasa. Namun, lewat pengujian ilmiah farmasi, pil yang dibawa Z dapat dibuktikan sebagai derivasi atau berasal dari amphetamine. Meski pada masa itu zat tersebut belum diatur dalam UU, majelis hakim saat itu memperoleh keyakinan lewat pembuktian ilmiah bahwa pil tersebut jenis psikotropika. Z dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
Kasus ini menjadi yurisprudensi untuk mengadili sejumlah kasus peredaran zat psikoaktif baru. Namun, faktanya setiap NPS baru muncul, penegak hukum kesulitan menjerat karena NPS belum masuk daftar.
”Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Polri, serta TNI perlu berembuk bersama untuk menggolongkan narkotika yang berbahaya di masyarakat,” kata Mufti.
NPS dengan berbagai jenisnya merupakan narkoba berbahaya karena merusak neurotransmiter dan menjadikan pemakainya depresi, insomnia, dan paranoid. NPS juga memicu jantung bekerja keras sehingga mengakibatkan serangan jantung.
NPS umumnya diedarkan dengan iming-iming bisa menenangkan pikiran stres dan menambah tenaga sehingga pemakainya bisa beraktivitas prima. Kenyataannya, banyak zat dalam NPS mengakibatkan kolik yang membuat saluran pencernaan melintir. Ilusi energi yang tidak habis membuat pemakainya tidak berselera makan dan minum. Tanpa disadari, pencernaan dibuat rusak.
Kristin, peneliti kimia farmasi yang membantu BNN dalam penelitian narkotika dan psikotropika, mengungkapkan, keterlambatan regulasi menghadapi zat psikoaktif baru itu sangat terkait dengan strategi pemerintah dalam menentukan suatu zat tergolong psikoaktif atau bukan. Jepang, negara yang kerap dibanjiri narkoba jenis cannabinoid dan cathinone, seperti halnya Indonesia, lebih memilih menggunakan struktur kimia untuk menentukan golongan pada setiap zat baru yang masuk ke negaranya.
”Dengan mengacu pada struktur kimia, setiap zat narkotika ataupun psikotropika yang masuk ke Jepang sudah ada regulasi meski itu zat baru,” ujar Kristin.
Indonesia bisa mencontoh sistem di Jepang yang melarang peredaran narkoba beserta segala jenis zat turunannya berdasarkan gugus kimianya.
Misalnya, cathinone, induk methylone, dilarang di Jepang. Semua produk yang menggunakan turunan cathinone, meski beberapa gugus kimianya direkayasa dan diganti zat lain, juga tidak boleh beredar.
”Kecuali jika ada penelitian medis yang membuktikan turunan cathinone bermanfaat untuk pengobatan. Itu pun peredarannya diawasi ketat dan hanya boleh untuk penyakit tertentu dengan resep dokter,” katanya.
Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan mendorong ahli kimia terlibat bisnis narkoba karena setiap zat adiktif memiliki nilai jual tinggi. ”Mereka mengembangkan jenis-jenis psikoaktif baru dengan mengubah rangkaian pada struktur kimia induk,” kata Mufti.
Contohnya flakka, struktur kimia induk zat itu adalah MDPV (methylenedioxypyrovalerone) yang sudah dinyatakan sebagai golongan psikotropika kelas I yang dapat menyebabkan adiksi.
Demikian pula halnya tembakau gorila, derivasi dari zat adiktif AB Pinaca atau bentuk sintetis dari ganja. Saat ini, di dunia, varian AB Pinaca yang ditemukan mencapai 44 jenis. Mufti mendapat tugas dari BNN untuk memasukkan tembakau gorila ke golongan I karena derivasinya sudah banyak.
”Dampak terburuk mengonsumsi setiap zat tergolong narkotika psikotropika adalah paranoia berlebihan hingga berperilaku tanpa memperhatikan kesusilaan. Zat itu menyerang serotonin dan dopamin dalam saraf otak manusia yang dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa. Generasi muda yang mengonsumsi psikotropika tak akan bisa produktif karena sistem saraf otaknya rusak. Ini sangat membahayakan bangsa,” papar Mufti.
Meski bertahun-tahun pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba, belum ada langkah komprehensif untuk memberantas narkoba. Lembaga pemasyarakatan yang selama ini menjadi tempat pengendalian narkoba juga belum dibenahi serius.
Perang terhadap narkoba membutuhkan kebijakan komprehensif dan konsisten, mulai dari pembuatan regulasi yang antisipatif, penyediaan dana dan personel, koordinasi antarinstansi, hingga pengawasan ketat di lembaga pemasyarakatan.
Pengendalian narkoba oleh narapidana dari dalam lembaga pemasyarakatan kerap diungkap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan BNN. Namun, malah belakangan ulah napi narkoba yang mendekam di LP makin menjadi-jadi.
”Ada napi yang bikin pabrik narkoba di dalam LP. Itu bukan untuk konsumsi sendiri, melainkan untuk diedarkan keluar. Kami berkali-kali berkomunikasi dengan LP, tetapi belum ada perbaikan,” ujar Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari.
Alih-alih menguatkan, beberapa tindakan pemerintah malah melemahkan upaya pemberantasan narkoba. Inkonsistensi pemerintah dalam menangani narkoba tampak jelas pada 2012. Bandar yang divonis hukuman mati, Meirika Franola, dan penyelundup narkoba asal Australia yang divonis 20 tahun penjara, Schapelle Corby, mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat mendekam di LP Tangerang, Franola yang memperoleh grasi Presiden Yudhoyono kembali mengendalikan penyelundupan 775 gram sabu dari India pada November 2012.
Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Benny J Mamoto menegaskan, perlu ada pembenahan sistematis dalam pengelolaan LP. Benny mengungkapkan, ada sistem yang perlu diubah pada LP untuk menghindari kolusi sipir penjara dengan napi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengatakan, peredaran narkoba di dalam LP ataupun rumah tahanan (rutan) masih terjadi meski petugas terus melakukan razia.
Menurut Sri, salah satu persoalannya, jumlah sipir dan napi tidak seimbang. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Juni 2017, sekitar 52.000 napi merupakan bandar narkoba dan sekitar 31.000 napi pengguna narkoba dari jumlah total 84.000 napi khusus.
Sementara jumlah sipir di LP ataupun rutan di Indonesia hanya 15.400 orang, tersebar di 522 LP dan rutan yang dihuni 225.000 napi, padahal kapasitasnya hanya 125.000 napi. Setiap satu sipir mengawasi 62 orang.
Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan Rita Endang mengatakan, dalam pemberantasan narkotika, BPOM berperan mengawasi peredaran dan distribusi narkotika di jalur resmi dari hulu hingga hilir, dari impor bahan baku, distribusi, hingga penggunaannya di sarana kesehatan.
Pengawasan narkotika dan psikotropika butuh kerja sama lintas sektor dan perlu sinergi karena banyak produk baru muncul.
Kecepatan pemerintah mengejar perkembangan zat baru menjadi tantangan. Fasilitas laboratorium dan sistem teknologi informasi perlu diperkuat agar mengkaji zat baru lebih cepat.
Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang menyampaikan, sebenarnya Kementerian Kesehatan telah berupaya cepat merespons NPS dengan memasukkannya ke daftar narkotika golongan I. ”Tahun ini keluar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2017. Dalam waktu dekat akan keluar lagi. Sebanyak 17 dari daftar zat baru yang ditampilkan Kompas sudah masuk dalam peraturan menteri kesehatan ini,” katanya.
Hingga kini sedikitnya terdapat 5 juta pengguna narkoba aktif di Indonesia. Itu pun terbatas pada yang ingin menjalani rehabilitasi. Jumlah itu belum termasuk pengguna narkoba yang masih enggan direhabilitasi. Meski demikian, prevalensi pengguna narkoba di kalangan remaja menurun selama 2009 hingga 2011, yakni dari 5,1 persen menjadi 2,9 persen.
BNN menyebutkan, dua dari 100 pelajar dan mahasiswa di Indonesia menggunakan narkoba. ”Bahaya narkoba tak bisa dipandang sebelah mata karena narkoba sudah merongrong ketahanan negara,” kata Benny.
Mengutip pejabat Badan Pengawas Obat-obatan Amerika Serikat (DEA), Steven J Casteel, Benny mengingatkan, narkoba senjata perusak massal yang efektif. ”Ketika generasi muda tak punya daya saing karena otak sudah rusak akibat narkoba, Indonesia bisa dijajah (tanpa secara fisik). Itu bisa terjadi ke depan kalau kita tak serius dan waspada,” katanya.
Kepolisian Negara RI menekankan penindakan hukum menjadi langkah utama untuk memutus penyediaan berbagai jenis narkotika di wilayah Indonesia. Koordinasi dengan lembaga atau instansi terkait diperkuat untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan narkoba yang semakin beragam modusnya.
“Bagi kami yang terpenting adalah memperkuat penegakan hukum untuk menghentikan jalur penyediaan (narkoba) dari luar negeri. Oleh karena itu, kami terus perkuat operasi intelijen dan koordinasi dengan lembaga terkait untuk memperkuat pengawasan di wilayah perbatasan yang sangat luas,” kata Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Selasa 1 Agustus 2017.
Tito menjalin komunikasi dan kerja sama intelijen dengan otoritas kepolisian yang menjadi asal narkoba di Indonesia, seperti China, Taiwan, dan Hongkong. Langkah itu bertujuan untuk mengatasi kehadiran perkembangan modus dan jenis baru narkoba yang menyasar Indonesia.
Polri bersama Badan Narkotika Nasional akan selalu mengantisipasi kehadiran jenis narkoba baru. Uji laboratorium menjadi upaya untuk mempelajari perkembangan barang haram itu, serta koordinasi dengan Kementerian Kesehatan menjadi syarat mutlak untuk memberi dasar bagi tim kepolisian untuk melakukan penindakan hukum.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Brigadir Jenderal (Pol) Eko Daniyanto mengungkapkan, pihaknya juga tengah menelusuri jaringan dari luar negeri yang berencana menyeludupkan narkoba jenis baru ke Indonesia. “Nanti akan kami umumkan”, kata Eko.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, pemerintah berkomitmen untuk secara signifikan meningkatkan anggaran kepada Polri dan BNN untuk memperkuat upaya pencegahan narkoba. Ia menambahkan, penguatan sumber daya dan fasilitas menjadi titik sentral bagi aparat penegak hukum agar mampu mengantisipasi perkembangan tindak pidana narkotika.
“Kami selalu berusaha untuk meningkatkan anggaran Polri dan BNN. Kami prioritaskan untuk penguatan fasilitas, alat-alat komunikasi, hingga biaya operasional,” tutur Sri.
Presiden Joko Widodo menegaskan kembali komitmennya untuk memberantas jaringan narkoba sampai ke akar-akarnya. Bahkan Presiden setuju bila aparat menembak mati bandar-bandar narkoba yang sudah mencekoki generasi muda Indonesia.
Kebijakan komprehensif memang dibutuhkan untuk menekan peredaran narkoba di Indonesia sampai ke akar-akarnya.
Wajah MI (26) pucat. Keringat dingin tampak membasahi lehernya hingga meresap di kaus berwarna merah yang dikenakannya. Tidak lebih dari 10 menit sebelumnya, pria yang kini bekerja sebagai pengojek itu meminum 50 mililiter metadon di Puskesmas Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Senin (24/7).
”Ini untuk menekan kecanduan saya,” kata MI. Petugas kesehatan menyuruhnya beristirahat selama minimal 30 menit sehingga efek metadon di tubuh mereda. Barulah dia boleh pulang dan mengendarai sepeda motornya.
Sebagai mantan pencandu narkoba jenis putau, MI sudah dua tahun menjalani Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Awalnya, dia menjalani terapi di Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan, lalu pindah ke Puskesmas Gambir karena lebih dekat dengan wilayah kerjanya. Baginya, PTRM berguna menekan keinginan untuk kembali menggunakan zat berbahaya itu sekaligus menghilangkan sakau, rasa sakit yang ditimbulkan setelah efek mabuk menghilang.
MI tumbuh di wilayah miskin kota di Jakarta Pusat. Di lingkungannya lazim ditemukan penyalah guna narkoba ataupun zat adiktif yang terkandung di dalam obat-obatan generik. Dia terbiasa melihat orang-orang di sekitar rumahnya terlihat lemas akibat baru memakai narkoba.
Belum genap berusia 15 tahun, temannya ke rumah MI membawa sebungkus kecil serbuk putih dan jarum suntik. MI tidak tahu benda itu bernama putau. ”Kata teman, mainan baru. Saya enggak ngerti. Jadi, ikut-ikutan aja,” kata MI.
Setelah menyuntikkan putau ke pembuluh darah, MI merasa senang. Efeknya dia merasa optimistis dan tidak mengkhawatirkan apa pun. Segalanya terasa santai. Namun, begitu efek menyenangkan itu surut, MI mulai merasa tidak enak badan. Seluruh tubuhnya ngilu, mata berair, dan perutnya mual-mual.
Di tengah deraan itu, temannya mengatakan, penyakit itu hanya akan sembuh dengan menyuntikkan putau kembali. MI mempercayainya dan meminta temannya membelikan putau. ”Harga seperempat gram pada tahun 2006 hanya Rp 50.000,” katanya.
Sejak saat itu, ia tak bisa lepas dari putau. Dalam sehari, ia bisa menyuntikkan zat itu tiga kali ke pembuluh darahnya. Akibatnya, pendidikan MI pun terganggu. Ia putus sekolah di bangku kelas X SMP. Selain menjual telepon genggam, ia juga sering berutang kepada orang lain.
”Kadang-kadang, ketika barang habis, saya sakau hingga setengah hari. Tembok rumah habis saya pukulin, bahkan juga jedotin kepala,” kenang MI. Kalau sudah begitu, dia memanggil temannya dan meminta untuk mencarikan putau. Tak sampai satu jam, narkoba itu sudah sampai di tangan MI tanpa perlu meninggalkan kamar.
Akibat tekanan ekonomi, MI terpaksa merantau ke Kalimantan Selatan pada 2011. Di Banjarmasin, dia menjadi buruh serabutan. Terminal, pasar, dan pelabuhan menjadi tongkrongannya. Di sana pula dia bertemu dengan pencandu putau dan melanjutkan kebiasaan.
Setelah dua tahun merantau, dia kembali ke Jakarta. MI mendapati peredaran putau turun drastis. Narkoba itu kini seharga Rp 650.000 seperempat gram. Tidak mampu membelinya, MI menanggung sakau. Pada masa menderita itu, dia menyadari kehidupannya tidak sehat dan memiskinkannya.
Beruntung di wilayah tempat tinggalnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Karisma melakukan penjangkauan untuk pencandu narkoba. Melalui LSM itu, MI diarahkan ikut rehabilitasi PTRM ke Puskesmas Tebet. Sekarang MI sudah bisa bekerja dan memiliki kehidupan sosial yang baik. Namun, setiap hari dia harus menjalani program itu agar benar-benar bisa membersihkan dirinya.
Rasa Penasaran
Putau juga ”bertandang” ke kamar RM (40). Dimulai 1998, ketika ia lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan, temannya membawa sebungkus putau dan bong (alat pengisap). ”Saya tahu betul itu narkoba, tetapi rasa penasaran membuat saya mencoba. Apalagi, ketika mengisapnya, saya dan teman merasa seperti tokoh penjahat di film,” ujarnya di sela-sela rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Galih Pakuan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/7).
Harga putau Rp 6.000 untuk seperempat gram membuat RM sama sekali tak terbebani. Jumlah itu dibagi-bagi untuk lima kali konsumsi dalam satu hari. Dampaknya RM betah berdiam diri di kamar. Bahkan, kebiasaan itu berlanjut lima bulan kemudian ketika dia diterima bekerja di sebuah biro perjalanan.
Dari penghasilannya, ia membagi untuk keluarga dan jajan pribadi. Uang untuk keluarga tak disentuh, tetapi uang jajan digunakan membeli putau. RM menikah, tetapi istrinya tak tahu kecanduan yang dialaminya hingga tahun ketiga pernikahan mereka. RM kehilangan waktu komunikasi dengan istri. Selepas jam kerja, bukannya pulang, dia malah ke rumah teman atau bandar narkoba untuk mengisap putau. Dia menunggu beberapa jam hingga efek melayang reda sehingga baru tiba di rumah larut malam. Barang di rumahnya juga mulai habis dijual demi membeli putau dalam jumlah lebih banyak.
”Saya menceritakan soal kecanduan kepada istri dan keluarga. Beruntung sekali, walau kaget, mereka mendukung saya menjalani rehabilitasi selama sembilan bulan,” ujar RM. Setelah itu, ia menjalani hidup bersih selama satu tahun.
Namun, RM kembali mengisap putau saat bertemu temannya. Ia lalu mendaftarkan diri ke panti rehabilitasi yang berbeda pada 2014. Dia mengikuti program pemulihan selama delapan bulan. ”Kecanduan itu penyakit. Untuk sembuh sulitnya luar biasa. Selesai program rehabilitasi kedua, saya malah mengalami ’split’,” ujarnya. ”Split” adalah istilah ketika pencandu mengalihkan kecanduannya ke zat lain. RM tak lagi memakai putau, tetapi beralih ke minuman keras, ganja, dan sabu.
RM sadar harus sembuh, terlebih ia ingin hadir sebagai ayah yang sehat untuk putranya. Sudah enam bulan ia mengikuti rehabilitasi dan memindahkan keluarga ke Jawa Barat agar bisa memulai hidup baru. Di PSPP Galih Pakuan, RM dipercaya sebagai pasien dengan tugas khusus, semacam ketua kelompok bagi teman-teman yang menjalani rehabilitasi, membantu konselor memberikan bimbingan dan dukungan moral kepada pasien lain.
Penulis: Adhitya Ramadhan, Laraswati Ariadne Anwar, Madina Nusrat, M. Iksan, Nina Susilo, Windoro Adi Tamtomo, Wisnu Aji Dewabrata | Editor: Robert Adhi Kusumaputra | Penyelaras Bahasa: Hibar Himawan | Infografik: Andri | Fotografer: Abdullah Fikri Ashri, Andrian Fajriansyah, Bahana Patria Gupta, Harry Susilo, Hendra A Setyawan, Herpin Dewanto Putro, Heru Sri Kumoro, Jimmy Wp, Max Margono, Nikson Sinaga, Riza Fathoni, Robert Adhi Kusumaputra, Rumhardjono, Priyombodo | Desainer dan Pengembang: Deny Ramanda, Rafni Amanda, Yosep Wihelmus Nabu
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.